Berakhir sudah drama ketegangan perihal kelanjutan ekspor bijih mineral di 2014.Dalam rapat kerja Antara Komisi VII DPR dan Kementerian ESDM yang digelar 5 Desember yang lalu usulan adanya pengecualian ekspor pasca 12 Januari 2014 ditolak oleh seluruh fraksi di Komisi VII. Pemberlakuan larangan ekspor bahan mentah pertambangan itu berdasarkan amanat Undang-Undang No.4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Komisi VII bersikeras Undang-Undang sebenarnya sudah memberikan waktu transisi 5 tahun bagi industri pertambangan untuk mulai membangun smelter di dalam negeri. Dengan demikian, maka seharusnya perusahaan-perusahaan pertambangan sudah mengantisipasi dengan merampungkan pembangunan fasilits pengolahan dan pemurnian atau yang biasa disebut smelter.
Namun,hingga kini dari 100 perusahaan yang menyatakan kesanggupannyauntuk membangun smelter, hanya 28 perusahaan yang sudah groundbreaking dan dari semua itu baru satu yang sudah selesai dan saat ini masih dalam tahap commisioning yakni Smelter milik PT Aneka Tambang Tbk yang melakukan pengolahan bijih bauksit menjadi Chemical Grade Alumina (CGA) di Tayan, Kalimantan Barat. di Tayan, Kalimantan Barat.
Lalu bagaimana dengan perusahaan lainnya ? Apa mereka selama ini memang pasang badan menantang Undang-Undang No.4 tahun 2009 ?
Bayang-bayang kehilangan potensi ekspor senilai US$ 4 miliar dari ekspor barang mineral mentah pun menghantui Republik ini tahun depan .Neraca perdagangan pada barang mineral akan mengalami defisit pada 2014 dan 2015. Tepatkah keputusan ini ? Ya, menurut pemerintah.
Pemerintah mengklaim, pasca diberlakukannya larangan ekspor bijih ini, pada 2016 pemasukan negara mencapai justru akan meningkat US$ 9 miliar dari ekspor produk olahan pertambangan.Lalu apa yang akan terjadi pada 2014-2016 sebelum rampungnya semua fasilitas pengolahan dan pemurnian ? Mampukah industri pertambangan survive ? Hanya waktu yang bisa menjawabnya nanti.
Untuk mineral emas dan perak, sebenarnya hilirisasi sudah berjalan sejak lama. PT Antam (Persero) Tbk, melalui Unit Bisnis Logam Mulia telah melakukan pengolahan dan pemurnian emas dan perak sejak jaman kolonial dahulu. Maklum unit bisnis ini merupakan hasil nasionalisasi perusahaan milik warga negara Belgia, RT Braakensiek. Saat ini kapasitas terpasang di Unit Logam Mulia sanggup untuk memurnikan 75 ton emas/tahun dan 200 ton perak/tahun. Semua emas murni berlabel LM diakui secara internasional karena sudah terakreditasi oleh LBMA (London Bullion Market Association) artinya emas keluaran PT ANTAM ini sangat diterima di pasar emas dunia dengan premium harga yang sangat baik.
Namun sayangnya kapasitas terpasang tersebut belum terpakai penuh, tahun ini diproyeksikan hanya terpakai50 % untuk emas dan 67 % untuk perak, atau37 ton emas dan 134 ton perak yang dikirim oleh 10 perusahaan tambang emas pemegang KK dan IUP.
Jadi sebenarnya kondisi tersebut klop dengan kebutuhan industri pertambangan emas yang saat ini wajib mengekspor emas dan perak dengan kandungan murni, untuk emas 99,99% dan perak 99,95%. Emas dan Perak dengan kandungan tersebut dapat diproduksi di PT ANTAM (Persero) Tbk, UBPP Logam Mulia.
Selain perusahaan pertambangan emas yang sudah memurnikan emasnya di UBPP Logam Mulia, ternyata masih ada lagi sumber logam emas dan juga perak dari tambang, yang selama ini tidak pernah diolah di dalam negeri. Lho koq bisa ? Ya bisa. Karena logam emas dan perak ini ternyata tidak hanya dihasilkan oleh perusahaan tambang emas saja. Perusahaan raksasa tambang tembaga seperti PT Newmont Nusa Tenggara dan PT Freeport Indonesia juga menghasilkan logam ikutan berupa emas dan perak.
PT Newmont Nusa Tenggara dan PT Freeport Indonesia selama ini memurnikan masing-masing 20% dan 30% konsentrat tembaganya ke PT Smelting Gresik. Dari proses pemurnian tersebut didapatkan logam tembaga dengan kemurnian 99,99%. Sementara itu emas dan perak yang dihasilkan masih dalam bentuk lumpur, yang dikenal dengan istilah lumpur anoda. Kandungan emas dalam lumpur anoda ini sekitar 1%. Total produksi lumpur anoda PT Smelting dalam setahun berkisar 1800 ton atau artinya emas yang terkandung di dalam lumpur anoda sekitar 18 ton.
Kalo melihat angka-angka diatas seharusnya angka 18 ton tentunya tidak jadi masalah untuk UBPP Logam Mulia, karena masih ada idle capacity untuk mengolah sekitar 30 ton emas. Artinya PT Smelting gak perlu repot-repot memurnikan emas dan perak sendiri, langsung saja dikirim ke Pulogadung untuk dimurnikan di UBPP Logam Mulia.
Tapi ternyata tidak sesederhana itu, banyak faktor teknis maupun non teknis yang menjadi kendala. Faktor teknis adalah masalah spesifikasi feed yang dapat diolah di UBPP Logam Mulia. Selama ini UBPP Logam Mulia mengolah dore bullion dari tambang dengan kadar emas>5%. Dore bullion ini merupakan batangan logam yang mengandung campuran emas dan perak. Sementara feed dari PT Smelting berupa lumpur anoda dengan kandungan emas kurang lebih 1%.
Bagi PT Antam, masalah seperti ini sebenarnya sepele, jangankan lumpur anodayang kandungan emasnya 1%, batu di gunung pongkor saja yang kandungan emasnya hanya 7-12 gram/ton bisa diolah jadi emas murni berkadar 99,99%. Jadi faktor teknis ini sebenarnya sepele dan bisa diselesaikan asalkan ada niat dan kepastian pasokan. Pada awal tahun 2000-an PT Antam pernah membeli sebidang tanah di pinggiran kota Surabaya untuk persiapan membangun fasilitas pengolahan lumpur anoda untuk dirubah menjadi dore bullion, dore bullion kemudian rencananya akan dikirim ke Jakarta untuk dimurnikan menjadi emas dan perak. Namun apa mau dikata, karena tidak ada tanggapan berarti dan kepastian pasokan dari PT Smelting , tanah tersebut pun dijual beberapa waktu yang lalu. Ironisnya awal bulan lalu, ujug-ujug pihak PT Smelting datang untuk menawarkan kerjasama pemurnian lumpur anoda lagi dengan PT ANTAM, lho selama ini kemana saja ya, dulu PT ANTAM menawarkan kerjasama tidak pernah ditanggapi dengan serius sampai tuntas.
Masalah non teknis adalah masalah seputar transaksi pemurnian lumpur anoda ini. PT ANTAM selama ini memurnikan emas dari perusahaan-perusahaan tambang KK dan IUP dengan skema tolling atau hanya dibayar untuk jasa pemurniannya saja. Selanjutnya emas dan perak dikembalikan untuk dijual sendiri oleh pemiliknya, Sedangkan PT Smelting minta untuk transaksi dilakukan dengan skema jual beli lumpur anoda. PT ANTAM sangat berkeberatan bila transaksi dilakukan dengan metode jual-beli karena Pajak Pertambahan Nilai yang harus dibayar sangat besar dan jauh lebih besar ketimbang keuntungan yang didapat dari proyek ini. Tentunya dengan demikian bagi PT ANTAM proyek ini menjadi tidak menarik dan tidak menjadi prioritas utama.
Kalau sudah begini, apa yang bisa diharapkan ? Tentunya publik mengharapkan pemerintah sebagai pemangku hajat segera turun tangan memberikan solusi atas kendala-kendala yang terjadi.
Pemerintah disini harus bisa saling berkoordinasi. Kementerian ESDM, Perindustrian, Perdagangan dan Keuangan bisa saling mendukung dan melengkapi, bukan saling menghalangi, sehingga hilirisasi yang diharapkan bisa diwujudkan menjadi kenyataan.
Selama hal-hal diatas belum dapat diselesaikan, jangan pernah mimpi emas dari Grasberg akan mampir ke Pulogadung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H