Mohon tunggu...
Wiwik Arifin
Wiwik Arifin Mohon Tunggu... -

Cerpenis merupakan Buruh Migran Indonesia. Kelahiran Merauke 10 April dan tinggal di Jawa saat mulai pendidikan sekolah tahun 1997. (Blog: wiwikarifin.blogspot.com)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Balada Cinta Anak Rantau

24 Maret 2016   17:28 Diperbarui: 24 Maret 2016   17:37 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Wiwik Arifin

Cuaca Balakong, Selangor siang hari ini sangat panas. Ingin rasanya Aini cepat sampai rumah sewa. Bayang-bayang air dingin di lemari pendingin yang ia simpan dalam botol bekas air mineral membuat tenggorokan semakin dahaga. Langkah dipercepat lagi. Gadis keturunan Jawa yang tinggal di Lampung, Sumatera ini memilih jalan tikus untuk pulang-pergi ke tempat kerja. Memang lebih jauh dibanding naik bus yang hanya sekitar RM1, namun ia lebih suka mengayunkan kaki mungilnya demi keamanan. Kabar Ras Polis Malaysia beserta jajaran pihak Imigration membuatnya mingikuti jejak kawan yang tak berdokumen menerobos jalan rahasia untuk berlalu lalang dengan nyaman.

Dbugg! Tiba-tiba ada yang berlari menabraknya dari belakang.

"Aduh!" keluh Aini kesakitan karana terjatuh dan lututnya terkena gundukkan kerikil tajam.

"Sorry-sorry," ucap si penabrak sembari membantu Aini bangun.

Aini sedikit melirik sosok lelaki berbaju coklat yang sudah membuat dirinya terjatuh dan mau menolongnya juga.

"Ada yang sakit?" tanya pemuda itu memastikan. Aini bingung menjawab apa meski dalam dirinya terasa ada yang lecet di lutut. Ia tidak pasti karena belum melihat luka itu. Malu kalau harus menyingkap rok-nya di depan lelaki.

"Ayo!"

Tidak mendapat jawaban apa-apa, pemuda itu langsung menggenggam tangan Aini dan mengajaknya berlari. Gadis itu menjadi bingung, namun tetap menurut saja. Dengan jantung yang berdebar dan sakit dilutut, langkah Aini sedikit pincang.

"Jangan tanya apa pun dulu, nanti kujelaskan semuanya!" seru pemuda itu. Aini jadi mengurungkan niatnya untuk membuka suara, pun melepas genggaman kuat lelaki misterius.

Mereka berlari dan terus berlari meninggalkan jalan tikus. Semakin terasa kering saja kerongkongan Aini. Peluh mengucur di sekitar kening, pipi dan hidung. Lengan baju di area ketiak juga sudah basah kuyup. Lelah sekali.

"Saya dah tak kuat!" teriak Aini sembari mencoba menarik tangannya dari genggaman si lelaki.
Cukup membuahkan hasil dari lengkingan suaranya. Meski genggaman tidak terlepas namun pemuda itu menghentikan larinya.

"Apa sebenarnya yang awak nak ni? Penat tau tak!" marah Aini. Matanya sedikit mengedarkan pandangan. Ia tidak tahu saat ini berada di mana, tepatnya pinggiran hutan. Hatinya menjadi kacau. Bagaimana cara kembali ke rumah nanti?

"Minta maaf banyak-banyak, saya--" kata-kata si pemuda tidak dilanjutkan saat melihat gadis berjilbab hitam itu memegangi kepala dan segera menangkap tubuhnya sebelum benar-benar ambruk ke tanah.

***

Malam semakin gelap, Aini belum juga sadar dari pingsan. Tubuhnya tergeletak lunglai di atas daun pisang dengan kepala berbantalkan tas ransel si pemuda.Tidak ada lampu sama sekali. Cahaya bulan bintang pun tidak bisa menembus rindangnya pokok besar di tengah hutan itu. Hanya api unggun sederhana menjadi penerang sekaligus penghangat mereka berdua.

Bau ikan bakar yang sangat menggoda membuat Aini ingin membuka mata. Lapar sekali, teriak pasukan cacing di perutnya.

"Bangun, segarkan mukamu di sungai itu, ayo kita makan sama-sama."

Mendengar suara seorang pemuda Aini langsung membuka mata lebar-lebar, terduduk dan memastikan tidak ada yang kurang dari dirinya.
Pemuda itu tersenyum melihat tingkah lucu Aini, "Tenang, saya bukan penjahat," ucapnya santai.

"Awak siapa?"

"Sebelumnya minta maaf karena menarik paksa Cik ...,"

"Aini."

"Cik Aini, saya betul-betul minta maaf sudah reflek mengajak berlarian saat ada razia tadi. Nama saya Angga dari Indonesia," pemuda itu mencoba menjelaskan.

"Razia? Oww ... kamu ilegal?" tanya Aini, kali ini bahasanya sudah tidak Melayu lagi.

"Sebenarnya bukan keinginan saya untuk menjadi TKI ilegal, tetapi para ejen penipu yang membuat saya jadi selalu lari tunggang langgang kalau ada pasukan baju hitam. Enam ribu ringgit melayang untuk pembuatan permit. Sudah hampir dua tahun tak kunjung jadi, eh, maaf malah jadi curhat," senyum malu pemuda yang bernama Angga itu sembari membolak-balikkan ikan bakarnya.

"Tidak apa. Maaf sudah bentak-bentak kamu. Terima kasih sudah mengajak berlari. Kalau tidak, mungkin saat ini saya sudah masuk lokap," balas Aini yang belum beranjak juga dari alas daun pisang.

"Kamu juga PATI? Pendatang Asing Tanpa Ijin?" tanya Angga memastikan.

Aini mengangguk,"Saya tersesat. Tiga tahun yang lalu saya dan kawan-kawan berwisata ke Kuala Lumpur. Saat mengunjungi Batu Cave, saya terpisah dari rombongan dan ditinggal pulang oleh mereka. Hanya sisa 10 ringgit uang dalam dompet yang hanya cukup untuk makan malam. Pemilik restoran itu sangat baik dan mengizinkan saya menginap di rumahnya serta sarapan gratis dengan membantu mencuci piring. Akhirnya saya memutuskan untuk bekerja di situ sambil ngumpulin uang untuk pulang, tapi malah keenakan sampai sekarang belum ingin pulang."

"Tidak rindu keluarga?" tanya Angga.

"Itu sudah pasti. Satu bulan dapat gaji langsung saya belikan HP tulalit untuk menghubungi keluarga. Alhamdulillah komunikasi kita lancar setelah itu," Aini mendekatkan tubuhnya ke api unggun. Malam semakin dingin.

"Apa mereka tidak memintamu pulang? Dari cerita yang awal ke sini untuk berlibur pasti kamu datang dari keluarga yang berada, 'kan?"

Angga menyerahkan seekor ikan bakar ke Aini.

"Tidak juga. Mantan tunanganku yang membiayai semuanya. Saat itu ia merayakan ulang tahun serta jatuhnya warisan keluarga kepadanya." Nada Aini berbicara terdengar seperti menyimpan amarah.

"Mantan tunangan?" sebenarnya Angga ragu menanyakan hal ini.

Aini tersenyum tipis sambil memijit-mijit ikan bakar ditangannya. Memastikan kalau sudah matang semua. "Dia menikah dengan orang Jakarta tepat di hari pertama aku mempunyai hand phone. Ibuku yang memberi tahu. So, aku memutuskan untuk pulang nant-nanti saja kalau sudah banyak uang sekaligus membawa pangeran, hehehe," tawa Aini renyah.

"Kalau begitu, aku siap menjadi pangeranmu. Ayo kita pulang, hehee," canda Angga mampu membuat Aini tersedak. Untung daging ikan, bukan durinya.

"Kamu!" jengkel Aini menyimpan senyum.

"Habiskan ikannya, nanti kuantar pulang ke tempatmu."

Aini mengangguk. Keduanya berlomba melahap talapia yang super menggoda itu. Memang tanpa bumbu apa pun, namun mampu mengenceskan liur perut yang lapar.

***

Sejak kejadian itu, Aini dan Angga sering bertemu di hari libur yang sama. Kadang sebulan sekali, tiga bulan sekali bahkan ada yang sampai enam bulan baru menjumpai hari libur yang sama.
Meski sangat terlambat akhirnya permit kerja Angga sudah jadi. Kini ia tidak lagi ketakutan jika berpapasan dengan Encik Baju Hitam.

"Aini ...."

"Ya."

"Boleh aku minta alamat rumahmu?" tanya Angga saat makan malam bersama di kedai tomyam. Bahasa mereka sudah tidak saya-saya lagi.

"Untuk?" Aini berbalik tanya.

"Main,"

"Lampung-Jawa bukan jarak yang dekat loh," ucap Aini sambil menyuapkan sesendok nasi ke mulutnya.

"Boleh enggak?" tanya Angga sekali lagi.

"Iya-iya, nanti aku SMS-in alamat rumah," jawab Aini tersimpul senyum.

"Dua bulan lagi aku akan pulang untuk melamarmu, kembali ke sini menjemputmu kita pulang sama-sama untuk hari pernikahan kita," ucap Angga tertunduk. Sebenarnya ingin sekali menggenggam erat tangan Aini seperti peristiwa berlarian setahun yang lalu, namun ia paham kalau gadis pujaan hatinya itu sangat menjaga marwah.

Aini sangat terharu bahagia. Hatinya sempat dilema karena kedekatan yang cukup lama dengan Angga, sama sekali belum pernah ada kata cinta yang terucap. Berbunga-bunga jiwa Aini pemuda Jawa Timur itu memang bukan pengobral cinta, tetapi pengagung cinta.

"Aku sangat berharap kamulah tulang rusuk yang kucari-cari selama ini. Maukah kamu menjadi bidadariku, Aini Ismawa?" Angga mengeluarkan benda merah berbentuk hati. Menyodorkannya ke Aini.

"Di dalamnya terdapat cincin emas putih. Simpanlah. Sesampainya aku datang melamar ke rumahmu, tolong aktifkan skype. Jika kamu memakai cincin ini, aku sangat bahagia, cintaku tidak bertepuk sebelah tangan, namun jika engkau enggan memakainya aku tetap akan bahagia menjadi sahabatmu selama ini."
Kata-kata Angga sangat menyentuh kalbu Aini. Hatinya semakin berbunga dan tidak sabar menanti hari lamaran itu.

"IC, Permit?" tiba-tiba ada yang menghampirinya. Bapak-bapak berbadan tegap.

Buru-buru Aini menyimpan cincin pemberian Angga ke sakunya. Badannya gemetar karena tidak dapat menyerahkan kartu identitas diri. Angga sangat terpukul melihat Aini yang diborgol bersama para PATI yang lain. Aku akan setia menunggumu Aini, teriak Angga sepergian Aini di bawa lokap.

Tamat.

(Selangor, Februari 2016)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun