Mohon tunggu...
Tjatur Wiharyo
Tjatur Wiharyo Mohon Tunggu... Lainnya - Bapak Tiga Anak

Smile at the Storm

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Catatan Pelatihan Wartawan Suara Pembaruan

13 Agustus 2023   10:05 Diperbarui: 25 Mei 2024   22:07 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah ngobrol-ngobrol dengan beberapa teman soal jurnalisme (nyerempet-nyerempet Rancangan Perpres Jurnalisme Berkualitas juga hehehe), saya jadi buka-buka file lama dan menemukan catatan Rangkuman Pelatihan Jurnalistik, yang saya buat waktu mengikuti pelatihan calon wartawan di Suara Pembaruan edisi Cawang, pada 2007 bersama dengan beberapa teman lain.

File catatan itu bisa dilihat dan diunduh di sini. Empat orang pilih tanding, Pandapotan Simorangkir, Sabar Subekti, Agus Baharudin, dan Edwin Karuwal menurunkan ilmu kepada kami begitu saja, sehingga saya hanya meneruskan kebaikan yang sudah saya terima.

Catatan ini masih seperti aslinya, termasuk soal typo hahaha. Tidak ada grafis dan macam-macam dekorasi kekinian. Bahasanya juga masih gaya lawas.

Kami beruntung mendapatkan pelatihan itu, karena saat ini, setahu saya, tidak ada media pers yang memberikan pelatihan bagi calon wartawan, mungkin kecuali Harian Kompas. Begitu masuk dunia redaksi, pemuda-pemudi potensial masa sekarang, yang kuda-kudanya bagus, tetapi belum cukup kuat, sudah dipaksa berlari mengejar traffic dan revenue.

Tampak mengesankan, tapi, kalau melihat film Karate Kid (2010), sebelum berlatih jurus, Xiao Dre harus melalui fase latihan "Jacket on! Jacket off!" untuk menanamkan karakter, nilai, dan trust. Jika tidak, Mr Han hanya akan menciptakan mesin petarung seperti yang dilakukan Master Li pada anak-anak didiknya.

Oleh karena itu, pun tak lagi menyandang id card pers, saya merasa catatan rangkuman itu masih relevan pada masa sekarang, saat teknologi membuat informasi tumbuh dan berkembang begitu cepat menjadi hutan belantara sehingga kita semakin sulit mengenali gandum dan ilalang.

Di tengah hutan belantara itu juga, sebetulnya terjadi kanibalisme intelektualitas dan kemanusiaan, yang seringkali terjadi karena tidak sengaja alias tidak disadari. Tentu saja, saya bukan pengecualian.

Dampaknya tidak tampak sekarang. Seperti makanan, dampak nutrisi buruk baru akan muncul belakangan dan dalam bentuk yang boleh jadi jauh dari perkiraan. Dalam hal belantara informasi, dalam konteks dan tingkatan tertentu, dampaknya tidak hanya soal intelektualitas, tetapi juga soal generasi dan peradaban.

Boleh jadi (semoga tidak), pemahaman dan kesadaran atas keadaan sekarang baru muncul 2-3 generasi mendatang, saat content creators  saat ini tiada dan kontennya menjadi bahan penelitian manusia masa depan atau rujukan data AI yang semakin canggih. Jika begitu, menyesal pun tak lagi sempat.

Kok, jadi ke mana-mana ya ... Ngelanturnya disudahi sampai di sini saja kalau begitu.

Saya akan gembira dan berterima kasih, jika ada masukan untuk saya memperbaiki catatan ini sehingga di kemudian hari bisa saya bagikan kembali dalam bentuk dan isi lebih baik.

Sekian... Kurang-lebihnya mohon disesuaikan

Terima kasih

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun