Mohon tunggu...
Tjatur Wiharyo
Tjatur Wiharyo Mohon Tunggu... Lainnya - Bapak Tiga Anak

Smile at the Storm

Selanjutnya

Tutup

Bola

Tukang Ojek, Resista, dan Indonesia

1 Agustus 2015   21:28 Diperbarui: 12 Agustus 2015   06:47 433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setelah mendapatkan perawatan ala kadarnya dari rumah sakit terdekat, saya berjalan kaki ke tempat saya mengalami kecelakaan, hendak mengambil sepeda motor. Orang-orang yang tadi membantu saya, masih ada di situ. Mereka menyongsong saya.

Kami kemudian duduk dan berbincang-bincang. Setelah agak lama mengobrol, seorang dari mereka bangun dari duduk untuk mengambil sepeda motor saya dari suatu tempat tak jauh dari tempat kami berbincang.

Saya tidak tahu cara berterima kasih yang pantas. Saya hanya tahu, masih ada uang di saku dan sepeda motor saya masih punya cukup bensin untuk saya pacu sampai ke rumah. Saya menyodorkan semua uang yang saya masih punya.

Namun, uang saya "tidak laku" di situ. Orang-orang yang rata-rata tukang ojek itu menolak uang saya. Mereka bilang, "pamali pamrih sama orang yang kena musibah." Mereka kemudian bertanya kalau-kalau saya perlu diantar pulang, tetapi saya akhirnya pulang sendiri.

Saya mengalami kecelakaan itu pada Maret 2011. Ingatan saya tiba-tiba melompat ke peristiwa itu, tak lama setelah saya mendapatkan kembali telepon selular saya, pada Jumat (31/7/2015).

Telepon genggam itu tertinggal di sebuah taksi pada Kamis (30/7/2014) malam. Setelah menghubungi call centre taksi itu, saya mencoba menelepon nomor telepon genggam saya yang "hilang" itu. Saya mencobanya beberapa kali dan selalu "masuk", tetapi tidak ada yang mengangkat. 

Keesokan harinya, istri saya mencoba menghubungi nomor saya itu. Usaha istri saya membuahkan kabar baik. Pemegang telepon seluler saya mengangkat telepon dari istri saya.

Ternyata orang yang menemukan telepon saya itu adalah seorang perempuan, customer taksi setelah saya. Perempuan tersebut menemukan telepon selular saya di taksi, tetapi takut untuk menyerahkan kepada sopir taksi itu, sehingga memilih menyimpannya sendiri.

Singkat cerita, saya berhasil menemui perempuan itu di kantornya dan mendapatkan kembali telepon selular saya. Perempuan itu bernama Resista dan bekerja sebagai resepsionis. Dan, ternyata, perempuan yang bicara dengan istri saya di telepon bukan Mbak Resista, melainkan rekannya, Ibu Mustika.

Pengalaman saya menjadi "korban" tidak ada apa-apanya dibanding yang dialami pemain-pemain sepak bola negeri ini. Saya kehilangan beberapa gigi, tetapi tidak kehilangan pekerjaan. Tanpa gigi, saya masih bisa menafkahi keluarga, tetapi bagaimana jika saya tak punya pekerjaan?

Dari derita yang "tak seberapa" itu, saya bahkan masih mendapatkan bonus, vitamin harapan, karena setelah sekian tahun berlalu, saya masih bertemu orang baik di Jakarta. Coba lihat pemain-pemain sepak bola negeri ini. Setelah FIFA membekukan sepak bola Indonesia pada Mei 2015, pemain-pemain kesulitan mencari nafkah. Ada pihak-pihak yang berencana menggelar "tarkam", tetapi sejauh ini tidak terealisasi, karena PSSI dan Kemenpora keberatan gengsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun