Mohon tunggu...
Tjatur Wiharyo
Tjatur Wiharyo Mohon Tunggu... Lainnya - Bapak Tiga Anak

Smile at the Storm

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

KN vs K78 - Untuk Kepentingan Siapa?

1 Juni 2011   04:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:59 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Orang tua selalu menginginkan anaknya lebih baik dari dirinya sendiri. Karenanya, meski pernah menyontek, orang tua akan tetap meminta anaknya tidak begitu. Apa yang akan Anda lakukan jika anak Anda menjawab, "Bapak saja begitu, masa saya tidak boleh." ?

FIFA adalah orang tua yang pernah (atau mungkin belum insyaf) menyontek itu. FIFA yang tidak suci ini melarang AP-GT maju dalam pencalonan ketua umum PSSI. Apakah PSSI akan memberi jawaban seperti anak di atas?

FIFA telah memberi kesempatan kedua kepada PSSI untuk menggelar kongres kedua, 30 Juni mendatang. Beberapa orang mengatakan, sebagai komite normalisasi, KN salah karena merancang agenda seakan-akan PSSI dalam kondisi normal dan tidak memberi ruang untuk dialog pihak bertikai.

Saya yakin beberapa orang pernah mendengar kalimat ini, "Selesai tidak selesai, tugas harus dikumpulkan besok. Jika tidak, risiko ditanggung sendiri" Otoriter? Bisa jadi. Tidak demokratis? Mungkin.

Jika menunggu dengan sabar sampai setiap anak mengumpulkan, berapa lama dibutuhkan untuk satu tahun ajaran? Tidakkah itu mengorbankan anak-anak yang lain, yang sudah mengumpulkan, entah caranya halal atau tidak.

Kalau ada murid yang tidak suka dengan kebijakan itu, alangkah lebih efektif dan efisien ia pindah ke sekolah yang lebih toleran ketimbang memaksa sekolah mengubah peraturannya.

Karena sepak bola tak berarti lebih dari olahraga tanpa penonton, maka rakyat harus diutamakan. Bicara soal sanksi PSSI jika kongres kedua kembali gagal, apakah itu yang rakyat inginkan?

Kalaupun iya, maka tak perlu saling menyalahkan, karena FIFA yang tidak suci itu telah menggariskan demikian. Kalau iya, maka orang yang dilarang harus terima menerima nilai rapor merah atau pindah "sekolah".

Pihak bertikai mengklaim paling benar dan saling membuka aib lawan minta "belas kasihan". Namun, rakyat tidak bodoh. Dalam perebutan kekuasaan, mereka yang bermain punya kepentingan, dan kepentingan tidak sejajar dengan keadilan, apalagi kebenaran.

Jadi, kalau mau mencari keadilan sampai tingkat kemurniannya 24 karat, dunia bukanlah tempatnya, karena penjahat pun harus didampingi pembela di pengadilan dan tak jarang malah menang, apalagi di Indonesia ini.

Bagaimana jika Agum mundur, dan FIFA tetap pada keputusannya? Pihak bertikai mengaku-aku punya kenalan di FIFA, namun sebagai institusi, FIFA hanya bisa mengeluarkan satu surat keputusan dan saat ini, mereka memutuskan tetap percaya kepada Agum dan melarang AP-GT.

Kita sudah jatuh pada kesempatan pertama, apakah kita juga akan jatuh di kesempatan kedua? Demokrasi bukan cuma bicara soal diskusi debat kusir, tetapi juga kebesaran jiwa menerima kekalahan.

Namun, kalau kita sangat yakin kita benar dan FIFA-Agum  sangat salah, kita bisa memberi keadilan kepada diri sendiri dengan memboikot kongres II dan dengan begitu diskors atau mundur sekalian dari FIFA, tanpa perlu saling menyalahkan.

Kemenangan belum tentu mulia karena bisa diraih dengan cara apa pun, tetapi orang kalah yang mau mengakui kemenangan lawan selamanya akan disebut ksatria. Kalau  soal kepentingan, yang ada cuma cari selamat, bukan kehormatan.

Terakhir, rakyat tak peduli siapa yang menjadi ketua umum PSSI, asal aliran APBN/APBD untuk klub bisa dihentikan dan digunakan untuk perbaikan pendidikan dan kesehatan rakyat, dan Indonesia Raya bisa mengiringi naiknya Sang Merah Putih  selain di negeri sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun