Ustadzah sudah memulai ceramahnya, ketika aku dan Maya duduk berbaur dengan jamaah yang lain. Kuikuti dengan seksama setiap apa yang dikatakan ustadzah. Damai dan tentram kurasakan. Selalu ada cara Allah untuk mempertemukan hamba-Nya dengan orang-orang baik. Untuk meluruskan jalannya ketika berbelok. Menyembuhkan luka hati ketika tersakiti. Dan semua ini kuyakini sebagai takdir. Juga pertemuanku dengan Maya. Kuyakini inilah takdir Allah untukku.
Sejak bertemu Maya, aku semakin rajin mengikuti kajian di Masjid Besar Alun-alun kota. Juga menikmati Senja di atas Kubah masjidnya. Keduanya menjadi kegiatan rutin yang memberiku ketentraman hati. Kegundahan hati yang selama ini menyesakkan dada lambat laun berangsur berkurang. Semua tiba-tiba menjadi kebutuhan hidup yang menenangkan dan menyejukkan. Hingga meninggalkannya menjadi keniscayaan. Aku semakin berserah dan bertawakal kepada Allah.Â
Perlahan juga, aku tak lagi tergantung dari obat dari dokter. Banyang-banyang makhluk hitam yang mengikuti selama ini, mulai tak nampak lagi. Benar apa yang dikatakan ustadzah, yang bisa membentengi atas segala gangguan sebenarnya diri sendiri. Lambat laun kurasakan semakin membaik hatiku. Aku harus bisa menata masa depan lagi. Harapan itu tumbuh dengan nyala api, meski sinarnya masih redup. Aku bertekat memberinya energi lebih, hingga sinarnya semakin membesar. Seperti sinar matahari senja di atas kubahnya yang kurasakan hangatnya. Indah dan menentramkan.
Â
Sejuta Bunga, 7 September 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H