Zakat merupakan ibadah yang memiliki dimensi ganda, vertikal dan horizontal. Secara vertikal zakat sebagai ibadah dan wujud ketakwaan serta bentuk rasa syukur seorang hamba kepada Allah atas nikmat berupa harta yang diberikan oleh Allah SWT. Selain itu, zakat juga merupakan salah satu cara untuk membersihkan dan mensucikan harta umat Islam. Dalam konteks inilah zakat bertujuan untuk menata seorang hamba dengan tuhannya sebagai pemberi rezeki.
Sedangkan secara horisontal, zakat bertujuan mewujudkan rasa keadilan sosial dan kasih sayang diantara pihak yang mampu dengan pihak yang kurang mampu dan dapat memperkecil problematika dan kesenjangan sosial serta ekonomi umat. Dalam konteks ini, zakat diharapkan dapat mewujudkan pemerataan dan keadilan sosial diantara kehidupan umat manusia, terutama umat Islam.
Indonesia merupakan negara yang penduduknya mayoritas Islam, sehingga tidak heran jika zakat memiliki potensi yang sangat besar di negara ini. Potensi zakat bisa mencapai 217 triliun per tahun. Tidak heran memang, jika saat ini pemerintah mulai mengincar dana umat Islam, mulai dari dana haji hingga dana zakat. Setelah dana haji ditolak publik untuk membiayai pembangunan infrastruktur, pemerintah mulai mengincar dana zakat.
Sebagian golongan mendukung ide Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indarwati (SMI) yang menginginkan agar zakat bisa dikelola dengan baik seperti pajak, tak sedikit golongan lain menolak dengan alasan pemerintah tidak boleh terlalu dominan dalam urusan mengatur masalah ibadah, khususnya pengelolaan zakat dan jangan pernah berpikir untuk mengambil alih pengelolaan zakat, karena dana itu milik umat yang dikelola Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS).
Dalam al-Qur'an surat at-Taubah ayat 60 serta dalam UU Pengelolaan Zakat Nomor 23 Tahun 2011, khususnya Pasal 25, mengatakan bahwa zakat wajib didistribusikan kepada penerima zakat (mustahiq) sesuai dengan syariat Islam yang disebut dengan 8 golongan (asnaf), yaitu fakir, miskin, pengurus zakat (amil), muallaf, budak yang dimerdekakan, orang berhutang (ghorim), orang yang berjuang di jalan Allah (sabilillah), dan orang yang dalam perjalanan (musafir).
Selama ini, dana zakat masih dikelola oleh BAZNAZ. Ada dua strategi dalam Penyaluran dana zakat yang dikelola oleh BAZNAZ yakni: penyaluran secara langsung dan tidak langsung. Penyaluran langsung biasanya dilakukan langsung kepada mustahik seperti yang dilakukan oleh USZ konter. Sedangkan penyaluran tidak langsung biasanya dilakukan oleh Unit Saluran Zakat (USZ) mitra seperti badan amil zakat (BAZ), LAZ lembaga amil zakat dan USZ mitra yang ada di BUMN, BUMS, BMT dan Lembaga Masjid. Adapun kegitan penyaluran dana zakat meliputi: bantuan kemiskinan, bantuan kesehatan, bantuan pendidikan, bantuan ekonomi, kegiatan dakwah dan masyarakat mandiri.
Lalu bagaimana jika dana zakat tersebut digunakan untuk infrastruktur?
Ada enam kategori besar infrastruktur, pertama, kelompok jalan. Kedua, kelompok pelayanan transportasi. Ketiga kelompok air. Keemapat, kelompok manajemen limbah (sistem manajemen limbah padat). Kelima, kelompok bangunan dan fasilitas olahraga luar dan keenam kelompok produksi dan distribusi energi.
Wacana dana zakat yang akan digunakan untuk pembangunan insfrastruktur masuk pada kategori ke tiga, kelompok air yakni air bersih. Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan, pada 2015, cakupan akses air bersih dan sanitasi layak (universal access) baru sekitar 70,97%. Padahal, pada 2019 universal access tersebut ditargetkan mencapai 100%. Kurangnya akses air bersih dan sanitasi ini membuat sepertiga balita mengalami stunting (kekerdilan) yang tentunya akan menjadi beban di era bonus demografi. Tidak hanya itu, kurangnya air bersih juga akan menimbulkan berbagai penyakit seperti diare. Hingga saat ini, Masih ada sekitar 72 juta penduduk belum mendapatkan akses air bersih/ minum dan 96 juta penduduk yang belum memiliki akses sanitasi layak.
Maksud dari sanitasi adalah sarana dan atau prasarana yang diadakan dari harta zakat dan secara fisik berada di dalam pengelolaan pengelola sebagai wakil mustahik zakat, sementara manfaatnya diperuntukkan bagi mustahik zakat.
Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengatakan bahwa Kebutuhan dana yang diperlukan untuk mencapai target 100% air minum pada 2019 ditaksir mencapai Rp 275 triliun. Dari jumlah tersebut, APBN hanya mampu membiayai sekitar 30% dan APBD 40%. Sisanya, sebesar 12% diharapkan dari sektor swasta dan 10% dari BUMN/BUMD maupun sumber pembiayaan lain.
Indonesia mulai melirik dana sosial umat Islam mulai dari dana haji hingga zakat. Perlu kita akui memang bahwa zakat di Indonesia memiliki potensi yang sangat besar. Wakil ketua komisi VIII DPR RI Iskan Qolba mengatakan bahwa BAZNAS baru bisa mengumpulkan 7 triliun. Padahal, potensi zakat bisa mencapai 217 triliun per tahun. Hal itu karena BAZNAS belum mampu menjadi koordinator untuk mengoptimalkan penarikan zakat terhadap Lembaga Amil Zakat (LAZ) di seluruh Indonesia. (www.republika.co.id).
Selain itu, menurut hemat penulis, karena kurangnya kesadaran dari masyarakat Muslim Indonesia akan pentingnya zakat. Banyak yang berpikir bahwa zakat hanya identik dengan zakat fitrah yang hanya dibayarkan di bulan Ramadhan saja. Padahal masih ada jenis zakat lain yang kemungkinan lupa dibayarkan  seperti zakat mal atas harta yang dimiliki. Rendahnya zakat mal ini juga didasari definisi yang sempit tentang subyek zakat. Sebagian orang hanya mengacu kepada subyek zakat mal di era Rasulullah, seperti emas, perak, hasil pertanian, ternak dan tambang. Masih banyak umat Islam yang beranggapan bahwa aset di luar itu tidak menjadi subyek zakat, seperti deposit bank, saham, sukuk yang juga menjadi subyek zakat mal.
Salah satu hikmah disyariatkannya zakat ialah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang berhak (mustahiq) guna menjamin kebutuhan pokoknya.Tujuan zakat tidak hanya sekedar untuk menyantuni orang miskin secara konsumtif, tetapi memiliki tujuan yang lebih permanen yaitu mengentaskan kemiskinan. Salah satu yang menunjang hidup di akhirat adalah adanya kesejahteraan ekonomi. Hal ini merupakan seperangkat alternative untuk menyejahterakan umat Islam dari kemiskinan dan kemeralatan.
Dengan demikian, menurut penulis, perluasan pemanfaatan dana zakat sebagaimana wacana yang akan dijadikan infrastruktur itu boleh. Agar pemanfaatan dana zakat lebih dirasakan kemanfaatannya bagi banyak mustahik dan dalam jangka waktu yang lama, seperti pembangunan sarana air bersih dan sanitasi di daerah yang membutuhkan. Penyediaan sanitasi dan sarana air bersih bagi masyarakat merupakan kewajiban pemerintah sebagai wujud dari implementasi hifzu an-nafs (menjaga jiwa).
Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) Nomer: 001/MUNAS-IXMUI/2015 tentang pendayagunaan harta zakat, infaq, sedekah dan wakaf untuk pembangunan sarana air bersih dan sanitasi bagi masyarakat. Dalam fatwa tersebut MUI mengatakan kebolehannya.
Keberpihakan MUI terhadap perluasan makna dari penggunaan dana zakat ini perlu di apresiasi. Dengan adanya fatwa tersebut diharapkan masyarakat bisa menerima keputusan dari pemerintah. Kami berterima kasih ke MUI yang telah mengeluarkan fatwa pemanfaatan dana sosial keagamaan untuk pembangunan air bersih dan sanitasi yang kami harap dapat mempercepat upaya pengurangan kemiskinan.
Penggunaan dana zakat untuk membangun infrastruktur, harus dirumuskan secara hati-hati. Sebab, dalam UU Pengelolaan Zakat Nomor 23 Tahun 2011, khususnya Pasal 25, zakat wajib didistribusikan kepada penerima zakat (mustahiq) sesuai dengan syariat Islam yang disebut dengan 8 golongan (asnaf), yaitu fakir, miskin, pengurus zakat (amil), muallaf, budak yang dimerdekakan, orang berhutang (ghorim), orang yang berjuang di jalan Allah (sabilillah), dan orang yang dalam perjalanan (musafir).
Menurut penulis, dana zakat yang dijadikan infrastruktur hanyalah zakat-zakat tertentu. Seperti zakat mal. Seiring berkembangnya zaman, subyek zakat bukan hanya emas, perak, hasil pertanian, ternak dan tambang. Namun ada juga subyek zakat lain, seperti deposit bank, saham, sukuk yang juga menjadi subyek zakat mal. Ketika pengelolaan zakat ini optimal dan efektif maka kemungkinan potensi pendapatan zakat tercapai sebagaimana hasil dari kajian yang dilakukan ADB (Asian Development Bank) dan BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) yang menyatakan bahwa potensi pengumpulan dana zakat Indonesia dapat mencapai Rp 217 triliun. (www.voaindonesia.com). Zakat fitrah cukup dikelola oleh pribadi muslim maupun lembaga.
Dengan adanya pengalokasian dana zakat untuk infrastruktur yang dirumuskan secara hati-hati ini, kami berharap potensi penerimaan zakat akan lebih optimal karena masyarakat yang membayar zakat percaya, bahwa dana zakat yang dikumpulkan BAZNAS terkelola dengan baik untuk mengangkat perekonomian suatu daerah.
Harapannya dana zakat yang nantinya dikelola oleh pemerintah, penghimpunanya lebih optimal dan dalam pengelolaan zakat juga harus transparan.
Penulis Wifaqatus Syamilah
Mahasiswa Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Prodi Ekonomi Islam
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H