Kupandang wajahku di cermin. Pantulannya menggambarkan aku, yang masih cantik. Mataku yang sedikit sayu, yang pernah digilai Doni. Lalu perlahan pandanganku turun ke dada yang masih indah. Kubelai lembut sambil membayangkan Jacky. Dimana kau sekarang, Jacky? Kembali kupandang dari wajah hingga ujung kaki. Lekuk badanku tidak seperti super model, tapi kulitku yang putih mulus menjadi nilai tambah fisikku. Bulu-bulu halus di tangan dan kaki yang sempat kuhilangkan dengan berbagai cara, kubiarkan untuk tumbuh karena ternyata Doni menyukainya. Oh, Doni.. Kaulah lelaki pertamaku... Dan Herman? Masihkah dia menginginkanku?
***
Aku kenal Doni saat masih sekolah tingkat akhir. Dia adalah tetangga terhalang tiga rumah dari rumahku. Sering melihatnya walau tanpa sapa saat pulang sekolah, ternyata lama-lama aku merasa jatuh cinta padanya. Kalau aku pulang melewati rumahnya dan dia tidak tampak, aku gelisah. Dan aku mencari jalan agar aku bisa melihatnya. Kadang aku bolak balik ke warung ujung jalan membeli yang tidak penting hanya untuk dapat melihatnya. Tak terbayangkan betapa resahnya jika hingga senja turun dan malam tiba aku tidak melihatnya. Aku kasmaran. Aku jatuh cinta. Aku memimpikannya. Memimpikan lelaki yang tidak memandangku sebelah mata, karena aku hanya anak sekolah. Oh ternyata perih rasanya bertepuk sebelah tangan.
Hingga pada satu senja, aku bertemu dengannya di tikungan jalan. Tepatnya dia tak sengaja menyerempetku dengan sepeda motornya. Dan untuk pertama kalinya pandangan mata kami beradu, dengan jarak yang begitu dekat. Gelapnya senja tak membutakan mataku untuk memetakan wajahnya dalam benakku. Sempurna, seperti yang kubayangkan selama ini. Dan pandangan mata itu.. Aduh, aku mendadak lemas. Aku rasanya sulit bernafas. Setengah mati kucoba tenangkan hatiku yang bergemuruh kencang, sambil berharap dia tak mendengarnya. Kemarahan yang tadi timbul dan nyeri yang ditimbulkan karena tabrakan itu mendadak menghilang.
“Maaf. Maaf banget.. Ada yang luka? tanyanya. Aku hanya bisa mengeleng. Tak bisa berucap sepatahpun. Aku gugup. Aku gembira dia ada di depanku sedekat ini. Rasanya ingin melompat-lompat saking bahagianya.
“Ayo saya antar pulang,” ucapnya lagi. Aku menggelengkan kepalaku, menolak ajakannya.
“Gak usah Mas, udah deket kok...”
“Ayo, nggak usah nolak. Cepet naik, saya anter kamu,” ujarnya memotong penolakanku. Tangannya meraih tanganku, dan berhenti sekian lama disitu. Kami terdiam saling memandang. Senja telah berganti malam. Dan kami tetap terdiam saat aku melangkah masuk ke rumahku.
***
Berada di dekat Doni, selalu membangkitkan gairah yang dahulu rasanya tertidur tenang. Aku sudah dewasa. Bukan satu kali ini saja aku dekat dengan lelaki. Akupun tidak buta jika ada yang memberikan perhatian lebih padaku. Akupun bisa merasa jika ada yang menginginkanku lebih dari hanya sekedar berpelukan atau berciuman. Tapi semua itu seolah membentur benteng pertahananku. Tapi dengan Doni, gairah selalu meletup-letup tanpa dapat kutahan. Aku seolah terperangkap dalam pusaran gejolak yang perlu pelampiasan. Raga ini seolah mendamba hangat dan sentuhan laki-laki yang kucinta sekian lama dalam diam.
Sejak kejadian terserempet senja itu, kami jadi dekat. Tapi hanya sebatas itu. Doni tidak pernah mengucap kata yang kuharapkan. Sering kami berjalan berdua. Tapi tidak ada kemesraan seperti yang kuimpikan. Sementara hasratku seolah semakin menggila dan menggelegak. Tapi Doni, lelaki sejatiku, mengapa menutup mata akan semua ini? Apakah aku tidak menarik di matanya? Aku resah. Gelisah tak menentu. Bayangan mimpiku semalam menari-nari lagi di mataku. Begitu indah dan merasuk kalbu. Aku terhanyut dalam sentuhannya. Ciumannya membiusku. Hingga gairahku meledak saat dalam pelukannya. Aku tak mau lepas. Aku ingin lagi, dan lagi, dan lagi menerima penyatuan raga kami. Dahagaku terpuaskan sudah. Hingga akhirnya gejolak itu mereda. Dan kami tetap berpelukan. Memandang bulan yang muram mengintip dari balik jendela.
***
Tak kusangka mimpiku itu memang akhirnya menjadi kenyataan. Saat itu aku menangis bahagia. Lepaslah sudah mahkotaku. Aku berikan kepada lelaki yang kucinta. Dan kami terlena. Hari demi hari, bulan ke bulan, terus kami lakukan jika ada kesempatan. Terlebihlagi saat aku yang meminta. Sejak kejadian itu aku semakin cepat dahaga. Selalu ingin kembali dipuaskan dan menuntut terpuaskan. Namun siapa sangka, gairah itu berbuah. Doni panik dan marah-marah tak menentu. Hilang sudah sosok Doni yang selama ini menyayangiku. Tunggu dulu... Benarkah dia menyayangiku? Kupejamkan mataku, memanggil kembali kejadian-kejadian lalu di antara kita. Dan tergambarlah bahwa Doni tak pernah sepatah katapun mengucapkan perasaan kasih dan sayangnya padaku. Aku menangis. Tak tahu apa yang harus kuperbuat. Ayah ibuku tentu akan marah besar jika aku menceritakan hal yang kualami. Dua malam aku menangis bingung dan kalut di kamarku.
Tring tring... Nada sms masuk. Dari Doni. Dengan masih basah air mata, kubaca pesannya. “Besok ke tempatku. Aku sudah dapat jalan keluarnya.”
Siapa sangka, jalan keluarnya ternyata aborsi. Aku menolak mati-matian dan menangis tak henti-hentinya, nyaris histeris. Dan nyaris gila saat Doni menghilang tak tentu rimbanya. Bertahun-tahun aku menata kembali hatiku, menyusun puzzle hatiku satu demi satu hingga terbentuk kembali walau sebenarnya hatiku telah hancur.
Dan ternyata kejadian itu bagai mimpi buruk tak berakhir. Petaka baru muncul di depan mataku. Dalam kebahagiaan pernikahan di tahun pertama, vonis dokter menghancurkan harapanku dan juga Jacky, suamiku. Aku mandul. Bagai disambar petir aku mendengarnya. Kulirik Jacky. Wajahnya pucat dan sangat jelas mengguratkan kekecewaan yang mendalam. Dokter yang kudatangi sore itu sungguh arif. Dia tidak menceritakan detail hasil pemeriksaan dan kemungkinan penyebabnya walaupun dia mungkin bisa menebak. Tak dinyana, kunjungan ke dokter sore itu membawa kesedihan dalam sekam. Dan Jacky tidak sanggup menahan lebih lama lagi. Terucap bahwa dia sangat menginginkan anak yang tidak bisa kuberikan. Akhirnya dia menceraikanku. Dan tinggallah aku menyesali nasibku. Teringat dahulu seseorang yang mengaku dokter yang mengaborsi kandunganku sempat mengingatkan kemungkinan yang akan timbul akibat pengguguran itu.. Namun apa daya. Dan inilah akibat yang harus kutanggung sekarang. Aku membunuh anakku, suamiku menceraikanku, dan sekarang dan selamanya tak akan ada lagi janin yang bisa bersemayam di rahimku yang sudah rusak. Dan kabar yang kudengar, istri baru Jacky sudah hamil dua bulan. Aku benar-benar terpuruk...
***
Pernikahan keduaku nyaris di depan mata. Tak sabar kulingkari hari-hari yang telah lewat yang semakin mendekat ke harinya. Persiapan telah lengkap dan sepertinya tak ada yang tertinggal. Namun semakin mendekati hari, aku berada dalam dilema. Kondisiku sebagai perempuan tidak sempurna membebani pikiranku. Apakah hal ini harus kukatakan pada Herman? Dia menerima keadaanku yang dahulu pernah melakukan kesalahan, tapi dia tidak tahu bahwa ada permasalahan yang lebih utama lagi. Kemandulanku.
“Man, nanti kamu mau anak berapa?” tanyaku saat kemarin dia datang ke rumahku.
“Hhmmm... berapa ya? Dua ya? Satu mirip aku, satunya mirip kamu,” jawabnya sambil memencet hidungku. Aku terdiam sesaat.
“Kalau misalnya aku nggak bisa punya anak?” pancingku.
“Ya harus punya dong. Aku kan suka anak-anak. Mau nambah cucu juga buat Ibu,” jawabnya. Aku terdiam lagi. Kejujuran sudah sampai di ujung bibir, tapi tak urung terucap. Aku tak mau kehilangan Herman.
Namun ternyata, di dunia yang sempit ini, banyak kejadian tak terduga. Suatu sore, Herman menjemputku dari kantor. Sejak di dalam mobil, kulihat wajahnya muram. Tak banyak bicara dan ceria sebagaimana biasanya.
“Kamu sakit, Man?” tanyaku. Herman menggeleng. Dan perlahan dia menghentikan mobilnya.
“Wie, kamu kenal Jacky kan?” tanyanya. Aku mengerutkan kening. Alarm bahaya mulai menyala perlahan.
“Maksudmu.. Jacky yang mana?” jawabku.
“Tidak masalah jika dia mantan suamimu. Masa lalumu pun aku tidak meributkannya. Tapi....” Ucapan Herman terhenti, seolah berat melanjutkannya. Kepanikan mulai muncul di hatiku.
“Apa benar kamu mandul?” Bagai ditimpa beton berton-ton rasanya. Aku tidak mampu membuka mulut. Mencoba menahan keluarnya air mata yang mulai mendesak.
“Benar Wie? Apa benar berita itu? Kalian dahulu bercerai karena kamu mandul?” Bertubi-tubi pertanyaan Herman yang tak sanggup kujawab. Aku sudah bisa menerka akhir dari perjalanan ini. Dan Herman bisa menebak diamku itu. Saat kulihat, wajahnya menyiratkan kesedihan, kekecewaan yang nyaris sama dengan Jacky dulu. Aku ingin berteriak. DUHAI DUNIA, TAK ADAKAH YANG BISA MENGERTI BETAPA AKUPUN SANGAT SEDIH???
Pernikahanpun gagal sudah. Dan kini, seolah di dahiku ada cap MANDUL. Pandangan orang yang sinis, atau iba, atau pura-pura kasihan, entahlah.. Aku tak bisa membaca arti pandangan mereka. Pastinya sangat menyakitkan!
****
Ibuku masih terus berusaha membantuku mendapatkan jodoh kembali. Sudah berapa laki-laki dikenalkannya padaku. Apa yang bisa kuharapkan dari anak muda berondong? Pasti dia menuntut anak dariku. Lalu duda-duda itu? Aku takut melihat matanya. Beberapa dari mereka seolah ingin menerkamku dan melumatku. Lalu seorang ustad yang langsung mundur karena kemandulanku. Yang diketahuinya, pernikahan haruslah dengan perempuan yang subur dan bisa melahirkan banyak anak. Ya Tuhan.. Betapa tak berartinya kami, wanita-wanita mandul ini. Beberapa dari kami memang mandul karena takdirMu, bukan? Dan itu adalah cobaan yang tidak pernah mereka inginkan. Perempuan bodoh mana yang ingin dilahirkan dalam keadaan mandul? Itupun bisa mereka ketahui setelah melalui pernikahan yang tidak juga lahir keturunan yang diinginkan.
Entah mengapa amarah membuncah. Aku bukan orang yang religius, tetapi aku memang pernah membaca dalil tentang itu. Beruntungnya janda-janda itu, yang masih mau dilirik dan dinikahi untuk menambah keturunan. Sementara aku, dan si mandul-mandul lainnya terdepak begitu saja. Aku tidak menyalahkan mereka, wajar jika menikah karena menginginkan anak.
Dan sekarang, aku si mandul ini tak ubahnya bagai perawan-perawan tua lainnya yang menanti jodoh. Bagai barang yang dipajang di rak kaca, tidak ada harganya tapi ada keterangan “Mandul” “Perawan Tua” “45 tahun”.
Aku sudah kehilangan kendali hidupku. Aku tak mau bagai barang di dalam rak kaca. Aku masih bisa bebas. Bebas melepaskan hasratku jika kumau. Dan bukankah kucing itu tidak menolak jika diberikan ikan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H