Mohon tunggu...
Wienndy Dy
Wienndy Dy Mohon Tunggu... -

Suka baca, kayak pp-nya.. Suka pantai, jadi terbawa santai.. Suka tidur, tapi jarang bermimpi.. Karenanya, aku tidak punya banyak impian :)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

EQ Nyungsep Hafitd dan Sifa, Sejoli Pembunuh

8 Maret 2014   21:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:08 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hafitd dan Assyifa, sejoli belia pembunuh Ade Sara Angelina mungkin punya IQ yang lumayan bagus, hingga keduanya bisa kuliah saat ini. Khusus Hafitd, konon dia adalah anak seorang dokter di Koja, Jakarta Utara. Setidaknya IQ-nya tidak di bawah level 80 (bodoh) apalagi di bawahnya lagi, tingkat moron atau idiot.

Bagi orangtua, mungkin prestasi yang bisa terbaca dari IQ lebih jadi fokus perhatian dan nyaris melupakan pembinaan EQ-nya. EQ atau Emotional Quetient alias kecerdasan emosional merupakan kemampuan individu untuk mengenal emosi diri sendiri, emosi orang lain, memotivasi diri sendiri, dan mengelola dengan baik emosi pada diri sendiri dalam berhubungan dengan orang lain. Sedangkan emosi adalah perasaan yang dialami individu sebagai reaksi terhadap rangsang yang berasal dari dirinya sendiri maupun dari orang lain. Emosi tersebut beragam, namun dapat dikelompokkan kedalam kategori emosi seperti marah, takut, sedih, gembira, kasih sayang dan takjub. Sama seperti emoticon yang bisa dipilih untuk melukiskan suasana hati saat berinteraksi di dunia maya.

Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengendalikan emosinya saat menghadapi situasi yang menyenangkan maupun menyakitkan.Di samping itu, kecerdasan emosional mengajarkan tentang integritas kejujuran, komitmen, visi, kreatifitas, ketahanan mental, kebijaksanaan dan penguasaan diri. Oleh karena itu EQ mengajarkan bagaimana manusia bersikap terhadap dirinya seperti  kesadaran diri, motivasi diri, pengendalian diri, juga terhadap orang lain antara lain rasa empati dan memahami orang lain.

Sempat diberitakan, Sara menjauh dari Hafitd dikarenakan Hafitd sering marah-marah bahkan untuk hal yang sepele. Tindakan yang tentunya membuat Sara tidak nyaman sehingga memilih putus dengan Hafitd. Namun apalah daya, lepas dari Hafitd ternyata membawanya ke akhir kehidupan.

Jika ingin mengukur tingkat EQ Hafitd dan Sifa secara dangkal berdasarkan teori semata, mari menelaah beberapa point.

Kejujuran : Mungkin Hafitd tidak jujur dengan perasannya sendiri bahwa masih mencintai Sara tapi menerima cinta Sifa.

Komitmen : Sifa membantu Hafitd membunuh Sara untuk membuktikan cintanya pada Hafitd, yang sebetulnya lebih ingin mempertahankan posisinya agar Hafitd tetap menjadi miliknya.

Visi : Hafitd dan Sifa mempunyai visi ke depan terlalu dini, seolah mereka berpikir akan berjodoh selamanya. Baiknya dinobatkan menjadi Romeo dan Juliet abad ini.

Kreatifitas : Hafitd dan Sifa mempunyai kreatifitas yang mengerikan yaitu menghilangkan nyawa manusia yang notabenenya adalah teman mereka juga.

Ketahanan mental : Hafitd dan Sifa mempunyai ketahanan mental yang tidak wajar, yaitu ikut berbelasungkawa dan mengirimkan ucapan duka cita. Palsu.

Kebijaksanaan dan penguasaan diri : Hafitd dan Sifa sudah tentu tidak memilikinya.

Empati : Nilai Hafitd dan Sifa adalah nol, atau mungkin malah minus. Apakah masih ada empati terhadap orang tua dan keluarga?

Sebaliknya, pengendalian emosi, ketahanan mental, kebijaksanaan dan penguasaan diri yang luar biasa justru ditunjukkan oleh ibunda Sara. Sudahlah anak satu-satunya pergi dengan cara yang tragis seperti itu, namun beliau dengan kelembutan hatinya akan memaafkan perbuatan sejoli biadab itu, dan mempunyai visi bahwa ke depannya Hafitd dan Sifa akan jadi anak baik setelah dipenjara. Ibu, terbuat dari apa hatimu?

Lalu kira-kira bagaimana reaksi dan ketenangan emosional sang dokter ayahanda Hafitd dan orangtua Sifa? Bagaimana mereka mengendalikan beragam emosi yang tercampur baur, mungkin marah, sedih, kecewa, atau malu? Tapi, ya Tuhan, ternyata sang dokter, ayah Hafitd pernah tersandung kasus aborsi tahun 2009 lalu.

Setelah Hafitd dan Sifamenjadi terkenal karena kasus yang menggegerkan ini, lalu kira-kira bagaimana mereka bisa menangani emosi sebagai reaksi yang berasal dari dunia luar yang mungkin menghujat dan memaki habis-habisan?

Dan jika mereka dipenjara, bagaimana mereka mengelola emosi dalam bentuk perasaan takut dan sedih? Atau akankah perasaan itu ternyata tidak ada? Akankah berganti dengan tawa? Siap-siap saja pindahkan ke Rumah Sakit Jiwa.

Sayapun jadi tertampar, karena saya harus berusaha keras mengelola emosi berupa amarah yang timbul dalam diri saya ketika berita pembunuhan ini mulai tersiar di berbagai media.

Ternyata, mengendalikan emosi itu tidak mudah. It will be a never ending learning process...



07/03/2014


Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun