Hitam dan Putih adalah dua warna yang bertolak belakang satu sama lain. Uniknya, meski berbeda, tidak ada satupun dari keduanya adalah salah atau benar. Putih mungkin bisa salah dan Hitam boleh jadi benar.
Sama seperti kedua warna gelap-terang ini, opini pun demikian. Keberadaannya yang selalu berdampingan dengan fakta tidak membuat opini menjadi suatu hal yang pasti salah atau pasti benar. Ia tidak mengandung pembenaran karena opini adalah pandangan seseorang. Pandangan ini tidak harus selalu seragam, kan? Justru, opini itu beragam. Dan keberagaman ini lah yang membuatnya wajar untuk diperdebatkan.
Bubur diaduk atau bubur tidak diaduk misalnya. Apa yang salah dari bubur diaduk? Menyakiti hati penjual karena plating nya diacak-acak? Sebaliknya, apakah tidak mengaduk bubur adalah suatu kesalahan karena sambal jadi menggumpal bukannya menyebar? Tidak, kan?
Namun, bagaimana jadinya jika perdebatan mengenai opini justru merembet ke dimensi lain di luar dari opini tersebut?
Misalnya lagi, masih soal bubur diaduk vs bubur tidak diaduk. Saat lagi enak-enaknya makan bubur sambil diaduk, tiba-tiba ada orang nyeletuk, "Pantesan lo kalau makan bubur mesti diaduk, soalnya gigi lo ompong sih, ga kuat ya ketimbang makan bubur doang?"
Atau gak ada angin gak ada hujan, ada orang bilang "Orang tua lo dulu ga sanggup beliin kerupuk ya? Sampai makan buburnya ga diaduk. Takut lembek ya kerupuknya?" saat sedang asik nyocol bubur pakai kerupuk.
Bagaimana rasanya? Pasti menyebalkan. Gak nyambung. Malah membahas hal-hal personal yang tidak korelasinya sama sekali.
Sayangnya, perdebatan tentang opini yang ngalor-ngidul ini sering terjadi. Belum lama ini, seorang youtuber bernama Gita Savitri Devi menjadi trending topic di Twitter setelah ia menggunakan model hijab yang dinilai terbuka.
Namun, viralnya wanita yang akrab disapa Gitasav ini bukan karena gaya berhijabnya, melainkan karena tanggapan yang ia lontarkan pada para netizen yang menilai bahwa sebagai muslimah, ia tidak seharusnya menggunakan hijab dengan model terbuka.
Gitasav membalas komentar netizen-netizen panjang lebar dengan beragam argumen yang mendukung opininya tentang model hijab tersebut. Namun, alih-alih membalas argumennya, netizen malah berkomentar bahwa wanita kelahiran 1992 ini anti kritik dan merasa paling benar.
Geram, Gitasav kembali membalas komentar tersebut, "Gw udah bacot-bacot, point yang lo bisa dapet adalah "Gita emang merasa paling benar" ya sis? Dulu lo stunting kali ya makanya agak lamban," tulis Gita.
Apa yang salah dari Gitasav yang beropini mendukung gaya berhijabnya itu? Tidak ada.
Lalu, apa yang salah dari warganet-warganet yang menentang opini perempuan kelahiran 1992 itu? Tidak ada.
Karena ya, memang tidak ada. Sama seperti Gitasav yang berhak beropini mendukung gaya hijabnya yang terbuka, orang lain pun demikian. Mempunyai hak yang sama untuk turut beropini bahwa tidak seharusnya seorang muslimah menggunakan hijab dengan model yang menampakkan auratnya.
Yang menjadi masalah justru karena pembahasan opini jadi merembet kemana-mana. Tidak head to head opini lawan opini tetapi membawa hal lain ke dalamnya, yakni hal personal.
Gitasav justru mengarah ke hal personal netizen dengan menuduhnya stunting. Dan hal ini lah yang pada akhirnya membuat komentarnya tersebut menjadi viral karena dianggap tidak memikirkan perasaan orang tua dan anak-anak yang sedang berjuang melawan stunting. Pun demikian yang dilakukan netizen dengan mengarah pada hal personal Gitasav yang menilai penulis buku Cup of Tea ini anti kritik.
Yang dilakukan Gitasav dan netizen ini termasuk ke dalam salah satu cacat berpikir atau Logical Fallacies, yakni Argumentum ad Hominem. Cacat pikir yang satu ini adalah keadaan di mana seseorang setuju atau tidak setuju maupun percaya atau tidak percaya pada suatu statement bukan karena apa yang dikemukakan, melainkan karena siapa yang mengemukakan. Argumentum ad Hominem melihat melalui aspek pribadi dan menyerang hal personal si pemberi statement.
Memang, background seseorang pasti memengaruhi cara ia berpikir dan memandang sesuatu. Tapi, dalam opini, yang harus dilihat adalah substansi opininya, bukan orangnya. Kalau tidak setuju, ya serang opininya dengan opini lagi. Yang tentu harus memuat argumentasi yang kuat dari data dan fakta yang ada.
Dan kalau setelah itu semua, orang tetap tidak setuju dengan opini kita, ya tidak masalah. Tidak usah memaksa apalagi jadi merembet kemana-mana. Menuduh stunting lah, anti kritik lah, si paling benar lah atau hal personal lainnya. Karena opini memang berbeda satu dengan lainnya dan dengan opini lah semua orang bisa mengemukakan suara mereka.
Karena kalau dibalik keadannya, kalau kita yang dipaksa setuju dengan opini orang bahkan sampai diserang hal-hal personal, kita pasti tidak terima, bukan? Â Kalau sudah tau rasanya tidak mengenakan, ya jangan melakukan hal yang sama ke orang lain. Karena menghargai satu sama lain bukan hanya tentang suku, agama, ras, dan antargolongan, tetapi juga menghargai opini orang lain meski berbeda pandangan.
Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI