Sudah menjadi rahasia umum kalau keberadaan ojek pangkalan (opang) sekarang ini menciut karena persaingan ketat antara mereka dengan ojek online alias ojol. Mudah sekali kita mengenali ojol hanya dengan melihat helm hijau atau kuning atau oren mereka dengan atribut yang tidak hanya dipakai di badan, tetapi juga turut menghiasi motor mereka. Bahkan, jalanan sering kali dipenuhi oleh para ojol dari berbagai perusahaan yang terlihat mencolok apalagi kalau sedang lampu merah.
Sementara itu, opang sudah jarang terlihat bahkan di belokan-belokan biasa tempat mereka mangkal. Pangkalan mereka kini sepi. Bukan hanya karena penumpang yang tidak kunjung datang, tetapi juga karena opang yang saat ini sudah bukan lagi jadi opang. Beberapa dari mereka banting setir mencari pekerjaan lain termasuk beralih dari opang menjadi ojol karena peluang yang terlihat lebih menjanjikan.
Mirisnya, di tengah pendirian teguh opang-opang yang masih bertahan, mereka justru mendapat hujatan yang kian membuat mereka sepi penumpang.
"Opang galak dan kasar. Kaya preman."
"Opang suka malak. Jadi males dan takut naik opang."
"Duh, tarif opang tuh mahal! Bisa dua kali lipat ojek online."
"Opang tuh egois banget. Harusnya opang tuh ikutin perkembangan zaman dong, bukan malah mempersulit orang lain cari uang."
Dan beragam ujaran misuh-misuh lainnya dari mereka yang kontra dengan alat transportasi publik yang satu ini.
Memang, sering kita mendengar kasus-kasus pemalakan, pencegatan, hingga perkelahian antara opang dengan ojol yang membuat penilaian kita terhadap opang menjadi buruk. Membuat kita menepuk rata kalau semua opang, ya begitu. Kasar, galak, egois, dan tidak adaptif terhadap perubahan zaman.
Padahal, sama seperti kejahatan-kejahatan lainnya, itu semua dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Yang membuat seakan-akan semua opang tuh begitu, tanpa mengetahui apa yang sebenarnya dialami oleh para tulang punggung keluarga ini.
Dan sama seperti film, di setiap cerita pasti ada orang yang berperan jadi antagonisnya. Boleh jadi, di cerita kita, dia lah yang jahat dan kita korbannya. Tapi, mungkin di cerita dia justru sebaliknya. Justru kita lah yang jadi penjahatnya. Justru kita yang menyakitinya dengan tameng "gatau apa-apa".
Ketidaktahuan kita tentang opang yang ditambal dengan beberapa pengalaman buruk dari oknum-oknum itu tanpa disadari menjadikan kita jadi penjahat di kisah mereka. Padahal mereka hanya sedang bertahan hidup untuk dirinya dan keluarganya.
Bukan tidak mau mengikuti perkembangan zaman sehingga menolak adanya ojek online. Masalahnya, tidak semua opang mampu mengupgrade diri untuk beralih dari pangkalan menjadi online. Tidak banyak orang tahu bahwa melamar menjadi ojol tidak semudah itu. Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi yang bukan hanya sekadar modal punya motor saja.
Di Gojek dan Grab misalnya. Batas maksimal umur kendaraan adalah 8 tahun yang dihitung dari tahun pendaftaran kendaraan tersebut. Terlebih, di Grab, kendaraan dengan umur lebih dari 5 tahun diwajibkan memiliki Sertifikat Lolos Uji Emisi Asli.
Dalam hal ini, masih banyak opang yang menggunakan motor-motor jadul yang umurnya lebih dari 8 tahun. Tidak semua opang mampu mengganti motor jadulnya itu dengan motor baru yang justru menjadi beban tambahan. Harus mengumpulkan uang bahkan nyicil dari hasil jadi opang yang gak seberapa itu.
Belum lagi opang-opang yang sebenarnya tidak memiliki kendaraan pribadi mereka sendiri. Mungkin selama ini, mereka pinjam kendaraan sanak-saudara atau tetangga untuk narik penumpang. Yang sebelumnya cukup bermodalkan bensin dan helm, kini mereka harus mengeluarkan uang lebih untuk motor baru hingga STNK yang sebelumnya tidak perlu.
Terus, sesuai namanya, untuk jadi ojol, opang juga harus punya fasilitas yang mendukung sistem online itu, alias harus punya handphone. Dan tentu bukan cuma handphone, dong? Opang tetap tidak bisa upgrade kalau handphonenya tidak ada kuota, bukan? Bertambah lagi dan lagi deh modal opang untuk bisa jadi ojol.
Opang yang umumnya didominasi oleh para orang tua ini juga tidak semuanya mahir menggunakan handphone. Sebelumnya mereka mungkin cuma pakai handphone untuk SMS dan telepon atau bahkan tadinya mereka sama sekali tidak punya handphone.
Terlepas dari itu semua, opang yang akhirnya turns out jadi ojol juga juga punya masalah lain. Mereka harus berhadapan dengan teman-teman opang mereka yang belum mampu beralih ke ojol. Loyalitas dan perasaan tidak enak tentu mereka rasakan. Tidak sedikit dari opang yang kini jadi ojol harus sembunyi-sembunyi dari teman-teman seperjuangan mereka saat masih jadi opang.
Tidah mudah kan? Dan setelah melalui itu semua, yang mereka dapatkan adalah stigma buruk yang mempersulit mereka untuk dapat penumpang. Padahal, saat ini sudah banyak opang yang menerima keberadaan ojek online. Tidak lagi mencegat apalagi berbuat kejahatan pada ojol dan penumpang yang masuk wilayah tempat mereka mangkal.
Jika kita memang tidak memilih opang sebagai alat transportasi, ya tidak apa-apa. Tapi setidaknya jangan menjudge bahwa semua opang itu sama saja, bahwa mereka tidak punya peri kemanusiaan. Padahal, kita sendiri tidak tahu apa saja yang telah mereka alami untuk bisa bertahan hidup sampai sekarang.
Bukan tidak mungkin juga loh, sewaktu-waktu kita justru membutuhkan opang. Saat ponsel kita mati atau kehabisan kuota atau saat ojek online tidak ada yang mau ambil orderan karena jauh atau hujan, boleh jadi saat itu kita sangat membutuhkan para opang dan menyadari bahwa sebenarnya, keberadaan mereka masih dan akan terus diperlukan.
Di tengah peluang ini, opang juga harus bisa memanfaatkannya dengan baik. Bangun citra bahwa opang bukan preman. Tidak galak, kasar, apalagi melakukan kejahatan seperti yang orang-orang bilang. Berikan rasa nyaman dan aman bagi penumpang.
Tidak harus dari motor baru. Cukup dari hal-hal kecil seperti helm dan jas hujan yang sudah disediakan, mengendarai motor dengan mengutamakan keselamatan, dan menetapkan tarif dengan jelas.Â
Penetapan tarif bisa ditetapkan untuk setiap kilometernya dan ditulis di kertas atau kalau perlu diprint lalu ditempel di pangkalan sehingga penumpang sejak awal tau berapa uang yang harus disiapkan agar mereka tidak seperti disambar petir karena saat turun, eh dikasih tarif yang mahal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H