Mohon tunggu...
Dwi Pakpahan
Dwi Pakpahan Mohon Tunggu... Lainnya - Perempuan

WNI

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kebahagiaan Semu

25 Februari 2021   20:41 Diperbarui: 25 Februari 2021   22:29 420
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini kepulangan suamiku dari luar kota. Telah dua bulan dia pergi ke Jakarta. Pekerjaan suamiku sebagai kontraktor membuatnya sering bepergian ke luar kota.

Aku melihat raut wajah suamiku yang letih dan kulitnya yang sedikit lebih gelap. Dia sedang duduk di atas kasur memandangku dengan senyuman.

“Kelihatannya Papa capek banget. Papa mandi saja dulu kemudian istirahat,” kataku.

“Iya, Ma. Papa capek banget tiap hari harus ke lapangan, meninjau proyek,” suamiku menjawab sembari berjalan ke kamar mandi.

Aku membuka koper suamiku, memeriksa isi kopernya. Walaupun ini bukan yang pertama kali suamiku ke luar kota, tapi tetap saja aku harus memeriksa isi kopernya, siapa tahu ada sesuatu yang mencurigakan.

Bukan aku tidak percaya suamiku tapi aku melakukan tindakan pencegahan demi keutuhan rumah tangga kami. Usia pernikahan kami yang sudah 15 tahun ini, katanya usia rawan. Makanya aku selalu berusaha yang terbaik agar pernikahanku bisa awet terus walaupun sering ditinggalkan suami ke luar kota.

Aku mulai memeriksa kopernya dengan teliti. Siapa tahu ada bekas lipstik atau wangi parfum perempuan yang melekat di kemeja suamiku. Sebagai seorang istri, aku harus selalu waspada.

Setelah selesai memeriksa, aku bernapas lega. Ternyata tak ada yang mencurigakan di dalam koper suamiku. Suamiku tetap suami yang setia. Betapa bahagianya aku.

***

Jeng Retno, kami ini iri loh dengan pernikahan jeng dan Pak Hadi. Awet mesra meskipun sudah 15 tahun,” Ibu Menur bertanya dengan tangan kanannya yang lagi memegang cangkir teh.

“Iya jeng,” beberapa perempuan yang berkumpul di rumah ibu Menur berkata secara bersamaan.

Aku hanya tersenyum tipis dan meminum tehku.

Arisan ibu-ibu kompleks perumahan kali ini di rumah ibu Menur. Istri seorang Direktur yang paling kaya di kompleks.

Jeng juga mesra sama suaminya,” aku membalas perkataan ibu Menur.

Hahaha, jeng bisa saja. Namanya juga masih pengantin baru jeng, bawaannya selalu ingin mesra,” dengan wajah yang kelihatan malu, ibu Menur berkata pelan.

Betul juga ya, gumamku dalam hati. Kupandangi semua perempuan yang ada di ruang tamu, ada sekitar 14 orang. Terlihat wajah-wajah perempuan muda. Di antara semua yang hadir, memang usia pernikahanku yang paling lama.

“Apa sih resepnya jeng?” tanya ibu Menur lagi.

“Gak pakai resep jeng,” jawabku singkat tetap dengan memasang senyum di wajah.

Mmh, sorry ya jeng. Apa jeng gak pernah curiga gitu sama suami jeng? Bukannya suami jeng sering ke luar kota?” tanyanya lagi dengan nada penasaran.

Entah mengapa, aku merasa gak enak. Pertanyaan itu menurutku sudah masuk ranah pribadi. Inilah resiko ikut arisan ibu-ibu kompleks. Perkataanya kadang gak bisa di-filter. Aku jadi berasa kayak artis yang lagi diwawancara reporter infotainment.

Semua mata memandangku dengan tatapan yang penasaran khas Ibu-ibu kepo.

“Kadang ada juga sih jeng tapi selama ini aku gak melihat sesuatu yang perlu dicurigai sama suamiku. Aku percaya suamiku jeng,” kataku sok bijak dengan nada bangga.

So sweet,” paduan suara itu keluar dari semua mulut yang ikut arisan sambil menatapku dengan sorotan kagum.

***

Aku melangkah menuju pintu rumah. Kenapa pintu rumahku terbuka? Setahuku anak-anak masih di sekolah dan suamiku masih di kantor.

Dengan ujung mataku, aku melihat sekilas ada seorang perempuan muda dengan perut besarnya lagi duduk di sofa dan suamiku duduk di sebelahnya.

Siapa perempuan muda itu? Mengapa suamiku ada di rumah jam segini? Aku penasaran. Perasaanku mulai tak tenang.

Dari depan pintu rumah, aku berdiri memperhatikan baik-baik siapa perempuan itu. Aku tidak mengenalnya. Siapa dia sebenarnya? Apakah dia tamu penting sampai suamiku harus menemuinya di saat dia seharusnya masih di kantor? Sebersit kecurigaan muncul.

“Mama?” Suamiku langsung berdiri begitu melihat kehadiranku. Terlihat dengan jelas wajahnya terkejut melihatku.

“Su...dah pulang arisan?” tanyanya terbata.

“Siapa dia?” tanpa basa-basi aku menunjuk perempuan itu dan bertanya. Walaupun perasaanku sudah semakin tidak tenang tapi aku masih berusaha menahan gejolak emosi yang timbul.

Perempuan muda itu tanpa ragu berjalan menghampiriku.

“Aku Lastri mbak, aku lagi mengandung anak Mas Hadi,” katanya datar tanpa emosi apapun.

Aku terkejut tak percaya. Mataku terbuka lebar. Aku mencoba mencari jawaban dari suamiku berharap dia menyangkal kalimat tersebut tapi yang ada dia malah tertunduk tak mampu menatapku.

“Jadi benar Pa?” tanyaku histeris.

Suamiku tetap menunduk melihat lantai. Keringat mengalir di wajah suamiku.

Tanpa bisa kucegah sebutir demi sebutir air menetes telah keluar dari mataku. Kepalaku berdenyut, seketika tergiang percakapanku dengan bu Retno tadi.

Mmh, sorry ya jeng. Apa jeng gak pernah curiga gitu sama suami jeng? Bukannya suami jeng sering ke luar kota?”

“Kadang ada juga sih jeng tapi selama ini aku gak melihat sesuatu yang perlu dicurigai sama suamiku. Aku percaya suamiku jeng.” 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun