Bila sudah waktunya, kau akan meninggalkan semuanya, jabatanmu, hartamu, sanak saudaramu begitu juga istrimu tercinta dan anak kebanggaanmu. Kau akan kembali ke tanah dan menjadi sebuah kenangan. Sama sepertiku, yang harus merelakan berpisah dengan satu-satunya anak kebanggaanku, Adit Pratama.
Anak laki-laki yang memiliki daya juang yang sama dengan ayahnya. Ayahnya yang telah terbebas dari setiap permasalahan dunia yang mengikatnya. Ayahnya yang harus mengakhiri hidupnya dengan cara yang tidak disukai dengan memberikan kesedihan yang terdalam meninggalkan kedua orang yang dicintai, istri dan anaknya.
"Ayah, jangan tinggalkan Adit! Ayah," suara teriakan anak lelaki  yang menggema di ruangan rumah sakit itu membuat pilu bagi telinga yang mendengarnya.
Berdiri di sampingnya seorang perempuan yang berwajah pucat tanpa mampu bicara. Mereka saling berpelukan memberi kekuatan karena kehilangan sosok yang sangat berarti, yang dipanggil ayah.
Tanah yang masih basah pertanda bahwa baru saja seseorang dimakamkan. Tempat tinggalku kini yang membuat tembok penghalang untukku bertemu Adit, anakku dan istriku.
***
"Ayah, kalau Adit besar mau jadi seperti ayah, seorang polisi," Adit berkata padaku.
Aku hanya tersenyum tipis menanggapi ceritanya. Adit yang kusayang, Adit Pratama, Anakku satu-satunya, kepunyaanku.
"Jangan, Adit. Nanti kamu banyak musuh, seperti ayahmu," ibunya protes.
Pekerjaan sebagai polisi sangat berisiko apalagi kalau ditugaskan dalam perdagangan NARKOBA. NARKOBA dengan sindikatnya. Kadang aku sering menginap di luar rumah demi tugas. Pekerjaan yang sering membuat istriku kuatir dan cemas akan keberadaanku. Walaupun selau kujelaskan dan kutenangkan, istriku selalu berpikir bahwa aku rawan dalam bahaya. Karena kegigihanku untuk mendapatkannya dulu maka istriku sampai mau menikahi pria yang punya pekerjaan yang paling dihindarinya, polisi.
***
Tanah itu sudah tidak basah lagi, sudah sangat kering. Dua orang itu datang mengunjungiku tapi tidak dengan air mata lagi.
"Ayah, Adit sudah jadi polisi seperti keinginan Adit," suara laki-laki itu.
Pakaian yang digunakannya adalah seragam polisi. Dengan sikap berdiri, dia memberi hormat. Seorang perempuan yang kelihatan semakin tua, duduk berjongkok di dekatnya.
"Semoga Adit tidak mati tertembak dalam dinasnya sepertimu sayang," suaranya sangat lirih terdengar.
Adit, anakku. Ayah sangat sayang dan bangga padamu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H