Mohon tunggu...
Widyo Andana
Widyo Andana Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance content writer. Biasanya nulis sepak bola atau motorsport

Nobody can see the trouble I see. Nobody knows my sorrow

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Menolak Cebong dan Kampret dan Menjadi Manusia Seutuhnya dengan Analisis Wacana Kritis

12 Desember 2018   19:56 Diperbarui: 23 Februari 2021   15:26 658
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak politik elektoral menyebabkan terbelahnya sikap publik yang akhirnya membentuk sekat-sekat perbedaan dukungan, pemikiran yang waras menjadi barang langka yang mahal. Banyak warga negara yang terjebak oleh logika partisan yang membuat perdebatan publik dipenuhi dengan argumen cacat logika. Dalam jangka panjang, tentu kondisi ini akan membahayakan ruang dialektika publik karena mengancam fundamental peradaban modern: kewarasan.

Pada tahun politik seperti sekarang ini, argumentasi cacat nalar mudah ditemukan di berbagai ruang percakapan. Kondisi tersebut tidak hanya terjadi dalam lingkaran bawah (grass root), argumentasi cacat logika juga masuk dalam tataran wacana elite. Bahkan, percakapan demikian juga ditemukan di lingkungan cendekiawan dan akademisi. Pincang logika benar-benar menyerang bagai endemi bagi masyarakat partisan.

Kondisi tersebut tampak pada cara masyarakat melahirkan gagasan dan memperbincangkannya pada bidang tertentu. Penilaian benar dan salah tidak lagi dijadikan pertimbangan dengan logika yang tepat, melainkan berdasarkan alasan suka-tidak suka dan untung-rugi semata. Akibatnya, argumen yang dirasa memiliki dasar logika yang sama akan dianggap benar dan dipertahankan pada situasi yang menguntungkan, tetapi akan ditolak mati-matian jika merugikan bagi dirinya. Lantas, lahirlah fanatisme buta yang membuat kita enggan menggunakan logika dan lebih mengutamakan emosi dalam berargumen.

Jelang pemilu 2019, sebutan bagi kelompok pendukung tokoh tertentu menguat di tengah masyarakat. Sinisme dibangun oleh dua kubu di tahun politik. Di media sosial, muncul sebutan bagi pendukung petahana, yaitu kecebong. Sementara pendukung oposisi kerap disebut kampret. Fenomena ini terjadi sejak Jokowi bertarung dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dalam pilpres 2014. Sinisme tersebut berlanjut hingga kini. Sebutan cebong dan kampret awalnya dilakukan warganet guna mengelompokkan perbedaan pilihan politik masyarakat. Dua sebutan itu cukup menghangatkan situasi politik jelang pemilu dan sesudahnya.

Sayangnya, narasi pendukung kedua calon pasangan tersebut hanya membangun sinisme dan ekspresi politik yang fanatik. Bukannya bertarung dalam level adu gagasan, ide, dan kebijakan yang akan diimplementasikan, mereka justru sibuk di level politik identitas serta labelisasi. Jika dibandingkan dengan negara yang matang dalam berdemokrasi seperti Norwegia dan Australia, Indonesia belum sampai pada level ide gagasan sebagai komoditas utama dalam pertarungan. Komoditas utamanya masih identitas bahkan diperparah dengan labelisasi yang diproduksi tidak jelas begitu.

Tentunya, sikap demikian tentu saja membahayakan, baik bagi individu maupun komunitas bangsa secara umum. Bagi individu, sikap itu berpotensi merusak irama berpikir yang membuatnya terjauhkan dari keputusan-keputusan rasional. Rasionalitas yang telah lama menjadi ciri manusia modern terancam tumpul. Adapun bagi bangsa, sikap itu menjauhkan kita dari demokrasi yang substansial. Demokrasi dirancang dengan asumsi tiap warga negara memiliki kecakapan berpikir yang cukup untuk mengambil keputusan. Jika kecakapan itu disia-siakan, demokrasi tidak akan mencapai bentuk idealnya sebagai ruang pertukaran gagasan. Sebaliknya, demokrasi justru menjadi ruang gelap yang dikuasai para demagog politik.

Situasi itulah yang membuat kemampuan berpikir kritis perlu kembali ditawarkan. Ada optimisme, jika kemampuan itu diterima secara masif maka publik akan lebih selektif dan cermat dalam menyikapi berbagai bentuk wacana. Dalam jangka panjang, keterampilan itu akan membawa percakapan publik ke kuadran positif, yaitu kuadran ketika rasionalitas berperan lebih besar dalam menentukan sikap publik. Di sinilah analisis wacana kritis (AWK) memiliki peran penting dalam membangun kerangka berpikir kritis serta membentuk kepekaan dalam menanggapi narasi-narasi politik.

            Analisis Wacana Kritis

Menurut Van Dijk,[1] Analisis Wacana Kritis adalah mengungkap bagaimana kekuasaan, dominasi dan ketidaksetaraan dipraktikkan, direproduksi atau dilawan oleh teks tertulis maupun perbincangan dalam konteks sosial dan politis. Analisis wacana kritis adalah lanjutan atau bahkan kelanjutan dari analisis wacana (Discourse Analysis) yang dianggap hanya fokus pada hakikat bahasa saja tanpa mengungkap bagaimana teks dapat mempengaruhi pola pikir individu atau kelompok dan direproduksi untuk suatu kepentingan.

Analisis wacana kritis menjadi keterampilan yang penting karena bahasa merupakan peranti sosial yang selalu cemar oleh kepentingan. Setiap hal yang dinyatakan dengan bahasa selalu dilatari oleh cara berpikir yang bersifat ideologis. Adapun kepentingan ideologis sangat rentan menyimpan gagasan yang manipulatif dan tidak adil. Slogan-slogan populis yang kini seringkali muncul dalam percakapan publik misalnya, juga tidak luput dari ideologi tertentu. Diskursus tentang "pembangunan nasional" yang dikemukakan menjelang pemilu, misalnya, tidak bisa dipisahkan dengan kepentingan petahana untuk berkuasa kembali. Begitu pula jargon "ketimpangan sosial" dan "kelesuan ekonomi" yang disuarakan oposisi, tidak bisa dipisahkan dengan kepentingan subjek untuk mendelegitimasi kinerja pemerintah.

AWK bisa menjadi instrumen yang efisien untuk membongkar aneka kepentingan di balik penggunaan bahasa. Dengan metode yang dimilikinya, AWK dapat membimbing publik membongkar pernyataan yang awalnya tampaknya wajar dan benar ternyata mengandung gagasan yang diskriminatif. Setelah gagasan diskriminatif ditemukan, AWK menganjurkan publik untuk tidak terhegemoni oleh narasi politik dan mampu mengambil tindakan demi terwujudnya perubahan sosial.

Dalam kaitannya dengan itu, Fairclough [2] menempatkan analisis wacana pada tiga dimensi berbeda, yaitu dimensi teks, interpretasi, dan praksis sosial.

Pada dimensi teks, wacana berkaitan dengan bagaimana subyek memilih bentuk tuturan tertentu agar sesuai dengan kepentingannya. Subyek bisa membuat pernyataan, jargon, klaim, tuduhan, olok-olok, stigma, humor, dan sebagainya agar gagasannya bisa tersampaikan dan diterima. Wacana pada dimensi intepretasi berkaitan dengan cara subyek mengendalikan makna pada benak publik. Adapun wacana pada dimensi praksis sosial berkaitan dengan tindakan konkret yang dilakukan agen dalam masyarakat. Tiga dimensi tersebut menunjukkan bahwa bentuk dan teks memiliki relasi dengan pemahaman publik serta tindakan tertentu yang dilakukan masyarakat. Tiga dimensi tersebut sekaligus mengafirmasi bahwa perilaku masyarakat bisa direkayasa dengan gagasan tertentu. Adapun gagasan bisa ditanamkan dalam benak publik melalui aktivitas berbahasa tertentu.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pernyataan-pernyataan yang membanjiri ruang publik belakangan ini merupakan tindakan terencana yang dilakukan subjek tertentu untuk merekayasa perilaku publik. Dalam hal ini publik diposisikan sebagai obyek dependen yang dieksploitasi sisi kognitif dan perilakunya oleh subjek tertentu. Jika kesadaran kritis publik rendah, posisinya semakin lemah dan mudah dikendalikan. Sebaliknya, jika kesadaran kritisnya baik, publik memiliki kesempatan menguji wacana yang dihadapinya sehingga memiliki alternatif sikap yang lebih beragam: menerima, mengabaikan, menolak, atau melawannya.

          Menolak Fanatik

Kemampuan AWK untuk membongkar ideologi bahasa juga bisa menghindarkan publik dari fanatisme terhadap tokoh atau aliran tertentu. Dengan AWK, publik bisa menganalisis bahwa sebaik apapun tampilan seseorang di hadapan publik ternyata bisa saja dibangun oleh motif tertentu yang picik. Dengan demikian, publik akan tahu bahwa tampilan panggung seseorang bisa sangat berbeda dengan tampilan sejatinya.

Di kalangan akar rumput, fanatisme muncul karena keyakinan bahwa kelompok atau tokoh tertentu memiliki kebaikan yang sempurna. Dalam keyakinan publik, tokoh yang didukungnya diidentifikasi sebagai pribadi cerdas, merakyat, tegas, bersih, religius, dan sebagainya. Padahal, keyakinan tersebut merupakan produk wacana yang sengaja dikonstruksi untuk kepentingan tertentu.

Dengan mempelajari AWK, ini memungkinkan warga mengetahui strategi berwacana dilakukan elite politik untuk menumbuhkan sikap fanatik. Pengetahuan itu bukan saja membuat warga waspada, tetapi juga menumbuhkan dorongan perlawanan terhadap praktik yang tidak adil. Ketika pembodohan dilawan, warga akan menemukan jalan menumbuhkan kewarasan. Maka hindarilah fanatisme yang melahirkan kebodohan terstruktur, karena kebodohan massa adalah alat bagi penguasa.

Referensi

[1] van Dijk, Teun.2000. Discourse Ideology and Context. London.

[2] Fairclough, Norman. 1989. Language and Power. London: Longman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun