Dalam kaitannya dengan itu, Fairclough [2] menempatkan analisis wacana pada tiga dimensi berbeda, yaitu dimensi teks, interpretasi, dan praksis sosial.
Pada dimensi teks, wacana berkaitan dengan bagaimana subyek memilih bentuk tuturan tertentu agar sesuai dengan kepentingannya. Subyek bisa membuat pernyataan, jargon, klaim, tuduhan, olok-olok, stigma, humor, dan sebagainya agar gagasannya bisa tersampaikan dan diterima. Wacana pada dimensi intepretasi berkaitan dengan cara subyek mengendalikan makna pada benak publik. Adapun wacana pada dimensi praksis sosial berkaitan dengan tindakan konkret yang dilakukan agen dalam masyarakat. Tiga dimensi tersebut menunjukkan bahwa bentuk dan teks memiliki relasi dengan pemahaman publik serta tindakan tertentu yang dilakukan masyarakat. Tiga dimensi tersebut sekaligus mengafirmasi bahwa perilaku masyarakat bisa direkayasa dengan gagasan tertentu. Adapun gagasan bisa ditanamkan dalam benak publik melalui aktivitas berbahasa tertentu.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pernyataan-pernyataan yang membanjiri ruang publik belakangan ini merupakan tindakan terencana yang dilakukan subjek tertentu untuk merekayasa perilaku publik. Dalam hal ini publik diposisikan sebagai obyek dependen yang dieksploitasi sisi kognitif dan perilakunya oleh subjek tertentu. Jika kesadaran kritis publik rendah, posisinya semakin lemah dan mudah dikendalikan. Sebaliknya, jika kesadaran kritisnya baik, publik memiliki kesempatan menguji wacana yang dihadapinya sehingga memiliki alternatif sikap yang lebih beragam: menerima, mengabaikan, menolak, atau melawannya.
     Menolak Fanatik
Kemampuan AWK untuk membongkar ideologi bahasa juga bisa menghindarkan publik dari fanatisme terhadap tokoh atau aliran tertentu. Dengan AWK, publik bisa menganalisis bahwa sebaik apapun tampilan seseorang di hadapan publik ternyata bisa saja dibangun oleh motif tertentu yang picik. Dengan demikian, publik akan tahu bahwa tampilan panggung seseorang bisa sangat berbeda dengan tampilan sejatinya.
Di kalangan akar rumput, fanatisme muncul karena keyakinan bahwa kelompok atau tokoh tertentu memiliki kebaikan yang sempurna. Dalam keyakinan publik, tokoh yang didukungnya diidentifikasi sebagai pribadi cerdas, merakyat, tegas, bersih, religius, dan sebagainya. Padahal, keyakinan tersebut merupakan produk wacana yang sengaja dikonstruksi untuk kepentingan tertentu.
Dengan mempelajari AWK, ini memungkinkan warga mengetahui strategi berwacana dilakukan elite politik untuk menumbuhkan sikap fanatik. Pengetahuan itu bukan saja membuat warga waspada, tetapi juga menumbuhkan dorongan perlawanan terhadap praktik yang tidak adil. Ketika pembodohan dilawan, warga akan menemukan jalan menumbuhkan kewarasan. Maka hindarilah fanatisme yang melahirkan kebodohan terstruktur, karena kebodohan massa adalah alat bagi penguasa.
Referensi
[1] van Dijk, Teun.2000. Discourse Ideology and Context. London.
[2] Fairclough, Norman. 1989. Language and Power. London: Longman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H