Mohon tunggu...
Widya Silaban
Widya Silaban Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Haloo!! Salam kenal buat semua yang baca. Semoga suka dan bermanfaat. Salam dari Widy mahasiswa yang sedang berjuang di jurusan Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Film

Implikasi Budaya yang Ditampilkan dalam Film "Cek Toko Sebelah" dan "Yowis Ben"

13 Desember 2020   02:13 Diperbarui: 14 Desember 2020   19:01 1206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kali ini kita akan membahas mengenai implikasi budaya yang ditampilkan dalam kedua film Indonesia di atas.  

Film merupakan salah satu produk dalam bidang komunikasi massa yang sangat penting perannya dalam kehidupan sosial masyarakat. Film dapat menjadi produk yang bermanfaat dan memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Film dapat berguna sebagai sumber informasi, sarana untuk menghibur maupun mempersuasi jutaan orang secara bersamaan (Vivian,2008). Untuk itu, setiap pesan-pesan dapat dilihat dari alur cerita, dialog, maupun visualisasi yang ditampilkan.

Dalam film tentunya terdapat pesan-pesan baik secara langsug maupun tidak langsung yang ingin disampaikan. Pesan-pesan inilah yang nantinya berguna bagi masyarakat. Menurut Effendy (2003) sebagai suatu media komunikasi massa, film menyampaikan pesannya melalui media yang bersifat audio visual. Dengan ini, setiap penonton dapat melihat dan mendengar apa saja yang ditampilkan dalam film.

Teori media dan budaya merupakan suatu kesatuan yang dapat merepresentasikan penerapan unsur-unsur budaya dalam perfilman. Media yang diartikan sebagai bentuk maupun saluran yang digunakan untuk menyampaikan suatu informasi dan pesan dalam konteks ini dimaksudkan sebagai film itu sendiri yang adalah sebuah wadah untuk menyalurkan pesan yang terdapat unsur budaya di dalamnya.

Cek Toko Sebelah (2016) dan Yowis Ben (2018) merupakan contoh dari banyaknya film Indonesia yang mengangkat mengenai budaya tertentu. Dari kedua film tersebut kita dapat menganalisis teori budaya yang ditampilkan di dalamnya dengan menggunakan analisis teks.  Untuk film Cek Toko Sebelah menampilkan etnis Tinghoa dan Yowis Ben menampilkan etnis Jawa. Kita menggunakan film untuk melihat hubungan antara unsur budaya dan media di dalamnya.  

Cek Toko Sebelah (2016)

cek-toko-sebelah-5fd7535a8ede482fd976c9f2.jpg
cek-toko-sebelah-5fd7535a8ede482fd976c9f2.jpg
Cek Toko Sebelah merupakan salah satu film komedi garapan Ernest Prakassa yang  menceritakan suatu keluarga yang beretnis Tionghoa. Keluarga tersebut terdiri sang ayah yaitu Koh Afuk serta kedua putranya Yohan (anak pertama) dan Erwin (anak bungsu), sedangkan sang istri dari Koh Afuk yang diceritakan banyak berkontribusi pada usaha toko grosirnya tersebut telah meninggal.

Fokus dari film ini adalah terjadinya konflik antara orang tua dan anak-anaknya yang ternyata memperlihatkan adanya unsur budaya di mana terdapat anak yang ingin mengejar cita-cita dan ada pula yang berniat meneruskan warisan keluarga berupa toko kelontong.

024067000-1482381077-cek-toko-sebelah-2-5fd75397d541df34bb609042.jpg
024067000-1482381077-cek-toko-sebelah-2-5fd75397d541df34bb609042.jpg
Hal ini sesuai dengan adanya stereotip yang melekat pada etnis Tionghoa yaitu walaupun seseorang memiliki pendidikan yang tinggi, pada akhirnya ia akan diminta untuk mengurus dan meneruskan bisnis keluarga.

Seperti yang ditampilkan dalam dialog Koh Afuk yaitu “Win, papah udah ngga bisa lagi ngurusin toko. Papah pengen kamu jadi penerus papah urusin toko”. Dialog lain yang ditampilkan yaitu “Papah ingin kamu nerusin apa yang papah dan mama bangun dari nol”

adegan-cek-toko-sebelah-20170105-003-rita-5fd753a6d541df351e5a79d2.jpg
adegan-cek-toko-sebelah-20170105-003-rita-5fd753a6d541df351e5a79d2.jpg
Dialog di atas memperlihatkan bahwa Koh Afuk sangat menharapkan agar anaknya mau untuk meneruskan bisnis keluarganya yang sudah lama ia bangun. Koh Afuk merasa bahwa usaha ini harus terus diteruskan karena menurutnya hal ini baik demi masa depan anak-anaknya.

Stereotipe ini dapat dilihat pula dari sudut pandang luar film (interteks) dimana pandangan bahwa etnis Tionghoa selalu dikaitkan dengan perdagangan dalam keluarganya tidak lepas dari aspek historis etnis Tionghoa itu sendiri (khususnya yang berada di Indonesia) yang dikatakan berprofesi sebagai pedagang.

cek-toko-sebelah-ratio-16x9-5fd753b8d541df35650596a3.jpg
cek-toko-sebelah-ratio-16x9-5fd753b8d541df35650596a3.jpg
Dimensi budaya selanjutnya yang ditunjukan dalam film Cek Toko Sebelah adalah pada jarak kekuasaan (power distance) yang tinggi dimana dalam beberapa adegan, orang-orang mulai dari para karyawan, saingan toko sebelah (toko Pak Nandar), hingga Robert si pemilik perusahaan yang memiliki jabatan yang lebih tinggi pun, memanggil dengan kata sapaan “Koh” saat memanggil Koh Afuk yang memiliki jarak umur lebih tua sehingga terlihat adanya suatu tatanan hirarkis di dalamnya. Panggilan “Koh” merupakan bentuk sederhana dari “Engkoh” yang berarti bapak atau panggilan untuk laki-laki yang lebih tua. Dapat dilihat bahwa sapaan tersebut merupakan sapaan yang digunakan oleh orang-orang yang beretnis Tinghoa.

Yowis Ben (2018)

yowis-ben-5fd753de8ede4849400473a2.jpg
yowis-ben-5fd753de8ede4849400473a2.jpg

Setelah kita melihat unsur budaya dalam film Cek Toko Sebelah, kali ini kita juga akan melihat bagaimana representasi budaya yang ditampilkan dalam film Yowis Ben.

Film ini merupakan salah satu film hasil karya seorang YouTuber Indonesia yaitu Bayu Skak. Film ini merupakan film yang juga bergenre komedi dan film Indonesia yang menggunakan hampir seluruhnya bahasa Jawa dalam dialognya. Lewat film ini dapat dilihat bahwa Bayu sangat menjunjung tinggi kebudayaan Jawa. Dialog ini seperti “cangkemu cok” , “Iki wes poll!!’, dan masih banyak lagi yang hampir 95% menggunakan bahasa Jawa.

Nuansa perkampungan yang berada di Malang, Jawa Timur ditampilkan dengan baik dalam film ini. Bagaimana keseharian masyarakat Jawa yang sangat ramah dan memiliki rasa kekeluargaan satu dengan yang lain. Guyonan- guyonan khas Jawa juga menjadi salah satu hal yang tentunya menarik perhatian penonton.

yowis-ben-5fd753dfd541df351d4c2702.jpg
yowis-ben-5fd753dfd541df351d4c2702.jpg
Lagu-lagu berbahasa Jawa yang dinyanyikan dalam film ini seperti ‘Gak Iso Turu’ , ‘Mangan Pecel’ dan masih banyak lagi menjadi ciri khas tertentu dalam film ini.

Lewat film ini Bayu ingin membuktikan tentang stereotipe masyarakat selama ini terkait dengan orang Jawa. Banyak orang yang berpandagan bahwa orang Jawa adalah orang yang lugu, norak, gegabah dan miskin. Pandangan- pandangan ini tentunya muncul akibat media yang seringkali menampilkan karakter dari orang Jawa yang seperti itu sehingga akhirnya membentuk stereotipe dalam masyarakat.

film-yowis-ben-20180304-210355-5fd753f2d541df34be760892.jpg
film-yowis-ben-20180304-210355-5fd753f2d541df34be760892.jpg
Ia membuktikan bahwa stereotipe itu tidak benar dan ia ingin memperlihatkan bahwa sebagai orang Jawa, ia bisa meraih kesuksesan dengan usaha dan kerja keras dalam film ini.

Bayu merasa bahwa stereotipe seperti ini adalah hal yang perlu diperhatikan agar nantinya tidak berujung pada diskriminasi etnis tertentu.

Perbandingan Film Cek Toko Sebelah dan Yowis Ben

Dari analisis menggunakan teori kebudayaan, dapat dilihat bahwa kedua film menampilkan kebudayaan tertentu. Cek Toko Sebelah dengan etnis Tionghoa dan Yowis Ben dengan etnis Jawa. Kedua film ini tentunya sama-sama ingin memberikan pesan-pesan tersendiri bagi penontonnya. Namun dalam hal ini, film ini ingin menyampaikan bagaimana stereotipe yang sering terjadi di masyarakat terkait etnis tertentu. Melalui film-film ini diharapkan bahwa masyarakat dapat lebih terbuka dan tidak lagi melakukan stereotipe terhadap etnis tertentu.

Dengan adanya stereotipe ini nantinya akan menghambat komunikasi antar budaya, diantaranya adalah stereotip merupakan sejenis filter dimana seseorang hanya mengizinkan informasi yang konsisten dengan informasi yang sudah dimiliki oleh individu tersebut. Sehingga apa yang mungkin menjadi kebenaran tidak pernah diberi kesempatan.

Selain itu, stereotip berasumsi bahwa semua anggota pada suatu kelompok mempunyai sifat yang persis sama. Dengan adanya stereotip juga membuat seseorang tidak berhasil sebagai komunikator karena mereka mendistorsi sesuatu yang didasarkan pada setengah kebenaran dan premis serta asumsi yang seringkali tidak benar.

Daftar Pustaka :

Effendi, Onong Uchjana. 2003. Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung : Cipta Aditya Bakti.

Vivian, J. (2008). Teori Komunikasi Edisi Kedelapan. Jakarta: Prenanda Media Grup.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun