ZIS SEBAGAI PILAR KEUANGAN ISLAMÂ
Zakat, Infaq, dan Sedekah (ZIS) memainkan peran penting dalam sistem keuangan Islam, membentuk pilar utama dalam prinsip ekonomi Islam. Dalam ajaran Islam, ZIS bukan hanya sekadar tindakan kebajikan atau amal, tetapi merupakan suatu kewajiban yang mendasari perilaku ekonomi umat Muslim. Pilar ini memiliki peran krusial dalam menciptakan keadilan sosial, mengurangi kesenjangan ekonomi, dan memastikan pemerataan kesejahteraan di kalangan umat Islam.
Zakat, sebagai salah satu rukun Islam, adalah wajib bagi setiap Muslim yang mampu untuk menyisihkan sebagian kekayaannya setiap tahunnya. Zakat bukan hanya sekadar bentuk sumbangan, melainkan merupakan hak ekonomi yang diterima oleh mereka yang membutuhkan. Infaq, di sisi lain, merujuk pada pengeluaran yang dilakukan tanpa kewajiban, baik dalam bentuk harta maupun usaha. Ini mencakup sumbangan sukarela dan berbagai bentuk pemberian untuk kepentingan umum.Â
Sedekah, sebagai bentuk amal yang paling umum, mencakup berbagai bentuk pemberian untuk tujuan sosial, ekonomi, dan kemanusiaan. Sedekah mencerminkan sikap kepedulian dan empati terhadap mereka yang kurang beruntung. Praktik sedekah tidak hanya terbatas pada pemberian harta, tetapi juga dapat melibatkan pemberian waktu, keterampilan, atau tenaga.Â
Pilar-pilar keuangan Islam ini bukan hanya mengajarkan tentang memberi dan berbagi, tetapi juga melibatkan aspek keadilan dan keberdayaan ekonomi. Zakat berfungsi sebagai alat redistribusi kekayaan, memastikan bahwa kekayaan tidak terkumpul di tangan segelintir orang. Infaq dan sedekah, sementara bersifat sukarela, dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pemberdayaan ekonomi masyarakat. Dengan mendorong praktik ini, sistem keuangan Islam menciptakan lingkungan ekonomi yang lebih inklusif dan berlandaskan keadilan sosial. Pentingnya ZIS sebagai pilar keuangan Islam juga tercermin dalam tujuannya untuk mencapai keadilan dan keseimbangan.Â
TANTANGAN ZIS DALAM PRAKTIK KONVENSIONAL
Dalam praktik konvensional, pengumpulan dan distribusi Zakat, Infaq, Sedekah (ZIS) dilakukan dengan memberikan secara langsung kepada yang membutuhkan atau melalui lembaga amil zakat dan lembaga sosial. Pada praktik ini, peran lembaga dana sosial dalam pengumpulan dan distribusi ZIS menghadapi sejumlah tantangan yang dapat menghambat efektivitasnya, diantaranya:
1. Birokrasi yang Kompleks dan Keterbatasan Operasional.Â
Birokrasi yang kompleks menjadi salah satu tantangan terbesar  dalam pengumpulan dan distribusi Zakat, Infaq, dan Sedekah (ZIS). Proses administratif yang melibatkan registrasi penerima zakat hingga penyaluran dana seringkali rumit dan memakan waktu. Struktur birokrasi yang berlapis-lapis dari lembaga pengelola ZIS, pemerintah, dan badan amil zakat lokal juga menyulitkan proses, memperlambat respons terhadap kebutuhan mendesak, dan mengurangi efisiensi pengelolaan ZIS secara keseluruhan.
Tantangan ini diperparah oleh keterbatasan operasional yang dihadapi lembaga dana sosial. Keterbatasan sumber daya manusia, teknologi, dan kapasitas operasional menyebabkan penumpukan pekerjaan, menghambat verifikasi dan distribusi dana, serta mengurangi kemampuan dalam merespons kebutuhan yang mendesak. Infrastruktur teknologi yang terbatas juga menghambat penerapan solusi digital untuk meningkatkan efisiensi operasional.
Penting untuk diakui bahwa tantangan ini tidak hanya berdampak pada lembaga dana sosial, tetapi juga berpengaruh secara langsung pada masyarakat penerima manfaat. Proses lambat dan tidak efisien dapat menunda bantuan yang diperlukan oleh masyarakat yang mengalami kesulitan ekonomi, terutama dalam situasi darurat.Â
2. Kurangnya Transparansi dan Akuntabilitas
Dalam praktik konvensional, seringkali terjadi kekurangan dalam hal pelaporan dan akuntabilitas dalam pengumpulan dan distribusi ZIS, yang kemudian memunculkan ketidakjelasan mengenai penggunaan dana ZIS.
Transparansi menjadi faktor kunci dalam membangun kepercayaan dan keyakinan para donatur. Pada praktik ZIS yang bersifat konvensional, kurangnya transparansi tercermin dalam proses pengumpulan dan distribusi dana, menyebabkan donatur memiliki keterbatasan akses terhadap informasi terkait. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang penggunaan dana apakah sesuai dengan prinsip syariah dan sejauh mana efektivitasnya mencapai tujuan yang diinginkan. Selain itu, ketidakjelasan tersebut berpotensi mengurangi motivasi donatur untuk aktif dalam praktik ZIS, karena mereka kesulitan melihat dampak konkret dari kontribusi mereka, menyebabkan ketidakpastian dan ketidakpercayaan terhadap program-program tersebut.Â
Selain tantangan transparansi, kurangnya pertanggungjawaban dalam pengelolaan dana ZIS juga menjadi permasalahan. Dalam praktik konvensional, mekanisme pertanggungjawaban seringkali kurang terdefinisi dengan baik, dan pengawasan terhadap manajemen dana ZIS tidak selalu berjalan optimal. Keadaan ini meningkatkan risiko penyalahgunaan dana, penyimpangan, atau penggunaan yang tidak efektif. Selain itu, kekurangan pertanggungjawaban dapat membuka ruang bagi birokrasi yang kompleks dan rentan terhadap praktik korupsi. Tanpa mekanisme yang jelas untuk melacak dan melaporkan penggunaan dana, sulit untuk menilai apakah dana ZIS benar-benar digunakan secara efektif untuk membantu mereka yang membutuhkan. Dampaknya mencakup kerugian bagi kredibilitas institusi atau lembaga yang mengelola ZIS dan menciptakan ketidakpastian di kalangan donatur dan masyarakat.
DIGITALISASI PRAKTIK ZISÂ
Proses pengumpulan dan distribusi ZIS konvensional seringkali melibatkan birokrasi rumit dan prosedur manual sehingga menghambat efisiensi pengelolaan dananya. Kurangnya transparansi dan akuntabilitas juga menciptakan keraguan di kalangan donatur, memperlambat partisipasi, dan menurunkan kepercayaan masyarakat pada lembaga-lembaga yang mengelola ZIS. Keadaan ini menciptakan kebutuhan akan praktik baru yang dapat mengatasi tantangan tersebut.Â