Saya suka sekali memposting makanan tradisional jadul di media sosial. Biasanya yang like dan komen banyak. Rata-rata netizen kepingin sekaligus keheranan kok bisa saya menemukan makanan tersebut.
Lidah saya lidah desa. Oleh sebab itulah saya menggemari makanan tradisional. Dulu waktu masih di kampung saya suka ikut Ibu ke pasar.Senang sekali rasanya. Sebab di sana bisa melihat dan membeli berbagai  dagangan, mulai mainan sampai aneka kue dan cemilan.
Setelah merantau ke kota, saya suka rindu kampung halaman. Saya suka kangen aneka kudapan tradisional. Masalahnya adalah, makanan tradisional jadul di tempat saya merantau ini mulai tergerus. Jadi jangan harap di pinggir-pinggir jalan ada penjual Grontol Jagung, Lepet, atau Cucur, misalnya. Sudah jarang. Â Adanya di toko-toko kue basah. Selain agak mahal, rasanya pun kurang khas.
Demi mengobati rasa kangen kampung halaman, saya suka pergi ke pasar pagi-pagi. Awalnya jarang.  Lama-lama makin sering, terus sekarang jadi hampir tiap hari ke pasar. Bukan cuma berbelanja aneka sayuran atau lauk. Saya ke pasar untuk hunting makanan tradisional yang mulai langka. Tempo hari saya ingin sekali makan keripik singkong kampung yang teksturnya alot dan manis karena berlumur gula karamel. Begitu dapat, saya bahagia sekali. Makanan tersebut sudah nyaris tidak ditemukan di mana-mana.
Lambat laun saya mencintai pasar. Bahkan saya menulis cerita anak bersetting pasar, meski akhirnya settingnya harus direvisi. Bagi saya pasar tradisional itu unik. Ibarat permen, rasanya manis, asam, asin. Segala rupa menyatu di pasar. Berikut ini beberapa alasan kenapa saya suka pergi ke pasar.
Pertama, buah, sayuran, ikan, dan daging di pasar lebih segar. Memang di supermarket buah-buahan yang disuguhkan tampak menggiurkan. Apalagi untuk buah, biasanya memiliki rasa lebih manis. Tapi itu buah impor. Jika diimpor, berarti buah-buahan tersebut mengalami masa perjalanan lintas negara yang memakan waktu lama. Itu artinya buah impor tersebut sudah tidak segar lagi. Sementara di pasar tradisional, buah-buahan yang dijual adalah buah musiman lokal. Mereka mendapatkan langsung dari pengepul.
Memang dari segi rasa buah impor kalah. Tapi dari segi gizi, saya kira sama saja. Saya juga seringkali ke supermarket dan memperhatikan ikan-ikan yang berjajar rapi di atas cacahan es batu. Penampakan ikan-ikan tersebut tidak sesegar ikan yang ada di pasar.
Kedua, harga lebih murah. Saya sudah membuktikan sendiri. Sebagai contoh, timun lalap yang ada di supermarket jauh lebih mahal daripada yang ada dipasar. Tempe pun demikian. Saya pernah beli tempe di supermarket, selain rasanya agak aneh, harganya pun lebih mahal. Selisih harganya jauh. Jika sehari-hari berbelanja menu harian di supermarket,bisa-bisa saya bangkrut mendadak.Â
Ketiga, bisa membeli makanan tradisional khas daerah. Saya punya teman, dia berasal dari Kalimantan. Ketika ke Malang, dia suka sekali pergi ke pasar. Dia suka mencoba aneka makanan tradisional khas kota Malang. Jadi menurut saya, pasar adalah salah satu  identitas daerah. Apabila ingin mengenal lebih dekat suatu daerah baru, maka berkunjunglah ke pasar tradisional daerah tersebut.
Keempat, banyak pilihan. Pasar tradisional tidak cuma menyediakan sayuran, buah,daging, dan ikan. Segala rupa ada di sana. Mulai dari pakaian, alat rumah tangga, camilan, makanan berat, bahkan mainan pun tersedia. Kita bisa lebih leluasa memilih. Apakah mau barang bagus dengan harga agak mahal? Atau beli barang berkualitas sedang dengan harga agak miring? Kita bisa membeli apapun di sana sesuai budget dan minat. Contoh: saya ingin membeli apel. Di pasar, jenis apel yang low-grade sampai high-grade, ada.  Tokonya pun tidak cuma satu saja. Pasar tradisional menyuguhkan lebih banyak pilihan kepada pengunjung.Â
Â