Mereka mengharapkan dokter tidak akan mengatakan suatu keburukan akan anggota keluarganya. Tapi dengan wajah duka dokter itu mengatakan hal yang sebenarnya. Seperti mimpi buruk. Dokter mengatakan bahwa Klara hanya mengalami luka di kepalanya. Dia membutuhkan waktu untuk beristirahat. Perasaan lega terpancar di antara mereka. Mereka pun segera menjenguk Klara di ruang perawatan. Ibu memegang tangan anaknya sambil menatapnya. Butiran air mata terus mengalir menyusuri pipinya.
Hari telah berlalu, matanya berkeliling mengamati ruang serba putih. Baunya sangat menusuk hidung membuatnya mual. Disentuhnya punggung tangan yang mulai berkeriput. Ditatapnya lama mahkota yang mulai beruban itu. Tak bisa dilihat wajahnya, karena ia tertidur tertunduk diujung tempat tidur.
Entah seperti telepati, orang itu pun mulai menggerakkan jemarinya dan mengangkat kepalanya. Kini Klara dan orang itu pun bisa saling menatap. Tersirat wajah bahagia dari seorang lelaki beruban itu. Segera ia memanggil dokter untuk memeriksa keadaan putrinya.
Di luar kamar perawatan, Ayah berbicara dengan Ibu dan Kak Ordi. Mereka akan segera menyusul ayah dan Klara di rumah sakit.
“Klara, kami senang kamu sudah siuman. Kami semua mengkhawatirkanmu,” ujar Kak Ordi yang sudah berada di samping ranjang adiknya.
“Iya. Kamu tahu Ibumu terus menangis sepanjang hari, melihatmu terbaring seperti kemarin,” timbah ayah. Klara hanya melihat mereka satu per satu.
“Klara?” tanya Klara pada semua orang yang ada di ruangan. “Aku adalah Klara? Lalu siapa kalian?” tambahnya.
“Ah, kamu tidak usah akting seperti itu. sudah cukup aktingmu, dan membuat kami menangis sepanjang hari. Kami sangat mengkhawatirkanmu,” kata Ordi sambil menggenggam tangan Klara. Tapi Klara langsung melepaskan genggaman itu.
“Aku tidak tahu siapa kalian! Aku tidak kenal dengan kalian semua! Pergi!” teriak Klara. Wajahnya ketakutan, ia menutupi telinga seakan ia tidak mau mendengar kata-kata mereka lagi.
Ordi pun langsung memanggil dokter. Setelah selesai memeriksa keadaan Klara. Dokter menjelaskan bahwa Klara mengalami amnesia. Ini disebabkan benturan di kepalanya. Setelah beberapa hari Klara di rawat di rumah sakit, akhirnya ia pun diizinkan untuk pulang.
Ia hanya duduk ti tengah tempat tidurnya. Tiba-tiba matanya tertarik oleh sebuah foto keluarga. Terlihat dirinya, kakaknya, ayah dan ibunya yang sedang berlibur. Mereka terlihat sangat bahagia. Lalu ia melangkahkan kakinya untuk melihat beberapa foto yang ada di kamarnya. Hingga ia terhenti di sebuah pigura yang terdapat foto dirinya dengan seorang lelaki. Ia bertanya pada dirinya sendiri siapa lelaki yang sedang bersamanya. Mengapa di foto itu ia terlihat sangat bahagia.
Saat ia mencoba mengingat siapa lelaki itu, terdengar bel rumah berbunyi. Suara kakaknya menyambut tamu itu dengan ramah, Klara penasaran dan ingin melihatnya.
“Klara, kamu tahu dia akan datang. Makanya kamu keluar kamar?” selidik kakaknya sambil memapahnya menghampiri sosok yang berdiri di teras belakang. Tapi ia tak bisa mengenali sosok itu, ia mencoba untuk mengingatnya dengan keras. Lelaki itu akhirnya membalikkan tubuhnya, hingga Klara bisa melihatnya secara utuh. Langkahnya terhenti matanya seakan mengenali sosok itu, tapi ia tak bisa mengingat siapa . Pandangannya mulai kabur, terlintas dirinya dan lelaki itu sedang bersenda gurau. Matanya tertutup agar film itu tidak segera berakhir.
***
Kini sosok laki-laki yang dilihatnya di teras belakang, telah berada duduk di sampingnya. Menemani Klara yang tadi sempat pingsan saat mencoba mengingat siapa lelaki itu. Dirinya sangat syok saat melihat laki-laki itu berada di dekatnya. Klara berteriak-teriak mencoba mengusir lelaki itu. Tetapi lelaki itu mencoba menenangkan Klara, sebaliknya Klara semakin bringas. Ia melempar semua barang yang ada di dekatnya. Hingga ibu dan kakaknya datang menghampirinya.
Ibunya langsung memeluk Klara dan mencoba menenangkannya. Entah kekuatan apa yang ada di tubuh putrinya, serasa Ibunya tidak kuat menenangkannya. Akhirnya Ordi membawa keluar lelaki itu.
“Ada apa sebenarnya?” tanya Ordi pada Beni yang juga syok.
“Entahlah, aku tidak tahu. Mengapa ia berbuat seperti itu.” jelasnya. “Apa dia masih membenciku karena kejadian itu?” tanyanya dalam hati saat kembali ke rumahnya. Klara pun sudah tenang, ia tidur di pelukan Ibunya. Ia seperti terlihat sangat bahagia.
****
Beberapa hari telah berlalu, ingatan Klara sudah mulai kembali. Ia mengingat siapa yang ada di sekitarnya sekarang. Ia tak lagi berteriak-teriak terhadap Beni. Kini ia bahkan seperti teman baru. Semua terlihat bahagia, walau ingatan Klara belum kembali sepenuhnya.
“Aku berharap kamu tidak mengingat semua kejadian sebelum kamu kecelakaan, Klara.” Ujar Beni dalam hati. Ketika mereka sedang berlibur bersama.
Miko dan Irfan menyambut Klara dengan memberikan berbagai bunga. Semua berkumpul di tanah lapang dengan payung pohon mangga. Mereka pun menyiapkan bekal yang untuk makan siang. Terlihat raut bahagia ujung bibir Klara. Walau dalam matanya ia masih mencari kenangan-kenangan masa lalu. Jingga pun menghampiri mereka. Mereka pun beranjak dengan menaiki sepeda. Suara Miko dan Irfan membuat tawa Klara hanyut dalam kebahagian mereka.
“Terima kasih untuk hari ini. Kalian sudah memberikan kebahagiaan untukku. Besok jangan lupa ya?” kata Klara sambil masuk ke dalam rumah.
“Siap!” celetuk Miko dan Irfan bersamaan sambil tersenyum manis. Beni hanya bisa memandang jauh Klara yang ada di depannya.
“Apakah ini sudah berakhir? Apakah tidak ada mimpi tentang kita? Haruskah kita seperti ini?” ujar Beni yang tersandar di sebuah pohon depan rumahnya.
****
Beberapa hari terakhir Klara menghabiskan waktu bersama teman-teman Beni. Meski tiada Beni di antara mereka, Klara tetap merasa bahagia. Ia pun menunjukkan kepada Miko dan Irfan keahliannya.
“Apa ini?”
“Apa ini sogokan buat kami? Agar kami tidak bercerita kepada siapa pun?” celoteh Irfan sambil selidik makanan yang ada di depan mereka.
“Mana berani aku menyogok kalian. Kalian tanpa disogok pun pasti tidak akan bicara dengan siapa pun,” jelas Klara.
Irfan dan Miko hanya melihat ke arah Klara, dan kembali ke makanan yang ada di depannya. “Boleh kami memakannya?”
“Jangan nanti kalian bisa mati kalau makan ini,” cegahnya sambil tersenyum. Tapi itulah dua lelaki yang tak peduli dengan apa pun. Merepa pun langsung melahapnya, berbagai makanan mereka masukkan. Mulut pun berhenti dengan mata saling memandang satu dengan yang lainnya.
“Sudah aku bilang, kalau makanan ini tidak layak untuk di makan, kenapa kalian makan,” katanya dengan gaya pahlawan yang telah memberikan peringatan kepada musuhnya.
Irfan pun menyodorkan makanan yang ada di tangannya. Dengan wajah kaget, mata melotot, seakan Klara bertanya kepada Irfan dan Miko.
“Haruskah?” tanyanya sambil mengambil dan memakannya. Matanya terpejam saat merasakan makanan itu. “He, manis ya?” elaknya. “Oh, pasti aku salah ambil bumbu tadi. Seharusnya aku ambil garam bukannya gula.” Katanya sambil menenggelamkan wajahnya.
“Biasanya kalau asin itu minta kawin. Kalau manis, itu minta apa?” tanya Miko heran.
“Pasti kamu sengaja yak an? Harusnya kita ajari kamu memasak,”
“Hah, belajar memasak darimu? Oh, tidak. Aku belajar dari Ibuku saja, ya? Kalau Ibuku tidak ada waktu, kita bisa belajar bersama.”
Di rumah pun Klara sangat semangat belajar memasak. Beberapa masakan yang masaknya kadang terlalu asin rasanya, kadang rasanya hambar. Memasak kue pun demikian yang bantat atau gosong. Klara tertawa melihat masakannya yang hancur.
“Tapi ini masih bisa di makan lho Kak, Ayah, Ibu. Coba cicipi masakan Klara,” katanya sambil menyerahkan potongan kue untuk anggota keluarnganya. Ia pun mendengarkan komentar yang diberikan oleh keluarganya. Ia seperti menjadi seorang kontestan dalam ajang pencarian bakat. Ketiga juri tersebut memasukkan Klara dalam present test. “Aku akan berusaha lagi, fighting!” katanya sambil mengepalkan tangan kanannya dan tersenyum kepada semuanya.
****
“Makanmu semakin hari semakin enak. Kamu pasti berusaha keras untuk mendapatkan hasil makanan seperti ini,” celoteh Miko sambil melahap makanan yang di bawa Klara di taman kampus. Meski ia belum menjadi mahasiswa, tapi ia sudah akrab dengan situasi kampus. Tiba-tiba gerak bola mata Klara terhenti, ia melihat Beni sedang berjalan dengan seorang perempuan. Beni hanya melempar senyum kepadanya.
“Ini,” sebuah tangan dengan memegang bunga mawar merah mudah. Mata Klara melihat indah sekuntum bunga itu. Tangannya siap untuk menerima bunga itu, tapi kepalanya menengok kebelakang mencari sumber suara.
“Beni? Untuk apa kamu memberikanku sekuntum bunga yang cantik ini?” tanyanya sambil memandangi tangan Beni yang masih memegang bunga mawar.
“Kamu kan suka sekali dengan bunga mawar. Jadi aku bawakan untukmu. Ambillah.” Jelasnya sambil menyodorkan bunga kepada Klara yang masih duduk di taman seorang diri.
“Terima kasih. Kamu tahu, kenapa aku suka mawar ini? Dulu waktu aku berumur empat belas tahun, ada seorang lelaki yang memberikan bunga ini. Dia harus memanjat pagar orang dan memberikannya kepadaku. Tapi kenapa dia harus mencuri bunga itu?”
“Mungkin saat itu, ia ingin menunjukkan rasa kasihnya yang besar kepadamu,” sambung Beni, yang sama-sama mengingat kembali kenangan masa kecil mereka. “Apakah kamu saat berumur empat belas tahun sangat cantik? Atau sangat menyebalkan?”
“Entahlah, aku tidak tahu. Ibu bilang kalau aku banyak yang naksir. Sampai menjadi taruhan.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H