Mohon tunggu...
Widyanti Yuliandari
Widyanti Yuliandari Mohon Tunggu... Administrasi - Blogger, ASN, Penulis buku

Widyanti adalah blogger yang juga penulis buku yang saat ini mengetuai komunitas Ibu-ibu Doyan Nulis, sebuah komunitas yang mewadahi perempuan penulis. Kini Widya tengah menjalani pendidikan Master di program Magister Teknik Lingkungan, Institut teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya. Kesibukan kuliah tak membuatnya berhenti untuk menekuni blogging dan menulis buku. Saat ini Widya sedang menunggu proses penerbitan buku solo ke-5 nya yang bertema Pola Makan Sehat, Food Combining. www.widyantiyuliandari.com

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Menggaungkan Kesadaran akan Pangan Lokal yang Sehat dari Rumah Tanoker Ledokombo, Jember

23 Februari 2020   20:45 Diperbarui: 23 Februari 2020   20:52 327
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Wohh.... Telo!
Dasar, mental tempe!

Jujur, masih sering mendengar dua ucapan di atas. Tadinya biasa aja, makin lama, saya jadi merasa tidak enak mendengarnya. Telo atau ubi, pangan lokal yang mengandung banyak nutrisi, sumber karbohidrat yang baik, kenapa justru diucapkan sebagai ungkapan melecehkan atau merendahkan?

Demikian juga tempe. Ketika banyak penganut vegetarianism atau pola makan sehat lain di luar sana mengagumi kelezatan dan limpahan nutrisi dari tempe, mengapa kita justru mengesankannya seolah sesuatu yang lemah, buruk dan hina? Dugaan saya, ada rasa kurang bangga dan percaya, bahwa kekayaan pangan lokal tersebut justru amat berharga.

Lain waktu, anak saya yang perempuan bercerita, “aku dibilang ndeso sama temanku”. “Mengapa, Dik? Tanya saya mulai waspada dan menebak ke mana arahnya. “Karena bekalku cuma tahu, tempe, sayur. “Temanmu emang bekal apa? “Nugget, sosis, roti …”, dia menyebut sederet makanan siap saji yang amat populer.

Well, sebenarnya saya tidak sangat kaku sehingga anak saya tak pernah mengkonsumsi makanan yang disebut tadi. Tapi, kami memang amat membatasi konsumsinya.

 “Kamu malu?” Tanya saya memastikan.

“Enggak”, jawabnya setengah cuek. Oh…sip! Ndeso itu sehat dan enak kok, Dik” kata saya memberi dukungan.

Pangan Lokal, Antara Keperpihakan dan Kesehatan

Bagi saya pribadi, keberpihakan pada pangan lokal sebenarnya didasari atas hal-hal sederhana saja. Bahwa Tuhan pasti dengan kasih sayangnya telah menciptakan sumber-sumber makanan sedekat mungkin dengan kita.  Namun setelah sekeluarga menjalani pola makan sehat sekian lama, ternyata memang amat banyak kelebihan pangan lokal seperti:

Lebih Segar

Oh, ya jelas! Dibanding pangan impor, pangan lokal menempuh jarak yang lebih dekat dan waktu lebih singkat untuk sampai ke meja makan kita, bukan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun