Mohon tunggu...
widya karisma
widya karisma Mohon Tunggu... Jurnalis - mahasiswa

Mahasiswa program studi hukum UIN Sunan Ampel Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Krisis Pengungsi Rohingya si Aceh, Implikasi Kedaulatan Negara dan Tanggung Jawab Nasional

13 Oktober 2024   22:00 Diperbarui: 13 Oktober 2024   23:31 226
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rohingya di Aceh tidak hanya merupakan isu kemanusiaan yang serius, tetapi juga isu yang dapat dianalisis dari perspektif ilmu negara. Dalam konteks ini, ilmu negara dapat membantu Kasus memahami dinamika politik, hukum, dan sosial yang mempengaruhi situasi Rohingya di Aceh. Analisis ini penting untuk merumuskan solusi yang efektif dan berkelanjutan.

Rohingya adalah kelompok minoritas etnis yang mayoritas tinggal di negara Myanmar, tetapi menghadapi diskriminasi dan penindasan yang signifikan. Kasus Rohingya di Aceh merujuk pada situasi pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari Myanmar dan berusaha mencari tempat yang aman, sering kali dengan tujuan mencapai negara-negara seperti Malaysia dan Thailand. 

Mereka telah tiba di Indonesia dalam beberapa gelombang selama bertahun-tahun, terutama sejak 2015. Kasus ini juga memiliki dampak di Aceh, sebuah provinsi di Indonesia yang memiliki hubungan sejarah dan budaya dengan Rohingya.

Para rohingya sudah mempunyai tujuan untuk menemui keluarganya di Malaysia, tapi Sebagian lainnya tidak punya tujuan, selain meninggalkan Myanmar untuk menyelamatkan diri. 

Namun rata-rata mereka berada selama 2-3 bulan di laut. Di kapal yang besar ini mereka disatukan dengan imigran dari Bangladesh. 

Hingga kemudian tanpa alasan yang jelas mereka ditinggalkan begitu saja oleh sindikat perdagangan manusia tersebut di tengah laut. Kapal mereka sempat di tolak masuk oleh tiga negara Malaysia, Thailand dan Indonesia, sebelum akhirnya masuk perairan Andaman dan diselamatkan oleh nelayan Aceh.

Jumlah pengungsi adalah sekitar 1.759 orang terdiri dari 1.062 warga Rohingya dan sisanya imigran Bangladesh. 

Mereka ditempatkan di empat tempat penampungan, masing-masing di gedung Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Desa Kuala Cangkoy Kabupaten Aceh Utara dan di bekas Kantor Imigrasi Lhokseumawe, di Desa Bireum Bayeun Kabupaten Aceh Timur, di Pelabuhan Kuala Langsa Kota Langsa dan Kabupaten Aceh Tamiang.

Rohingya di Myanmar menghadapi berbagai bentuk penindasan, termasuk diskriminasi, pemukiman paksa, dan kekerasan. Mereka sering dianggap sebagai pendatang ilegal meskipun banyak di antara mereka telah tinggal di Myanmar selama beberapa generasi. Situasi ini memicu perpindahan besar-besaran penduduk Rohingya ke negara-negara tetangga, termasuk Indonesia.

Aceh, yang memiliki populasi Muslim mayoritas, menjadi salah satu tempat di mana Rohingya mencari perlindungan. Namun, mereka sering menghadapi tantangan seperti kurangnya akses ke pendidikan, pekerjaan, dan layanan kesehatan. Selain itu, ada juga insiden-insiden kekerasan dan diskriminasi yang melibatkan penduduk setempat.

Namun para mahasiswa di provinsi Aceh tidak setuju akan kedatangannya. Mereka mulai menyerbu tempat penampungan Rohingya, sementara lebih dari seratus pengungsi Rohingya, Rabu (27/12), memaksa mereka untuk meninggalkan tempat tersebut sebagai bentuk penolakan terbaru terhadap minoritas Myanmar yang teraniaya itu.

Para mahasiswa, banyak di antara mereka mengenakan jaket dengan lambang universitas yang berbeda, memasuki ruang serbaguna pemerintah di ibu kota Banda Aceh tempat 137 pengungsi Rohingya menginap. Para mahasiswa tersebut meminta mereka dipindahkan ke kantor imigrasi setempat agar mereka dapat dideportasi, menurut rekaman yang dilihat kantor berita AFP.

Aksi mahasiswa tersebut disertai dengan kekerasan dan intimidasi. Beberapa pengungsi melaporkan bahwa barang barang mereka di lempar dan mereka di perlakukan dengan kasar. 

Para pengunjuk rasa juga terlibat perkelahian dengan polisi yang menjaga para pengungsi yang ketakutan, namun polisi akhirnya mengizinkan para mahasiswa untuk memindahkan mereka, menurut seorang jurnalis AFP di lokasi kejadian. 

Para mahasiswa membakar ban dan menyiapkan truk untuk memindahkan para pengungsi Rohingya. Polisi membantu mereka naik sebelum mereka dibawa ke kantor pemerintah lain di dekatnya, kata jurnalis AFP itu.

Polisi Banda Aceh tidak menanggapi permintaan komentar dari AFP. "Kami memprotes karena kami tidak setuju dengan warga Rohingya yang terus datang ke sini," kata Kholilullah, mahasiswa berusia 23 tahun yang hanya bisa dipanggil dengan satu nama, kepada AFP.

Banyak masyarakat Aceh, yang mempunyai kenangan akan konflik berdarah selama puluhan tahun, bersimpati terhadap penderitaan sesama Muslim. Namun pihak lain mengatakan kesabaran mereka telah diuji, dengan menyatakan bahwa masyarakat Rohingya mengonsumsi sumber daya yang langka dan kadang-kadang terlibat konflik dengan penduduk setempat.

Aksi mahasiswa dalam kasus Rohingya di Aceh menunjukkan adanya ketegangan antara masyarakat lokal dan pengungsi, serta tantangan dalam penanganan isu kemanusiaan. Insiden ini menyoroti perlunya dialog dan pemahaman yang lebih baik antara semua pihak untuk menciptakan lingkungan yang aman dan mendukung bagi pengungsi.

Setelah insiden pemindahan paksa pengungsi Rohingya oleh mahasiswa pada 27 Desember 2023, pemerintah Aceh mengambil beberapa langkah untuk menangani situasi tersebut. Beberapa diantaranya yaitu keputusan pemindahan yang diumumkan oleh Mahfud MD, yaitu memindahkan sekitar 137 pengungsi Rohingya yang sebelumnya di tampung di Balai Meuseraya Aceh (BMA) ke lokasi yang lebih aman. Langkah ini diambil untuk memastikan keselamatan para pengungsi setelah insiden tersebut. 

Selanjutnya yaitu penguatan keamanan yang dilakukan oleh apparat kepolisian untuk menjaga keamanan dan keselamatan pengungsi rohingya, Ini termasuk memastikan bahwa tidak ada tindakan kekerasan atau intimidasi yang terjadi di masa mendatang.

Kasus Rohingya di Aceh memiliki keterkaitan dengan konteks hukum internasional, hak asasi manusia, kebijakan pengungsi, dan dinamika sosial-politik. Pada prinsip Non-Refoulement, Indonesia meskipun bukan negara pihak dalam Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi, tetap terikat oleh prinsip non-refoulement, yang melarang pengembalian pengungsi ke negara di mana mereka menghadapi ancaman terhadap kehidupan atau kebebasan mereka. Hal ini menjadi dasar bagi perlindungan pengungsi Rohingya di Aceh.

Pada peraturan presiden No. 125 Tahun 2016 mengatur penanganan pengungsi di Indonesia, termasuk kerjasama dengan UNHCR dan IOM untuk memberikan perlindungan dan penanganan yang tepat bagi pengungsi 

Penanganan pengungsi Rohingya di Aceh menunjukkan tantangan dalam kebijakan pengungsi di Indonesia. Kurangnya regulasi yang jelas dan sistematis menyebabkan kebingungan dalam penanganan kasus pengungsi, yang berpotensi menimbulkan ketegangan sosial. 

Aksi mahasiswa yang menolak keberadaan pengungsi Rohingya di Aceh mencerminkan ketegangan antara masyarakat lokal dan pengungsi. Ini menunjukkan bagaimana isu pengungsi dapat mempengaruhi dinamika sosial dan politik di tingkat lokal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun