Mohon tunggu...
Al Widya
Al Widya Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

...I won't hesitate no more... just write...!!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

The secret of Al...[Chapter 2 : Broken heart...]

27 Februari 2014   17:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:25 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_315048" align="alignleft" width="300" caption="pic by Al"][/caption]

Jam di pergelangan tangan menunjukkan tepat pukul 07:00 malam. Alvina mencoba tidur namun kondisi bus yang penuh sesak membuatnya tidak dapat memejamkan matanya. Diluarhujan semakin deras mengakibatkan kemacetan dan akhirnya perjalanan pulang kali ini lebih lama dari biasanya. Sudah hampir 3 jam Alvina berada di dalam bus di tengah-tengah kemacetan. Ia bersama puluhan penumpang lainnya memang tidak punya pilihan, selain tetap berada di dalam bus karena hujan sangat deras mengguyur ibukota sejak sore tadi.

Beruntung gadis itu mendapat tempat duduk di depan sendiri, sehingga ia tidak perlu berdesak-desakan dengan penumpang lainnya. Di sebelahnya seorang bapak tua berjaket hitam terlihat tertidur dengan nyenyaknya. Udara di dalam bus yang gerah membuat gadis itu membuka jendela namun baru sedikit terbuka ia merasakan derasnya air hujan membasahi wajahnya. Alvina segera menutup kembali kaca jendela.

Setengah jam kemudian bapak tua di sebelahnya turun..seseorang menggantikan tempat duduknya.

“Turun dimana, mbak?” laki-laki yang baru saja duduk disebelahnya bertanya, namun entah mengapa Alvina merasa seperti mengenal suara berat itu. Ia menoleh kearah pemilik suara.

“Lebak bulus…. Eh, abang yang pernah memberi saya uang lima puluh ribu khan?” saat itu Alvina menyadari bahwa pemilik suara itu adalah seseorang yang dikenalnya.

“Oh, kok mbak masih inget saya…eheemm….” Laki-laki itu tersenyum sambil mengacak-acak rambutnya. Uh…dasar preman….

“Iya, saya merasa berhutang sama abang, entah apa yang terjadi kalo abang tidak menolong saya saat itu..” Alvina tersenyum.

“Hidup di Jakarta emang harus hati-hati, mbak…meleng sedikit aja udah deh…disamber sama copet…”

“Iya, bang… betul…”

“Eh… nama saya Dion…”

“Oh ya bang Dion… saya Alvina”

Sejak saat itu Alvina sering bertemu dengan Dion. Entah secara kebetulan atau memang Dion sengaja menemuinya, tetapi Dion yang tidak jelas status dan pekerjaannya itu memang selalu tampak berkeliaran di sekitar taman di dekat terminal bus kota di sekitar Blok M. Entah apa yang dikerjakan di sana, Alvina sering bertemu dengannya meski hanya sekedar menyapa.

Hari Sabtu pukul 01:00 siang, gadis itu sudah berada di salah satu outlet pakaian di sebuah mall. Setelah menerima gaji bulan ini ia berniat membeli pakaian dan sepatu karena ia merasa pakaian dan sepatunya sudah minta diganti. Setelah mendapatkan barang yang di inginkannya, Almira melangkah keluar dari outlet tiba-tiba…..

“Al… seseorang menyapanya.” Gadis itu menoleh mencari sumber suara. Oh, ternyata Dion!!

“Hai…kok abang ada di sini?” Alvina merasa heran menemukan Dion berada di mall yang sama hari itu. Padahal mall ini agak jauh dari taman tempat biasa mangkal pria itu.

“Iya… saya sedang nyari baju buat kondangan… pilihin dong!” Dion masih seperti biasanya, mengenakan jeans sobek dan kaos tanpa lengan tetapi kali ini berwarna putih.

Alvina memilihkan sebuah kemeja berwarna coklat muda dengan variasi kotak-kotak berwarna coklat tua dan celana panjang berbahan katun dengan saku di kanan dan kiri berwarna senada. Dion menurut saja ketika Almira menyodorkan kemeja dan celana itu kepadanya. Dion mengantarkan Almira sampai di perhentian bus lalu mereka berpisah setelah bus yang akan membawa gadis itu datang.

“Hati-hati di jalan, Al…mulai hujan” Dion berkata sambil tetap menghisap rokoknya. Almira tersenyum melambaikan tangannya.

Dua jam ditengan hujan lebat dan macet membuat Almira mengeluarkan headset sekedar membunuh rasa bosan. Siang itu bus tidak terlalu penuh, bahkan bangku di sebelahnya kosong. Almira sedang mendengarkan sebuah lagu yang dinyanyikan ABthree, bagaimana….harus kujalani…rasa cintaku….. Tiba-tiba seseorang duduk di sampingnya…Dion!!!

“Bang Dion…kok bisa ada di sini?” Almira sedikit terkejut melihat Dion sudah berada di sebelahnya, bahkan kali ini ia terlihat berbeda dengan pakaian yang dikenakannya. Almira merasa kemeja dan celana yang ia pilihkan sangat cocok dikenakan oleh Dion. Apalagi hidung gadis itu mencium bau harum parfum dari tubuh Dion. Hal yang selama ini tidak pernah terjadi sejak ia mengenal Dion beberapa bulan yang lalu.

“Heh…kenapa bengong? “ Dion mengibaskan tangannya di wajah Almira saat melihat gadis itu terpana memandangnya. Almira terlihat kaget dan sedikit malu saat menyadari ia sedikit terpesona dengan penampilan preman yang dikenalnya secara tidak sengaja. Dion terlihat ehm..tampan dan tidak ada kesan sangar dengan penampilannya kali ini.

“Dengar Al.. selama ini saya memang sengaja mengikuti kamu. Saya nggak mau kondangan tetapi hari ini saya memang mau sedikit berbeda dimatamu. Saya suka sama kamu sejak pertama kali bertemu… tetapi selama ini saya ragu-ragu mengatakannya. Saya menyadari bahwa saya ini preman yang nggak pantes suka sama wanita baik-baik sepertimu….Al?” Dion meremas rambutnya dan mengacak-acak sambil nyengir. Ia menyadari bahwa dari tadi Alvina tidak mendengarkannya karena gadis itu memakai headset…huft!!!!! Dion segera mengulurkan tangan melepas head set yang dikenakan Alvina.

“Abang mau kemana? Kok kita kebetulan ketemu lagi?” Alvina sekali lagi melirik Dion…

“Saya mau nganterin kamu….” Dion bersyukur gadis itu tidak mendengar apa yang diucapkan barusan….huh… bagaimana kalau sampai Alvina mendengar? Bagaimana kalau gadis ini menjauhinya karena pernyataannya tersebut? Ia belum siap kehilangan gadis ini…ia belum melakukan apa-apa…

Namun sepertinya Dion tidak perlu kecewa, karena sejak kejadian itu meski Dion dengan sengaja menunggu Alvina di taman, gadis itu sepertinya sangat senang. Dari tatapan matanya yang bening Dion tahu bahwa Alvina juga menikmati kebersamaan mereka. Dan benar saja ketika Dion menyampaikan rasa sukanya, Alvina tersenyum bahkan membalas genggaman jemari tangannya dengan erat.

“Hati-hati dengan orang yang baru dikenal, Al….ini Jakarta. Kamu bisa saja kena tipu dayanya. Banyak yang sudah terperangkap di dalamnya, yang akhirnya membawa mereka pada penyesalan” mas Bayu kakaknya saat makan siang memperingatkan setelah Alvina menceritakan tengah dekat dengan seseorang.

“Iya, mas….saya akan hati-hati. Salam buat mbak Ruri ya..” Alvina memandang kakak satu-satunya yang bekerja di sebuah pabrik perakitan mobil di kawasan Tangerang itu meninggalkannya.

Sudah tiga minggu Alvina menjalin hubungan dengan Dion. Entah pesona apa yang dimiliki preman dengan beberapa tattoo di lengannya itu, Alvina merasa sangat nyaman berada di sampingnya. Ia sama sekali tidak merasa khawatir karena walau Dion terkenal sebagai seorang preman, namun ia selalu melindungi dan memperhatikannya. Dion bahkan tidak pernah berusaha menyentuhnya lebih dari sekedar pelukan dan ciuman di kening Alvina.

“Hmm….jadi ini tempat kerja bang Dion?” Alvina memandang sekeliling ruangan. Sebuah ruko berukuran sedang berlantai dua dengan beberapa sekat di dalamnya. Ada beberapa pekerja yang sedang sibuk mengepak barang-barang di depan. Beberapa pekerja tersenyum dan bersiul nakal melihat Dion menggandeng Alvina ke dalam ruangan.

“Kami mendesain dan menyablon berbagai bahan mulai kaos, jaket, topi dan lain-lain…semuanya ada 12 pekerja” Dion menjadi bersemangat sore itu ketika dengan setengah memaksa Alvina ingin melihat tempat usaha Dion. Alvina ingin membuktikan bahwa Dion yang dikenal preman itu ternyata juga mampu berkarya dan mencari nafkah dengan halal dengan usaha dan bekerja. Diam-diam Alvina merasa bangga dengan kekasihnya itu. Ia semakin menempatkan Dion ke dalam hatinya yang terdalam.

Di dalam ruangan yang berada di lantai dua, Dion memperlihatkan beberapa barang hasil produksinya sambil sekali-sekali mencuri ciuman di pipi Alvina dari belakang. Alvina terkejut dan hanya tersenyum kecil menahan debaran di dalam dadanya meski matanya pura-pura mengamati barang-barang yang terpajang di etalase. Ini bukan yang pertama kali ia berpacaran, namun entah mengapa ia menikmati sekali debaran di dalam dadanya dengan perlakuan Dion tadi.

Dion menarik tangan gadis itu ke dalam pelukannya… Alvina tak dapat menolak, bahkan mereka seperti tertarik oleh magnet saat mata mereka bertemu dan wajah keduanya semakin mendekat… suasana yang sepi di lantai dua membuat mereka semakin hanyut dalam buaian asmara. Dion mencium Alvina dengan mesra..melumat bibir gadis itu dengan lembut. Keduanya semakin menikmati ciuman hingga tanpa disadari keduanya sudah semakin jauh memasuki surga yang seharusnya belum waktunya tersentuh. Mahkota terindah milik Alvina telah direnggut dengan kesadaran keduanya. Ada senyum yang tak mampu diterjemahkan saat mereka selesai bercinta di ruangan itu. Dion dengan tenang membelai dan memeluk tubuh Alvina saat melihat gadis itu diliputi kebimbangan. Namun semua telah terjadi…. Alvina mempererat pelukannya ke tubuh Dion seakan tidak ingin melepaskan. Ia berharap akan selalu bersama Dion sekarang dan selamanya…. Dion tersenyum dan mengusap air mata yang menetes di pipinya…..

Siang itu Alvina membaca kembali sms dari Dion yang dikirim dua hari lalu, kekasihnya itu ke Lampung selama tiga hari untuk sebuah acara yang ia sendiri tidak tahu. Alvina sudah tidak sabar ingin bertemu dan menahan rindu. Saat ia menuliskan smz kerinduan hari ini tiba-tiba hatinya berdebar tak menentu, balasan di sms itu berbunyi……. Ini siapa ya? Mohon jangan iseng menganggu suami saya!!..... Ya tuhan… Alvina merasa lemas di sekujur tubuhnya. Benarkah ini seperti apa yang difikirkannya???

“Resign?.... kok mendadak mbak….” Tatapan mata mas Budi, security itu terlihat sedikit gelisah. Ada kekecewaan di sana…

“Iya, mas….. saya harus pulang kampung.. sampai ketemu lagi..” Alvina mengulurkan tangannya berjabat tangan dengan Budi.

“Kalau begitu, saya doakan mbak Al mendapatkan pekerjaan yang lebih baik…” suara Budi terdengar lirih. Ia melangkah di sebelah Alvina mengantarkan gadis itu meninggalkan gedung kantor. Ah…. Hanya sampai di sini ia bisa menatap kagum gadis itu….

“Iya, mas….terima kasih”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun