Mohon tunggu...
Al Widya
Al Widya Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

...I won't hesitate no more... just write...!!

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Love Melody... [Part 1]

24 Maret 2014   18:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:33 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Love Melody [Part 1]….

Pintu Café terbuka, sapaan renyah dari seorang waiter menyambutnya dengan senyum tersungging. Jum’atadalah hari yang sangat menyenangkan baginya…pulang cepat dan Café dalam keadaan sepi membuatnya sangat nyaman dan biasanya ia bisa menghabiskan secangkir kopi latte menemani surfing, browsing, chatting di internet selama berjam-jam.

Mel saat ini telah berusia 28 tahun dan bekerja di sebuah Sekolah Dasar Internasional sebagai guru tingkat tiga. Ia menamatkan sarjana ketika berusia 21 tahun dan mulai menjadi guru sejak itu. Saat ini Mel sedang menghadapi semester akhirS2 nya. Setelah lulus ia akan dipromosikan sebagai wakil Kepala Sekolah bidang Kesiswaan dimana ia tidak akan mengajar di kelas namun ia akan menangani siswa-siswa yang memiliki masalah dalam pembelajaran dari mulai tingkat satu hingga tingkat enam. Menurut Mel itu bukanlah pekerjaan yang mudah. Ia berharap setelah promosi itu ia masih memiliki waktu untuk mengunjungi Café ini setiap hari Jum’at.

Seperti biasa ketika datang ia disambut oleh beberapa pramusaji dan manager Café yang sudah ia kenal dengan baik.

“Hai, Mel….selamat pagi!” Mita Manager Cafe yang sedang berbicara dengan anak buahnya segera melambaikan tangannya kearah Mel.

“Hai, pagi Mita….” Mel tersenyum dan segera menuju meja favoritnya di dekat jendela namun tidak terlalu tampak dari pandangan luar karena terhalang oleh pot besar dengan tanaman perdu berdaun lebar. Mel menyukai tempat itu karena tidak terlalu banyak cahaya yang masuk menembus layar komputernya sehingga ia bisa dengan jelas membaca tulisan yang ada di sana. Selain itu tidak banyak yang berlalu lalang di sekitar mejanya kerena posisinya sedikit menjorok ke dalam.

“Mau saya antar minuman seperti biasa, Mel?” Mita sudah berdiri seberang meja.

“Ah, kamu tau aja kesukaanku, sayang…” Mel tersenyum sambil menekan tombol login pada laptopnya.

Mel mulai dengan login ke sebuah situs favorit dan mulai surfing web di sana. Sambil menunggu loading ia memeriksa beberapa email masuk dan segera membalasnya. Beberapa dari teman-teman kuliah dan adik perempuannya yang bekerja di Qatar sebagai konsultan kesehatan. Ia menghentikan tangannya ketika Mita meletakkan secangkir coffee latte dan sepiring fruit pie di mejanya.

Mel kembali ke monitor dan melihat ada pesan Chat Line dari seseorang yang selalu menyapanya beberapa hari ini…. Mozart.

Hi, Mel….

Kamu belum pernah melihatku bukan?...tapi aku sudah melihatmu selama kamu duduk di meja dekat pot itu sejak beberapa hari yang lalu.

Hi, Moz

Ya Tuhan…berarti kamu ada di sini sekarang?

Mel mengangkat kepalanya dan reflek ia memandang sekeliling Café yang sudah mulai ramai pengunjung. Di sana-sini Mel melihat semua membuka laptop atau hanya sekedar mengutak-atik selular mereka.

Oh, tidak Mel…. Saya hanya mempunyai koneksi yang mengatakan bahwa kamu sekarang berada di sana. Saya akan segera drop off di Café ini dan mengenalmu lebih dalam setelah itu akan membiarkanmu memilih apakah akan tetap bertemu atau meninggalkan saya. Saya berjanji dalam waktu dekat ini. Tetaplah tersenyum my Sunshine!

Mozart..

Mel tersenyum dan menarik nafas. Huft….pria yang mengaku bernama Mozart itu telah dikenalnya melalui Chatt Line seminggu yang lalu. Entah mengapa percakapan intens dengan Mozart membuatnya merasa nyaman. Mereka telah menghabiskan berjam-jam untuk ngobrol tentang apa saja di internet. Mel mengerjapkan kedua matanya yang indah namun tersimpan lelah.

Ayahnya mengatakan di telepon sebulan yang lalu bahwa ia sudah tua bahkan akan segera menyusul ibunya di surga. Ia mengharapkan Mel segera menikah, dan mel hanya mampu menjawab dengan terbata…pray for me,Dad!

Mel kembali memandang ke layar monitor dan menemukan alenia pendek yang ditulis oleh Mozart.

Mozart : Saya merasa kamu sedikit gelisah hari ini, mau bercerita?

Mel: Oh, bukan gelisah tapi tepatnya saya merasa dipermainkan oleh seorang pria yang memata-matai saya.

Mozart : Hahaha….kamu nyindir saya, ya…

Mel : Mungkin saja.. icon menyeringai

Mozart: Baiklah Sunshine…. Nama kamu Melody, berusia 28 tahun. Kamu adalah seorang guru tingkat tiga di Sekolah Dasar Internasional dan sebentar lagi akan menyelesaikan thesis S2 study Psikologi. Ibu sudah meninggal dan ayah adalah seorang pensiunan guru olah raga. Kamu mempunyai dua orang kakak laki-laki dan seorang adik perempuan. Kamu suka menggigit bibir bawah saat sedang gugup…seperti yang sekarang kamu lakukan!

Mel mengangkat kepalanya kembali. Ia masih belum percaya bahwa Mozart benar-benar tidak berada di Café tersebut. Lalu bagaimana ia mengetahui kalau saat ini ia benar-benar menggigit bibir bawahnya?

Mel: Okay…salut dengan informasi tentang diri saya yang begitu detail. Tapi aneh sekali, bahwa kamu duduk di sini, di Café yang sama mengamati gerak-gerik saya dan kamu tidak membiarkan saya melihatmu.

Mozart:Hahaha…kamu memang cerdas Mel. Tapi akuilah bahwa ini sangat menyenangkan bukan? Chatting dengan seseorang yang‘hot’ di sebuah Café dan kamu tidak bisa melihat lawan bicaramu. Okay, saya memang di sini memandangmu.. menikmati setiap natural yang ada di hadapanku…

Mel : Heh…siapa bilang kamu ‘hot’ ….jika tidak di ijinkan melihatmu maka saya tidak akan mengakui ‘hot’ itu.

Mel tersenyum geli dan menyibakkan rambut coklatnya. Mozart sepertinya membalas kalimatnya dengan cepat…

Mozart : It’s fair sunshine!.... tanyakan saja apa yang kamu ingin tahu tentang saya.

Mel: Berapa usia kamu? Apa pekerjaanmu? Darimana asalmu? Dan apakah kamu seorang maniak yang sedang mencari mangsa gadis-gadis di internet?

Mozart memasang icon tertawa di monitor. Mel kembali menyruput coffee latte yang hampir dingin.

Mozart : 30. Saya bekerja di Satchell Cooper sebagai arsitek. Ayah saya asli Kobe dan ibu saya orang Jogja. Saya lahir di Tokyo.Dan saat ini saya menemukan target seorang wanita yang segera saya jadikan mangsa. Dalam seminggu ini sudah menjerat 7 wanita…haha

Mel tersenyum dan mengacak-acak rambutnya. Apa yang harus ia percayai dari sekedar tulisan yang ada di monitor. Semua orang bisa saja menulis apa yang mereka inginkan. Namun Mozart sepertinya tidak main-main… kalau tidak bagaimana ia sampai tahu kedua orang tuanya yang tinggal jauh di Surabaya sana?

Mel : Kalau begitu saya harus segera mengakhirinya sebelum menjadi korban berikutnya. LOL… by the way.. memangnya ada maniak yang mengatakan rencana targetnya…oon!!!!

Mozart : Hahahaha……..

Jangan khawatir sunshine…kamu memang akan menjadi korban berikutnya tetapi dengan cara yang lembut, nikmat dan sedikit nakal…aahhhh

Mel sedikit bergetar lalu mengambil nafas dalam, mengambil potongan pie yang terakhir di mejanya. Kali ini ia tidak segera menulis atau membalas Mozart. Ia ingin pria itu mengerti bahwa ia harus tahu dan melihat sendiri wujud Mozart yang sebenarnya. Satu..dua..tiga menit kemudian terlihat Mozart mulai tidak sabar.

Mozart :Maaf, nona… sepertinya saya terlalu yakin bahwa kamu menikmati obrolan ini seperti saya menikmati setiap kata yang kamu tuliskan. Semua menggetarkan….dan saya tidak ingin segera kehilangan getar-getar itu… ehm, bukankah ini waktunya untuk pergi. Pak Adrian pasti sudah menunggu di mejanya.

Mel mendesah…..benarkah ia menikmati percakapan ini? Kalau tidak mengapa ia merasa tidak ingin menutup chatting Line secepatnya, bahkan ia tidak ingin meninggalkan meski memang saat ini ia harus bertemu dengan pak Ardian, direktur Kurikulum…haaahhh…darimana dia tahu appointment itu…aahhh gilaaaa!!!

Mel segera mengemasi barang-barangnya dan meninggalkan Café dengan teriakan ‘goodbye’ kearah Mita dan teman-temannya. Sejenak matanya sempat melirik ruangan Café yang luas dan ramai pengunjung dengan laptop atau gadget di hadapan mereka. Huft….yang mana sich si brengsek Mozart itu?...Mel menghela nafas dan berjalan menuju halte bus yang berjarak tak jauh dari Café.

Jam di pergelangan tangannya menunjukkan tepat pukul 02:15 siang. Ia akan berada di ruangan pak Ardian 10 menit lebih lama dari appointment mereka jam 02:30 siang.Mel segera melompat ketika sebuah bus berhenti dan menempati bangku kosong nomor dua dari depan. Matanya sekali lagi melirik ke arah pintu utama Caféyang terlihat dari dalam bus…tidak ada siapapun di sana….

Dari arah pintu luar dua orang pria berjalan mendekati sebuah meja. Pria itu sedang berbicara dengan manager pelayan Café …Mita…

“Saya pulang sekarang ya….” Pria itu berperawakan tinggi dan berbadan tegap. Setidaknya bisa terlihat dari panjang kakinya meski ia duduk di atas kursi roda.

“Okay, abang hati-hati ya…sampai nanti..” Mita mencium pipi pria itu dan segera berlalu.

Kedua pria tadi membantu membereskan laptop dan memasukan ke dalam tas ransel berwarna hitam, seorang lainnya mendorong kursi roda keluar dari Café. Di luar sebuah mobil jeep mewah keluaran terbaru sudah menunggu, beberapa menit kemudian mobil itu meninggalkan Café.

“Hari ini ada meeting dengan PT. Citra Corp. jam 02:30 dan bertemu dengan perwakilan dari kantor pusat perihal pengerjaan lanskap di Metro…”

“Okay…pastikan kita tepat waktu” pria yang duduk di bangku tengah tersebut tersenyum. Sejenak ia teringat wajah merengut Mel..terlihat sekali gadis itu merasa jengkel dengan keberadaannya yang misterius. Ahh…kasihan dia…sebenarnya ia mau saja menampakkan dirinya, namun kondisi fisiknya saat ini belum memungkinkan untuk sebuah pertemuan dengan seorang wanita secantik Melody. Ia khawatir gadis itu segera berpaling dan menghilang dari kehidupannya.

Mozart Hamada memang telah menjalani hidup di kursi roda selama hampir delapan bulan. Kecelakaan yang menimpanya saat itu membuat ia harus hidup dalam kondisi separuh badannya dari pinggang ke bawah menjadi lumpuh. Dokter telah membesarkan hatinya bahwa kelumpuhannya hanya sementara, namun entah mengapa setelah terapy yang melelahkan selama berbulan-bulan kondisinya tidak juga membaik.

Tidak cukup kesialan itu saja yang menimpanya, Valerin kekasihnya memutuskan pertunangan mereka membuat frustasinya semakin menjadi-jadi. Beberapa kali adiknya Meta yang bekerja di Café miliknya itu mempertemukan dengan teman-temannya. Namun yang terjadi para wanita itu menjauh dengan pasti setelah tahu bahwa mereka akan bersama dengan pria yang hanya bisa duduk di kursi roda…..aaahhh….

Mozart sangat menyayangi adiknya. Ia tetap memperlihatkan antusiasnya setiap kali Mita datang dengan seorang wanita, meski tak berapa lama kemudian ia tersenyum kecut dan memeluk kakak satu-satunya.

Kali ini Mita tidak mau gagal dengan usahanya menyatukan Melody, sahabat lamanya dengan Mozart. Ia telah mengenal Mel sejak mereka SMA dan beberapa kali bekerja bersama dalam kegiatan sosial saat kuliah di kampus yang sama namun berbeda jurusan. Melody seorang wanita yang sangat manis namun sedikit keras dengan keinginannya. Setelah beberapa tahun tidak bertemu Mita melihat Melody berada di Café ini sejak beberapa waktu yang lalu dan mereka kembali seperti dulu…bercanda dan tertawa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun