Liburan kemarin saya sedikit berbincang dengan seorang ibu tentang sejarah hidupnya dan sejarah singkat bangsa Indonesia. Jadi, cerita singkatnya ibu dulu adalah anak seorang pejabat TNI. Namun agak sial dia hidup ketika Indonesia sedang panas-panasnya karena politik kudeta Orde Baru. TNI kala itu terbagi menjadi dua kelompok yang satu membela Soeharto dan yang satu membela Soekarno.Â
Walau jaman  sedang trend  pembasmian masal manusia PKI dan tertuduh PKI (yang sebenarnya bukan PKI) yang mirip dengan pembasmian nyamuk DBD, untungnya keluarga ibu itu tidak masuk dalam daftar orang yang harus dibunuh, ya pahitnya hanya terkena imbas kemiskinan karena hartanya disita oleh negara.
"Rumah ibu dulu kalo dijual harga berapa  sekarang kira-kira?", tanya saya.
"10 Milyar lah kira-kira", jawab itu itu.
"Waduh, disita? Gimana ceritanya", tanya saya lagi karena penasaran.
"Ada satu tentara nuduh kalo rumah itu adalah rumah negara, padahal saya ingat betul bapak saya mengumpulkan gaji untuk membeli rumah itu", kata beliau dengan muka masih menyimpan dendam pada pemerintahan Orde Baru.
Lalu sebagai anak hukum yang saya sadar betul bahwa pemerintah telah menyalahgunakan kewenangan pada saat itu, akhirnya saya pun bertanya kepada beliau dengan penuh tidak tahu-nya.
"Keluarga ibu gak kepikiran nyewa pengacara apa? Atau hubungin LBH gitu? Kan jelas-jelas itu pelanggaran?"
"Jaman dulu mana ada LBH? Pak Karno itu ngasih beasiswa buat anak-anak untuk pergi sekolah diluar negeri kebanyakan jurusan teknik dan kedokteran, mana ada beasiswa buat mahasiswa hukum? Kalo ada pun saya yakin sedikit banget."
Ya rasanya saya baru dengar informasi itu, masa iya? Ilmu Hukum tidak berkembang. Mana ada negara yang tidak mengembangkan ilmu hukum? Makanya orang pada saat itu tidak sadar haknya dirampas, tidak sadar yang dilakukan pemerintah atas pembasmian PKI adalah tindak pidana pembunuhan, tidak sadar bahwa mereka dipimpin oleh pemimpin yang tidak sah, tidak sadar Undang-Undang Tentang Investasi yang dibuat pada tahun 1966 tepat setelah Soeharto naik adalah jebakan baru untuk Indonesia dengan cara yang legal (tapi yaudahlah, terlanjur basah ini hehe).
Tidak berselang lama setelah obrolan itu, saya membaca sebuah buku karena kebetulan skripsi saya tentang kajian hak imunitas pengacara yang sedikit ada hubungannya dengan sejarah dan perkembangan bantuan hukum.Â
Lalu ada seorang ahli hukum bernama Adnan Buyung Nasution menulis dibukunya, membenarkan bahwa pada zaman Orde Lama bantuan hukum memang hampir sama sekali tidak berkembang.Â
Bukan hanya kekolotan pemerintah Soekarno yang menganggap ilmu hukum tidak punya feedback bagi bangsa, tapi sebenarnya pemikiran macam ini juga di-Amini oleh pemerintah kolonial Belanda. Yang sengaja tidak ingin mendirikan sekolah hukum, karena takut pribumi menyadari "apa itu hak asasi manusia?"
Walaupun ini celah yang bagus dari jaman kolonial hingga jaman Soekarno, tapi pada Era Orde Baru nyatanya Indonesia telah mengalami pertumbuhan bisnis yang bagus yang mau tidak mau, suka tidak suka harus punya ahli hukum bisnis. Toh walaupun judulnya adalah hukum bisnis, antar bidang hukum sebenarnya punya inti yang sama pelajari, yaitu "Hak  dan Kewajiban".Â
Setelah menguasai konsep Hak dan Kewajiban, barulah dihafalkan asas dan pasal hukum dalam tiap bidang hukum yang nanti dijadikan argumentasi hukum untuk memperjuangkan sesuatu.Â
Penguasaan konsep hak dan kewajiban ini akhirnya jadi buah simalakama bagi pemerintah Orde baru yang pada saat itu sangat menyuburkan lembaga bantuan hukum yang akhirnya membuat rakyat menyadari, ada banyak hak rakyat yang dilanggar oleh pemerintah.
Tapi sayangnya skeptis tentang ilmu hukum dan ilmu sosial adalah ilmu-ilmu yang tidak penting masih menjamur dimana-mana. Contohnya saja pemerintah era Jokowi, memotong anggaran beasiswa kuliah keluar negeri dengan jurusan ilmu sosial. Bahkan di kampus saya, pengajuan penelitian ilmu sosial sering ditolak, tidak diterima dan dianggap sebelah mata.Â
Padahal kita tahu semua nitizen Indonesia menjadi sadar dengan kondisi perpolitikan negeri ini dan  bisa berkomentar atas jalannya sidang MK kemarin, ya karena kita melek hukum dan sosial, to?Â
Coba bayangkan tidak ada konsep hak dan kewajiban, saya yakin kita semua akan mirip anak SMP labil yang diselingkuhi tapi gak tega minta putus alias gak paham bahwa meminta putus pada orang yang selingkuh itu adalah hak kita atau melanggar hak orang lain, sih? Hehe
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H