Mohon tunggu...
Widya Apsari
Widya Apsari Mohon Tunggu... Dokter - Dokter gigi, pecinta seni, pemerhati netizen

menulis hanya jika mood

Selanjutnya

Tutup

Diary Artikel Utama

Refleksi 13 Tahun Saya sebagai Dokter Gigi (Part 1)

14 Oktober 2022   17:22 Diperbarui: 15 Maret 2024   06:33 2135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya menjadi dokter gigi PTT di Nias Utara selama 1 tahun, dan menjadi dokter gigi di daerah terpencil. Di mana pada saat itu, tahun 2009, listrik masih on-off, 3 hari listrik nyala, dan 3 hari listrik mati, tinggal di rumah dinas sendirian, yang mana sumber airnya berasal dari mata air yang dialiri ke rumah dengan menggunakan selang. Jauh dari kata dokter gigi "cantik", tapi demi sepucuk surat!

Seselesainya masa bakti saya menjadi dokter PTT, saya pikir saya akan mendapat tempat praktek yang "bonafit" seperti impian saya sewaktu lulus kuliah. namun itu tidak pernah terjadi, ha-ha-ha.

Sepanjang karir saya sebagai dokter gigi umum, praktek saya di klinik pribadi senior saya, di RS kecil di pinggiran Kabupaten Tangerang, yang pada tahun 2010, cabut gigi anak-anak masih 50 ribu.

Penghasilan pertama saya sebagai dokter gigi adalah tiga ratus ribu rupiah. Saya menjalani ini selama 1 tahun, dan saya masih terus berhadap suatu saat saya dapat bekerja di tempat "cantik" dan bikin saya "banyak uang".

Selama 1 tahun praktik sebagai dokter gigi, saya mengikutin berbagai kursus agar dapat bekerja di tempat praktek bonafit, kursus orthodontik (behel), kurus tambal gigi estetik, kursus pembuatan gigi palsu, dan berbagai kursus demi saya dapat praktek di tempat klinik yang bonafit. Tentu saja ini semua bisa saya lakukan karena faktor masih tinggal sama orangtua.

Tapi lagi-lagi praktik di klinik gigi bonafit itu tidak pernah terjadi, membuat saya sedikit frustasi lalu saya memutuskan untuk sekolah mengambil spesialis.

Saya memilih cabang spesialis kedokteran gigi yang jauh dari kata "cantik", dan sama sekali bukan "lahan basah",  yaitu spesialis penyakit mulut. Spesialis yang jumlahnya di Indonesia, di tahun 2011 itu, tahun dimana saya memutuskan sekolah, tidak lebih dari 100 orang se-Indonesia. Harapan menjadi SDM langka yang dicari orang, sehingga nantinya klinik dan RS akan berlomba-lomba mengrekut saya. 

***

Selain alasan itu ada satu kejadian semasa saya di Nias, yang menjadi awal keputusan saya mengambil spesialis penyakit mulut.

Adalah kasus pasien kakek-kakek dengan massa pada gusi, cukup besar, seingat saya sebesar jempol orang dewasa, memiliki keluhan gigi yang goyang-goyang dan membuat beliau tidak bisa makan dengan nyaman. 

Saya tahu di situ ada massa, kalau saya ingat-ingat sekarang mungkin itu kanker pada gusi. Namun ya namanya juga dokter gigi baru lulus ya, saya ambil pinset lalu saya ambil giginya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun