"Dokter itu ribet, bolak-balik tes ini itu, tetep aja obatnya itu lagi, itu lagi, udahlah mending cari dokter yang gak ribet."
Curhatan seperti itu adalah curhatan yang sering saya dengar baik di antara keluarga saya maupun teman-teman saya, yang bukan tenaga kesehatan. Saya biasanya diam dan tidak berkomentar. Tapi saya kemudian merenung dan memikirkan bagaimana seharusnya dokter bersikap.
Setelah saya mengikuti materi design thingking, disebutkan bahwa kita harus memberikan solusi sesuai dengan permasalahan yang dirasakan oleh masyarakat. Nah, dalam bidang kesehatan, bila keluhan masyarakat adalah dokter yang membuat pasien menjadi ribet, berarti solusinya dalah dokter yang tidak ribet dalam memberikan pengobatan.
Saya setuju dengan analogi ini, tapi saya teringat kejadian beberapa tahun lalu dengan pasien saya. Hari itu saya kedatangan pasien laki-laki berusia kira-kira 40 tahunan. Pasien ini datang dengan tujuan membuat gigi palsu. Ketika saya memeriksa kondisi rongga mulutnya terlihat setengah lebih giginya sudah hilang dan gigi yang tersisa dalam kondisi goyang serta gusi di bagian gigi yang hilang terihat pendek dan landai.Â
Umumnya kondisi gigi yang goyang disebabkan oleh karang gigi, namun pada pasien ini, pada gigi yang masih ada cenderung bersih dan tidak ditemukan karang gigi. Dan gusi yang landai dan pendek pada daerah yang tidak bergigi, umumnya disebabkan oleh gigi di daerah tersebut sudah lama hilang sehingga tulang yang awalnya menopang gigi menjadi resopsi (=mengkerut, mengecil).
Saya langsung berpikir apa yang menyebabkan gigi bapak ini goyang? Dan apakah bapak ini sudah lama kehilangan giginya? Kemudian saya pun mengajukan pertanyaan mengenai apakah sebelumnya gigi yang hilang ini dicabut atau lepas sendiri, kapan giginya terakhir dicabut.
Pasien ini bercerita, sebelumnya belum pernah sekalipun mencabut gigi di dokter gigi sehingga seluruh gigi yang hilang tersebut diakibatkan oleh goyang dan terlepas sendiri, dan proses goyang dan terlepasnya gigi tersebut baru dialaminya sekitar 1-2 tahun belakangan ini.
Jawaban ini membuat saya cukup waspada mengenai kemungkinan pasien ini mengidap diabetes, karena dari gejala pada gigi dan tulang rahang yang dalam jangka waktu singkat sudah resopsi, apalagi pada tanya-jawab lebih lanjut diketahui juga pasien memiliki riwayat diabetes juga dari kedua orang tuanya.
Pembuatan gigi palsu pada pengidap diabetes harus dilakukan dalam kondisi gula darahnya stabil karena gula darah yang tinggi memicu terjadinya resopsi tulang rahang yang akan digunakan sebagai dudukan gigi palsunya, sedangkan pencabutan gigi pada kondisi gula darah yang tinggi akan berisiko terjadinya infeksi pasca pencabutan dan luka pencabutan yang sulit sembuh.Â
Oleh karena itu, pada pasien ini saya memutuskan, daripada saya mengambil risiko terjadi infeksi bila saya mencabut gigi goyang yang tidak dapat saya pertahankan lagi dan membuat gigi palsu yang tidak enak dipakai dan cepat longgar akibat tulang rahang yang terus resopsi akibat kadar gula darahnya yang tinggai, saya memilih untuk merujuk pasien ini untuk melakukan pemeriksaan gula darah dahulu untuk memastikan kadar gula darahnya dan dan bila memang terbukti mengindap diabetes, saya sarankan untuk mengobati diabetesnya dulu baru dibuatkan gigi palsu.
Dengan ini pasien bisa menghemat uangnya karena gigi palsu yang akan dibuat lebih bertahan untuk jangka waktu yang lama, dan dengan diagnosis dini dari penyakit diabetes, maka pasien juga bisa menghemat uang pengobatan, dibandingkan nanti ketahuan diabetesnya ketika sudah parah dan disertai dengan komplikasi ke berbagai organ tubuh lain, seperti jantung dan ginjal. Dengan pengobatan penyakit secara dini juga pasien masih bisa produktif dalam pekerjaannya sehingga tidak ada dampak ekonomi yang akan timbul pada keluarganya.Â
Jadi logikanya saya membantu pasien tersebut bukan? Ternyata memang sesuai dengan yang dikatakan dalam pelajaran design thingking.
Pasien ini tidak mau memeriksakan kadar gula darahnya, dan pindah ke dokter gigi lain yang mau membuatkan gigi palsunya langsung tanpa bertanya ribet dan pemeriksaan lab seperti yang saya lakukan.
Kebutuhan dokter memang harus sejalan dengan kemauan dan kebutuhan masyarakat, kemauan pasar emang mendikte karakter dokter yang ada. Tapi apakah bisa dibenarkan? Menurut saya bukankah dokter yang membuatkan gigi palsu pasien saya itu bukan dokter yang baik, dan tidak memikirkan kondisi pasien secara jangka panjang? Maka saya berpikir, saya lebih baik menjadi dokter yang tidak populer dengan keribetan yang saya buat kepada pasien saya daripada saya mengiyakan apa maunya pasien tapi sebetulnya merugikan pasien.
Bagaimana menurut Anda? Bagaimana dokter yang sebetulnya Anda butuhkan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H