Sakit gigi dan gigi berlubang merupakan kondisi penyakit yang sudah umum dialami oleh berbagai kelompok masyarakat. Mayoritas masyarakat bahkan menganggap sakit gigi dan gigi berlubang sebagai sesuatu yang wajar dan lumrah terjadi.
Hari ini saya menemukan penelitian dari Journal of Dental Research (JDR) yang membuat saya tergelitik untuk saya jadikan artikel di edisi kali ini. Jurnal penelitian ini berjudul Global Economic Impact of Dental Disease. Jadi sama seperti judulnya, penulis meneliti dampak kerugian ekomoni yang ditimbulkan oleh sakit gigi. Menarik bukan? Sakit gigi dan kerugian ekomoni.Â
Menurut hasil dari penelitian ini, biaya pengobatan langsung karena penyakit gigi di seluruh dunia diperkirakan mencapai US $ 298.000.000.000 tahunan, sedangkan biaya tidak langsung akibat penyakit gigi di seluruh dunia sebesar US $ 144.000.000.000 tahunan. Sehingga dalam keterbatasan sumber data yang tersedia, temuan ini menunjukkan bahwa dampak kerugian ekonomi global akibat penyakit gigi sebesar US $ 442.000.000.000 pada tahun 2010.Â
Mahal sekali ternyata kerugian ekomoni yang dihasilkan oleh sakit gigi, tapi saya yakin data dari jurnal ini pun oleh sebagian dari anda dianggap sebagai sesuatu yang lebay.. Okey, mari kita analisa mengapa sakit gigi menjadi segitu berdampak terhadap kerugian ekomomi..
Yang disebut dengan biaya langsung karena penyakit gigi adalah biaya yang dikeluarkan oleh masyarakat akibat sakit gigi, yaitu pembelian koyo, pembelian obat sakit gigi, baik yang dibeli di warung sampai apotik, baru kemudian biaya berobat ke bidan atau dokter umum akibat sakit gigi, baru setelah tidak sembuh baru berobat ke dokter gigi.
Saya pernah memiliki pasien yang dia akan datang setiap 3- 6 bulan sekali sejak tahun 2011 karena sakit gigi untuk gigi yang sama. Setiap pasien ini datang saya melakukan hal yang sama, membersihkan lubang gigi, menambal sementara dan memberikan obat pengurang rasa sakit, dan hal ini saya lakukan terus-menerus sejak tahun 2011, karena ketika saya meminta kembali minggu depannya untuk melanjutkan perawatan yang sudah saya lakukan sebelumnya, bapak ini tidak pernah datang.Â
Sampai kemudian datang kembali ketika merasa sakit lagi di gigi tersebut, dan saya mengulang kembali perawatan membersihkan lubang gigi, menambal sementara dan memberikan obat pengurang rasa sakit. Nah bisa dibayangkan sebenarnya kerugian ekomomi yang dialami bapak ini karena perawatan gigi yang tidak kunjung tuntas selama 5 tahun.
Sedangkan contoh untuk biaya tidak langsung adalah biaya yang ditimbulkan secara tidak langsung akibat sakit gigi, seperti biaya rumah sakit akibat sakit jantung, infeksi paru-paru, dan pengobatan penyakit lain yang  disebabkan oleh kondisi kesehatan mulut yang jelek. Kemudian juga biaya akibat absensi dan produktifitas kerja yang menurun akibat sakit gigi.
Untuk kasus ini juga saya memiliki pengalaman pasien saya yang memiliki riwayat penyakit kulit. Bapak ini sudah bolak-balik ke dokter kulit untuk mengobati sakit kulitnya, dan oleh dokter kulit hanya disarankan ke dokter gigi, dan perbaiki kondisi gigi yang sudah busuk. Namun karena takut ke dokter gigi karena dokter gigi mahal, bapak ini terus mencari second opinion ke dokter kulit lain.Â
Sampai suatu ketika kondisi kulitnya sudah menjadi parah, bapak ini datang ke saya dalam kondisi kulit merah dan bersisik serta bengkak pada tangan dan kaki dan meminta saya untuk mengobati kondisi gigi yang membusuk. Tentu saya tidak dapat mencabut gigi yang busuk dengan kondisi fisik pasien seperti itu, jadi saya hanya memberikan obat kumur dan obat untuk meredakan infeksi terlebih dahulu.Â
Namun apa mau dikata bapak ini merasa sudah merasa enak dan tidak pernah kembali melanjutkan perawatan giginya. Sampai suatu ketika saya mendengar bahwa bapak ini tidak sadarkan diri dan masuk ICU karena infeksi dari giginya sudah menyebar sampai kemana-mana.
Masalah gigi itu terkadang tidak sesimple yang kita bayangkan. Jangan sampai anda ingin menghemat dengan tidak ke dokter gigi, namun sebenernya anda sedang memupuk kerugian ekomoni.
Salam sehat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H