Bertemu dengan teman lama merupakan hal yang sangat menyenangkan. Apalagi kalau teman tersebut sefrekuensi atau menjadi bestie pada masa perjuangan di bangku kuliah belasan tahun lalu. Saat ini, kami sama-sama menjadi guru. Walaupun tahun telah bergulir, ketika berjumpa masih saja banyak cerita mengalir dengan serunya. Ada saja hal yang diceritakan, mulai dari keluarga, cerita masa muda, hingga suka duka mengajar.
 Ada satu cerita teman saya yang hingga saat ini masih terngiang-ngiang di telinga saya. "Duh, siswa sekarang tu tidak mengenal asal-usul tempat tinggalnya lho," keluhnya siang itu. "Masa iya, ketika kutanya tentang asal usul nama Begalon (nama salah satu wilayah di Laweyan, Surakarta) mereka menjawab jika dulunya daerah itu merupakan kampung begal," lanjutnya.
Terperangahlah saya. Masa iya Begalon artinya kampung begal?
Mungkin generalisasi teman saya terhadap kemampuan siswanya tidak terlalu tepat. 'Mungkin saja' tidak hanya siswa yang kurang mengetahui toponimi daerah asalnya. Bisa jadi orang yang lebih tua pun banyak yang tidak mengerti. Itulah hipotesis saya.
Membuka KBBI daring, toponimi adalah cabang onomastika yang menyelidiki nama tempat. Onomastika sendiri merupakan penyelidikan tentang asal-usul, bentuk, dan makna nama diri, terutama nama orang dan tempat.
Menelisik sejarah, Kota Solo dan Yogyakarta memiliki kesamaan toponimi karena sama-sama berasal dari Kerajaan Mataram. Di Kota Solo ini, toponimi wilayah banyak yang dipengaruhi oleh nama tumbuhan, tokoh, hingga jabatan/profesi baik dari Keraton Kasunanan Surakarta maupun Mangkunegaran (Solopos.com, 11/4/2022).
Misalnya saja nama Begalon yang disebutkan teman saya di atas. Wilayah Begalon dulunya merupakan domisili para abdi dalem yang menjadi pengrajin perhiasan berbahan emas dan intan (Tifanto, 2013). Jadi, bukan wilayah begal ya!
Di Solo ini, toponimi berkaitan dengan profesi, masih ada Kauman (pemuka agama), Gemblegan (pengrajin kuningan), Kemasan (pengrajin emas), ataupun Kethandan (pegawai pajak).
Berkaitan dengan domisili prajurit keraton, ada Sorogenen (barak prajurit keraton), Setabelan (barak prajurit stabe/prajurit Mangkunegaran), Tamtaman (barak prajurit tamtaman keraton Surakarta), Mertoluludan (barak prajurit eksekutor mati), Carangan, dan Ksatriyan. Profesi berkaitan dengan pejabat keraton ada Kepatihan, Mangkuyudan, Panularan, dan Mangkubumen (Tifanto, 2013).
Berkaitan dengan nama tumbuhan, kita dapat menjumpai Mojosongo, Kedunglumbu, Kleco, dan Pucangsawit (Solopos.com, 11/4/2022). Berkaitan dengan nama orang, ada wilayah Jebres, Kusumoyudan, Margoyudan, hingga Singopuran.
Apakah contoh toponimi wilayah Solo tersebut hanya yang saya sebutkan di atas? Tentu saja tidak. Masih banyak toponimi di Solo yang belum saya sebutkan. Bisa jadi wilayah yang Anda tinggali memiliki latar belakang sejarah.
Menjadi hal yang menarik apabila kasus yang diceritakan teman saya tersebut direfleksi guru dalam pengambilan bahan ajar. Bahan ajar merupakan bahan atau materi pelajaran yang digunakan guru dan siswa dalam proses pembelajaran (Pannen, 1995). Guru merdeka ialah guru yang memiliki kebebasan dalam mengelola pembelajaran, tak terkecuali dalam pemilihan bahan ajar dan pendekatan pembelajaran--salah satunya integrated learning (pembelajaran terpadu) --. Mata pelajaran bahasa dan sejarah dapat berkolaborasi dengan pendekatan pembelajaran tersebut.
Penghadiran stimulus berupa bahan bacaan dalam pembelajaran bahasa merupakan hal yang wajib ada. Sebagai salah satu sarana berpikir ilmiah, bahasa memiliki ruang lingkup yang luas. Artinya, bahasa selalu hadir sebagai penghela setiap ilmu. Setiap ilmu akan menjadi terang dan jelas jika diungkapkan dengan bahasa. Misalnya saja ilmu matematika yang identik dengan rumus. Jika hanya dihadapkan rumus saja, siswa tentu tidak paham. Akan tetapi, apabila rumus itu dijelaskan dengan bahasa, setiap orang dapat memahami maknanya.
 Demikian pula penghadiran stimulus sejarah dalam mata pelajaran bahasa. Hal tersebut sah-sah saja dilakukan. Tentunya guru perlu mempertimbangkan keterkaitan stimulus tersebut dengan materi ajar yang dapat diintegrasikan. Contohnya saja materi teks laporan hasil observasi di kelas X.
Diksi observasi ini bukan hanya milik ilmu sains bukan? Toh banyak penelitian sosial dan humaniora yang menggunakan metode observasi dalam pengumpulan data.
Penggunaan stimulus berupa toponimi wilayah Solo ini akan sangat menarik karena saat ini siswa telah dizonasikan. Dengan demikian, guru dapat menghadirkan stimulus berupa toponimi wilayah yang didiami siswa. Misalnya saja wilayah Banjarsari, tempat saya mengajar.
Banjarsari dulunya merupakan wilayah kotaraja dari Kadipaten Praja Mangkunegaran. Di kecamatan yang terdiri atas 15 kelurahan ini, banyak toponimi yang berlatar sejarah. Dari nama kelurahan saja sudah tecermin potret sejarah yang terkandung. Sebut saja kelurahan Timuran, Keprabon, Ketelan, Punggawan, Kestalan, Setabelan, Gilingan, Nusukan, Kadipiro, Banyuanyar, Sumber, Manahan, Mangkubumen, Banjarsari, dan Joglo (https://surakartakota.bps.go.id/).
Sebagai contoh, guru dapat menghadirkan stimulus berkaitan dengan toponimi wilayah Gilingan. Melalui penghadiran stimulus tersebut, para siswa diajak untuk mengenal daerah yang mereka diami dari sudut pandang sejarah dan sisa-sisa peninggalan sejarah yang masih ada.
Guru dapat menghadirkan stimulus berkaitan bagaimana wilayah Gilingan tersebut pada masa lalu. Dari nama tersebut, jelas tergambar toponimi berkaitan dengan sentra penggilingan bahan pangan. Apa saja komoditas yang digiling? Di mana lokasi penggilingan tersebut? Masih adakah sisa peninggalan sejarahnya? Bagaimana keadaan sosial masyarakat di sentra penggilingan tersebut? Bagaimana pengaruh Kadipaten Mangkunegaran terhadap pengelolaan wilayah tersebut? Tentu saja masih banyak pengetahuan yang akan didapatkan siswa berkaitan dengan toponimi wilayah yang dijadikan stimulus.
Selanjutnya, proses integrated learning dilakukan dengan memberi penugasan proyek berupa observasi berkaitan dengan toponimi wilayah yang ditinggalinya. Yang dekat-dekat dengan tempat tinggal mereka saja. Toh, setiap wilayah di Solo ini pasti memiliki toponimi yang unik.
Untuk mendapatkan data, tentunya mereka harus melakukan observasi, wawancara, dan studi pustaka. Sebuah proses ilmiah kan? Tentunya guru bahasa dapat berkolaborasi dengan guru sejarah berkaitan dengan proyek tersebut guna memperkuat pemahaman siswa berkaitan dengan penelitian sejarah.
Hal yang lebih menarik lagi apabila toponimi yang dibelajarkan berkaitan dengan tokoh. Â Guru Bahasa Indonesia dapat membelajarkannya pada materi teks biografi di kelas X. Siswa dibelajarkan untuk mengenal tokoh-tokoh lokal yang berkontribusi terhadap perkembangan Kota Solo ini pada masa lampau. Misalnya saja dari toponimi Kusumoyudan, siswa akan dibelajarkan mengenai siapa tokoh Kusumoyudo? Apa jasanya? Mengapa namanya dijadikan toponimi di Solo? Apa saja jejak sejarah yang masih tersisa darinya?
Selain membelajarkan biografi tokoh tersebut, guru juga bisa menginternalisasi dimensi-dimensi dari profil pelajar Pancasila melalui penggunaan stimulus toponimi tersebut. Melalui karakter tokoh dan nilai yang dapat ditiru darinya, internalisasi ini dapat dilangsungkan. Penanaman atau internalisasi ini dapat dilakukan melalui berbagai hal, termasuk karya sastra lokal, misalnya Kaba dari Sumatera Barat (Kompas, 20/11/2022). Hal tersebut tentunya berlaku pula pada toponimi berdasarkan tokoh lokal, kan?
Dari pembelajaran berkaitan dengan toponimi wilayah tersebut, siswa akan didekatkan dengan hal yang ada di sekitarnya. Pembelajaran tidak lagi ada 'di awang-awang'. Mereka dapat belajar dari sejarah yang 'mungkin' tidak disadari telah hadir dalam lingkungan keseharian mereka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI