Mohon tunggu...
Widyastuti Lintang Sari
Widyastuti Lintang Sari Mohon Tunggu... -

Duduk di bangku SMA kelas XI IPS di sebuah SMA bernama SMA N 1 Teladan Yogyakarta. Belajar untuk menjadi lebih hidup dengan menulis.widysaaja.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

"Negeri 5 Menara" sebagai Refleksi Metode Pendidikan di Pesantren Madani

14 Maret 2012   13:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:03 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia dengan jumlah penduduk muslim terbesar didunia memiliki banyak lembaga pendidikan agama salah satunya yaitu pesantren. Namun, sangat disayangkan belakangan ini pesantren mendapat image negative terutama dari pemberitaan media massa yang mengabarkan bahwa pesantren adalah tempat pendidikan yang menghasilkan para teroris dan perilaku kekerasan lainnya. Dan hal ini sangat mengkhawatirkan karena jika dibiarkan begitu saja akan banyak pesantren-pesantren yang kompeten dan benar menjadi dirugikan.

Film Negeri 5 Menara yang diadaptasi dari novel negeri 5 Menara oleh A.Fuadi sendiri menceritakan kehidupan Alif yang  terpaksa untuk melanjutkan sekolah di Pesantren Madani.  Kehidupan Alif di Pondok Madani diawali  hari yang bersejarah, hari dimana ustad Salman mengajarkan mantra ajaib bagi santri baru Pesantren Madani. Metode pelajaran hari pertama yang bisa ditiru oleh lembaga pendidikan lainnya, biasanya hari pertama sekolah ada pembinaan tentang pengenalan sekolah, tapi justru kegiatan itu kurang menarik bagi siswa. Sedangkan di PM singkatan dari Pesantren Madani pengenalan tentang sekolah itu adalah pemberian suntikan semangat kesungguhan, Mantra man jadda wa jada yang berarti siapa yang bersungguh-sungguh maka ia akan berhasil. Dan kesungguhan itulah yang akan membawa mereka hingga lulus dari PM.  Dan Film Negeri 5 Menara yang disutradari Affandi Abdul Rachman menurut saya berhasil membuat emosi penonton ikut bergejolak saat ustad Salman dan para santri meneriakkan Man Jadda wa Jada..Man Jadda wa jada.

Singkat cerita, Alif bertemu dan menjalin persahabatan dengan ke-4 temannya, Said,Baso,Atang, dan Dulmajid. Diceritakan juga bagaimana kedisiplinan dijunjung tinggi dalam Pesantren Madani. Sanksi yang diberikan bagi pelaku indisipliner di pesantren itu juga bisa dicontoh oleh lembaga pendidikan lain, sanksi yang diberikan tidak pandang bulu,langsung, dan bisa membikin jera. Seperti sanksi yang didapatkan Sahibul Menara - berarti pemilik menara yaitu Alif,Said,Baso,Atang dan Dulmajid- karena mereka terlambat yaitu mendapatkan jeweran keras dari Tyson.

Hal menarik yang ingin saya ceritakan lagi adalah saat pidato Kyai Rais yang mengajarkan para santri untuk menjadi orang besar. Orang besar yang dimaksud Kyai Rais bukanlah orang yang menjadi menteri, ketua partai politik, ketua ormas melainkan adalah mereka yang keluar dari Pesantren Madani yang membagikan ilmunya kepada masyarakat, mereka adalah orang-orang yang mengabdi kepada masyarakat.

Sebenarnya masih banyak metode yang bisa diambil dan diaplikasikan di lembaga pendidikan lain dari Pesantren Madani. Dan film ini bisa dikatakan membuktikan bahwa di Pesantren belajar agama itu tidak hanya mengenai pelajaran tentang menghapal Al-Qur`an dan hadist tapi bagaimana ajaran Islam sebagai Rahmatan Lil Alamin mampu dipraktekkan disetiap segi kehidupan. Karena ajaran Islam yang sempurna tidak akan berarti apa-apa jika hanya dipelajari tanpa diamalkan. Begitu pula dengan ilmu-ilmu lainnya yang tidak akan bermanfaat tanpa diamalkan.

Sedikit catatan dari saya mengenai kekurangan film ini karena pastilah tidak ada film yang seratus persen sempurna. Mungkin, bagi yang sudah pernah membaca novel akan lebih mudah memahami jalan ceritanya terutama alasan Alif untuk tetap bertahan di Pesantren Madani, namun ada beberapa yang belum membaca novel ini masih kebingungan dan bertanya-tanya. Selain itu, pemain untuk Sahibul Menara saat dewasa menurut saya kurang tepat, mungkin karena kurang kemiripan antara Sahibul Menara saat masih di PM dan saat sudah dewasa.

Akhir kata, menurut saya film ini sangat dilayak ditonton oleh masyarakat Indonesia terutama insan pendidikan. Karena banyak metode pendidikan yang patut dijadikan contoh bagi lembaga pendidikan lain terutama sekolah sebagai pendidikan moral. Semoga dengan tayangnya film ini membangkitkan gairah pendidikan Indonesia yang sedang diliputi banyak masalah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun