"PPPLAAAKKK!!!" suara tangan yang menempel keras pada pipiku.
Ibu menampar pipiku keras, di hadapan adik laki-lakiku, juga dia, ayah tiriku.
"Demi Allah, Bu. Lina enggak bohong. Ayah hampir memperkosa Lina!"
Aku terus berusaha membuat ibu percaya, meskipun sebenarnya tidak akan pernah mungkin. Iya, ayah begitu pandai menutupi kelakuan buruknya. Bahkan berapa kali dengan mata kepalaku sendiri aku sering memergoki dia pergi dengan banyak perempuan.
Pilihanku merantau sendiri juga sebenarnya menghindari ayah tiriku, berusaha melarikan diri dari seluruh kebencian. Di negara ini setidaknya aku lebih memiliki ketengan dengan berbagai macam rutinitas setiap harinya. Namun sayangnya, sekali lagi Allah mempercayakan atas ujian yang Dia berikan, hasil kerjaku selama empat tahun di negara ini habis tak tersisa. Ke mana? Dihabiskan ayah tiriku berjudi. Bahkan sempat dan hampir menjual rumah satu-satunya tempat tinggal ibu.
Sejak saat itu aku tak pernah ingin pulang, atau lebih tepatnya biar saja kuhabiskan sisa tuaku di negara ini, tanpa sanak saudara. Tak mengapa asal aku bisa merasakan tersenyum setiap harinya, meski hanya dengan para orang tua yang aku rawat di Panti Jompo. Tapi karena menanggung malu dengan seluruh keluarga, ibu diam-diam pergi dari rumah. Membawa habis seluruh properti yang ada di rumah, juga beberapa motor yang aku punya di kampung.
Awalnya aku berpikir entah seminggu atau dua minggu ibu pasti pulang, namun sudah setahun ini dia tak juga pulang. Lalu siapa yang salah jika sudah begini? Aku tidak tahu, yang jelas kepergiannya meninggalkan banyak hutang dari ayah tiriku, dan mau tidak mau akulah yang harus menyelesaikan pembayaran hutang-hutangnya.
"Lina!" panggil mbak Herlin kembali memecahkan lamunanku.
Secepat kilat kuhapus basah di pipiku, menengok tubuh mbak Herlin yang duduk di sampingku.
"Kenapa?" tanya dia lembut.
"Mbak, sabar itu ada batasnya enggak sih?" aku bertanya dengan tatap mata tajam.