Oleh: Widuri Melati
Ada satu hal yang tidak begitu banyak orang paham, tentang bagaimana caranya tersenyum meskipun sebenarnya tengah dirundung tangis. Memang kehidupan ini tidak akan pernah lepas dari yang namanya ujian. Iya, sekuat bahkan sehebat apa pun kita berusaha terlihat tidak apa-apa, nyatanya mata tetaplah menjadi jendela jawaban sebenarnya.
Seperti kisah seorang wanita yang hidup penuh luka nan perih, bayang-bayang kelam yang mencekam. Pengkhianatan demi pengkhianatan yang tak pernah terlupakan. Membuat dirinya enggan lagi menaruh harap pada seorang lelaki. Jatuh bangunnya hidup, perihnya hinaan demi hinaan, tidak menjadikan dirinya lemah dan menyerah.
Bekerja adalah tujuan utama untuk memperbaiki perekonomian keluarga, menjadi ibu tunggal tidak begitu mudah. Saat anaknya sering bertanya tentang seorang bapak. Tentang bagaimana dia harus menjelaskan bahwa bapaknya adalah orang yang telah membuat ibunya jatuh bangun menghadapi dunia ini. Dia tidak pernah sama sekali menanggalkan air matanya di hadapan banyak orang, meskipun aku tahu sekali lukanya masih belum mengering sama sekali.
Kini anak yang dia besarkan sudah tumbuh menjadi gadis nan cantik, dengan senyum tipis yang mempermanis bibirnya. Betapa bangganya dia memiliki anak gadis yang penurut. Begitu sangat menghargai setiap keringat yang orang tuanya kerjakan. Tidak peduli sudah berapa puluh tahun dia harus berada jauh dari anak gadisnya itu.
"Mbak, apa kabar?" tanyaku padanya, mbak Herlin.
Umurnya sudah masuk 36 tahun. Namun mbak Herlin masih tampak muda dengan tubuh mungilnya. Dia adalah perempuan paling ramah yang aku kenal. Dengan kecerdasan yang mungkin jarang dimiliki seorang perempuan pekerja luar negeri.
Dari mbak Herlin aku belajar menata diri, belajar menjadi wanita yang kuat. Tidak peduli seberapa hebat cobaan dan sakit yang melekat kuat, katanya hidup ini hanya sekali, begitu pun dengan segala ujian yang kita rasakan saat ini.
"Kabar baik, Lina. Kamu sendiri bagaimana?" mbak Herlin balik bertanya dengan senyum merekah indah.
"Iya begitu, Mbak. Bagaimana kabar anak mbak?"
Mbak Herlin memalingkan wajahnya ke arah patung besi di ujung dalam gedung stasiun kereta api. Lalu kembali memandang wajahku dengan tajam namun masih tetap merebahkan senyuman santun.
"Sekar sekarang sudah diterima bekerja, Lina!" jawabnya seraya mengelus lutut kakiku.