Mohon tunggu...
Widi Jatmiko
Widi Jatmiko Mohon Tunggu... -

gemar tulis-menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Catatan Harianku: Senyum Itu (Lebih dari Sekadar) Ibadah

15 September 2016   19:17 Diperbarui: 16 September 2016   11:43 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siang hari yang cukup cerah, aku sedang berbincang-bincang dengan kakak ipar di teras rumah. Seperti biasa kita membahas berita terkini yang termuat di media cetak. Yang paling sering kita bahas tentang permasalahan hukum dan politik. Setiap pembahasan itu pasti kita akan tertawa bersama karena pasti menemukan sesuatu yang lucu. Seperti seorang terpidana mengajukan banding ke Mahkamah Agung (MA) dengan harapan vonis hakim menjadi  lebih ringan. Namun, ternyata harapan tidak sesuai dengan vonis di MA. Justru Si Terdakwa mendapatkan hukuman tambahan, yang menurut hakim yang mengadili perkara tersebut memberikan contoh buruk kepada mahasiswa. Kebetulan Si Terpidana adalah seorang guru besar. Kasihan Si Terpidana tersebut, hehehe..

Di sela berbincang-bincang tadi, aku membuka e-mail melalui ponsel pintarku yang kelas menengah. Ada pemberitahuan satu pesan yang masuk. Langsung saja aku buka, dan isinya surat panggilan untuk calon fasilitator selama dua minggu di sebuah hotel di kota Mataram. Ada yang cukup menarik dari Isi surat panggilan tersebut, yaitu akan ada biaya pengganti untuk transportasi, baik darat, laut dan udara, tetapi biaya penggantian terbatas untuk rute terdekat. Aku sedikit bimbang dengan surat panggilan itu pada pada frase “…biaya penggantian untuk rute terdekat”. Misalkan lewat jalur transportasi udara; posisi rumahku di Kabupaten Jembrana dengan jarak bandara di kota Denpasar yang relatif jauh sekitar 133 km, sedangkan bandara terdekat berada di kota Banyuwangi-Jawa Timur dengan jarak sekitar 40 km. Jika naik pesawat dari bandara di Banyuwangi, tidak ada rute pesawat langsung menuju kota Mataram. Harus transit terlebih dahulu ke kota Surabaya sebelum terbang ke bandara di kota Mataram.

Kekhawatiranku itu dimungkinkan biaya penggantian transportasi hanya untuk rute Surabaya-Mataram bolak-balik, sedangkan rute Banyuwangi-Surabaya ditanggung sendiri karena dari Banyuwangi ke Surabaya justru mengarah menjauh jika acuannya kota Mataram. Sedangkan jika memaksa untuk terbang melalui bandara di Denpasar, jarak cukup tanggung. Karena itu sama dengan lima per delapan jarak tempuh perjalanan ke Mataram. Untuk itu, memilih jalur transportasi udara bukan pilihan terbaik untuk saat ini. Mengingat sesuai ketentuan biaya penggantian transportasi hanya rute terdekat, terpaksa aku naik motor saja menuju Mataram lewat jalur  darat dan laut. Sekaligus menjadi bikepacker ‘dadakan’ untuk rute sejauh 250 km menurut versi peta online. Besok pagi harinya, dengan membaca “Basmalah”, sambil berpamitan kepada kedua orang tuaku, aku berangkat menuju kota Mataram.

Awalnya, sebelum menuju lokasi tempat berlangsungnya pelatihan, aku menginap selama satu hari di salah satu homestay di dekat pusat kota Mataram. besoknya, tepat jam 11 siang sebelum checkout, aku keluar untuk membeli alat dan bahan mandi di toko waralaba yang berada di jalan poros kota Mataram. Saat memarkir sepeda motor, aku menatap ke atas di sisi timur. Terpampang cukup jelas ucapan selamat datang peserta pelatihan di lokasi ini dengan waktu dan tempat disebutkan. Namun aku sempat ragu,“apakah benar di sini lokasi pelatihan? Tapi kok di depan stand toko waralaba?” pertanyaanku dalam batin. Lalu aku masuk saja dan segera memilih alat dan bahan mandi di toko waralaba tersebut dan langsung menuju kasir untuk membayarnya.

Sambil membayar aku langsung bertanya kepada si kasir toko, “maaf Mbak, apakah di sini lokasi pelatihan yang sesuai dengan banner di pasang di sebelah sana?” sambil jari telunjukku mengarah ke sisi timur.

Dijawab oleh Si Kasir, “Iya Pak, benar di sini tempatnya”.

“Terus untuk parkirnya apa di depan sana juga, Mbak?” Tanyaku lagi.

“Bukan Pak, parkir di dalam, lewat depan hotel. Parkir yang sana itu tempat khusus karaoke. Kalau di sini, toko kami sewa tempat saja.”, pungkas si kasir tersebut dengan ramah.

“Oh, iya. Terima kasih Mbak, infonya”, kataku.

Aku langsung bergegas keluar dan bersiap balik ke homestay untuk secepatnya checkout, dengan mengendarai sepeda motor yang masih parkir tepat di depan toko waralaba itu. Sempat menoleh kanan-kiri, “kenapa tidak ada tukang parkir? Biasanya di tempat keramaian dimanapun, selalu ada tukang parkir. Wah, ya sudah saya tinggal saja kalau begitu!”, batinku. Padahal aku selalu menyediakan uang koin di tas kecilku. Sampai di homestay, segera berkemas, dan secepatnya juga menuju hotel tempat pelatihan calon fasilitator itu.

Pelatihan calon fasilitator ini adalah program dari pemerintah pusat dengan melibatkan antar instansi pemerintah pusat, daerah, dan swasta, serta masyarakat. Program ini bertujuan untuk penyediaan infrastruktur air minum yang layak dan kesehatan lingkungan yang fokus pada perubahan perilaku masyarakat untuk tidak buang air besar sembarangan. Selama dua minggu, peserta akan dibekali berbagai materi dengan sistem pendidikan orang dewasa, dengan mengutamakan focus group discussion dan simulasi untuk tiap-tiap materi.

Tahap awal peserta diarahkan mendaftar ke panitia untuk kelengkapan administrasi sebelum berlangsungnya pelatihan. Untuk agenda di hari pertama, acara berupa seremoni pembukaan pelatihan calon fasilitator program pemberdayaan masyarakat. Di hari kedua, pengenalan program dengan berbagi istilah dan singkatan-singkatan yang pada saat itu sering bertanya ke peserta lain, karena aku termasuk salah satu peserta yang baru mengenal dan mengikuti program ini, seperti: apa itu reservoir?, apa singkatan dari DC?, apa singkatan AMPL?, dan seterusnya. Sementara belum banyak peserta lain yang aku kenal, biasanya aku mencoba untuk ramah dan supel kepada semua, dengan menyapa Pak, Bu, Mbak, Bang. Sampai saat ini aku masih banyak yang belum tahu nama asli mereka, meski mereka tahu namaku yang sering dipanggil, “Mas Widi”, tetapi aku merasa seperti sudah mengenal lama dengan teman-teman yang baru ini. 

Sempat salah seorang peserta pelatihan mengatakan “Wih, Mas Widi ini murah senyum, berwibawa lagi dengan memakai jas hitam dan  kemeja putih pola garis-bulat”. Aku hanya senyum saja dan bilang “Ah, biasa saja kok”. Lalu kita berbincang-bincang mengena asal-usul daerah, lanjut membahas materi selanjutnya, serta pengalaman kerja di pemberdayaan masyarakat.

Pada hari ketiga ini, sekitar 35 orang masuk ruangan yang sudah ditentukan panitia untuk materi mengenai fasilitator, yang meliputi meliputi pengertian, prinsip, dan sikap yang diperlukan. Mengenai pengertian dan prinsip, secara umum dijelaskan oleh pemandu, dan ditambah membaca teks pedoman umum tentang program tersebut sudah dapat dipahami. Untuk sikap yang diperlukan oleh seorang fasilitator, pemandu membentuk 5 kelompok, tiap-tiap kelompok yang berisikan 7 peserta, kemudian dibagikan kertas berwarna merah muda dan biru.

Berdasarkan instruksi pemandu, kertas warna merah muda untuk satu kata sifat pribadi, dan kertas berwarna untuk sifat bertolak belakang dengan diri sendiri. Semua peserta segera menulis dikertas tersebut, kemudian ditempel di dinding. Sebelah kiri untuk kertas merah muda, dan sebelah  kanan untuk kertas berwarna biru. Dari hasil ini diketahui pada kertas merah muda: individual, penurut, pemalu, dan sebagainya; pada kertas biru: supel, murah senyum, percaya diri, dan seterusnya. Ending-nya, oleh Si Pemandu menjelaskan untuk kertas merah muda menunjukkan sifat pribadi seseorang, sedangkan kertas biru menunjukkan sifat yang harus diperlukan oleh seorang fasilitator.

Jadi, murah senyum pun menjadi tuntutan bagi profesionalisme dalam bekerja, khususnya untuk profesi fasilitator. Maka selain “senyum itu ibadah”, kata orang bijak, murah senyum -dalam hal ini-, jika dikaitkan dengan profesi yang berhubungan dengan banyak orang, sekali pun orang lain yang belum dikenal, tidak akan canggung untuk menyapa kita terlebih dahulu. Selain itu, orang lain akan mudah menerima kita untuk sekadar obrolan ‘ringan’ karena sudah terbukti saat pelatihan bersama peserta lain, aku dapat dengan mudah mengenal dan akrab.

Di sisi lain, fasilitator yang berfungsi sebagai orang pertama yang ‘bersentuhan’ langsung dengan masyarakat, diharuskan untuk murah senyum, karena ini salah satu bagian dari sikap yang diperlukan saat bekerja. Efek domino, kemungkinan besar fasilitator lancar untuk pelaksanaan program terkait penyediaan infrastruktur air minum dan kesehatan lingkungan di masyarakat, mudah menggerakkan masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat dengan tidak buang air besar sembarangan, dan paling penting mendapatkan penghasilan dan pengalaman selama bekerja di bidang pemberdayaan. 

Seperti itu.. (meminjam kalimat pendek yang sering diucapkan oleh penyanyi paling populer se-Indonesia, Syahrini, hehehe..)

 

Bali, 15 September 2016

Widi Jatmiko

FB: https://m.facebook.com/widdot99

Twitter: https://mobile.twitter.com/widot9

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun