Tahap awal peserta diarahkan mendaftar ke panitia untuk kelengkapan administrasi sebelum berlangsungnya pelatihan. Untuk agenda di hari pertama, acara berupa seremoni pembukaan pelatihan calon fasilitator program pemberdayaan masyarakat. Di hari kedua, pengenalan program dengan berbagi istilah dan singkatan-singkatan yang pada saat itu sering bertanya ke peserta lain, karena aku termasuk salah satu peserta yang baru mengenal dan mengikuti program ini, seperti: apa itu reservoir?, apa singkatan dari DC?, apa singkatan AMPL?, dan seterusnya. Sementara belum banyak peserta lain yang aku kenal, biasanya aku mencoba untuk ramah dan supel kepada semua, dengan menyapa Pak, Bu, Mbak, Bang. Sampai saat ini aku masih banyak yang belum tahu nama asli mereka, meski mereka tahu namaku yang sering dipanggil, “Mas Widi”, tetapi aku merasa seperti sudah mengenal lama dengan teman-teman yang baru ini.
Sempat salah seorang peserta pelatihan mengatakan “Wih, Mas Widi ini murah senyum, berwibawa lagi dengan memakai jas hitam dan kemeja putih pola garis-bulat”. Aku hanya senyum saja dan bilang “Ah, biasa saja kok”. Lalu kita berbincang-bincang mengena asal-usul daerah, lanjut membahas materi selanjutnya, serta pengalaman kerja di pemberdayaan masyarakat.
Pada hari ketiga ini, sekitar 35 orang masuk ruangan yang sudah ditentukan panitia untuk materi mengenai fasilitator, yang meliputi meliputi pengertian, prinsip, dan sikap yang diperlukan. Mengenai pengertian dan prinsip, secara umum dijelaskan oleh pemandu, dan ditambah membaca teks pedoman umum tentang program tersebut sudah dapat dipahami. Untuk sikap yang diperlukan oleh seorang fasilitator, pemandu membentuk 5 kelompok, tiap-tiap kelompok yang berisikan 7 peserta, kemudian dibagikan kertas berwarna merah muda dan biru.
Berdasarkan instruksi pemandu, kertas warna merah muda untuk satu kata sifat pribadi, dan kertas berwarna untuk sifat bertolak belakang dengan diri sendiri. Semua peserta segera menulis dikertas tersebut, kemudian ditempel di dinding. Sebelah kiri untuk kertas merah muda, dan sebelah kanan untuk kertas berwarna biru. Dari hasil ini diketahui pada kertas merah muda: individual, penurut, pemalu, dan sebagainya; pada kertas biru: supel, murah senyum, percaya diri, dan seterusnya. Ending-nya, oleh Si Pemandu menjelaskan untuk kertas merah muda menunjukkan sifat pribadi seseorang, sedangkan kertas biru menunjukkan sifat yang harus diperlukan oleh seorang fasilitator.
Jadi, murah senyum pun menjadi tuntutan bagi profesionalisme dalam bekerja, khususnya untuk profesi fasilitator. Maka selain “senyum itu ibadah”, kata orang bijak, murah senyum -dalam hal ini-, jika dikaitkan dengan profesi yang berhubungan dengan banyak orang, sekali pun orang lain yang belum dikenal, tidak akan canggung untuk menyapa kita terlebih dahulu. Selain itu, orang lain akan mudah menerima kita untuk sekadar obrolan ‘ringan’ karena sudah terbukti saat pelatihan bersama peserta lain, aku dapat dengan mudah mengenal dan akrab.
Di sisi lain, fasilitator yang berfungsi sebagai orang pertama yang ‘bersentuhan’ langsung dengan masyarakat, diharuskan untuk murah senyum, karena ini salah satu bagian dari sikap yang diperlukan saat bekerja. Efek domino, kemungkinan besar fasilitator lancar untuk pelaksanaan program terkait penyediaan infrastruktur air minum dan kesehatan lingkungan di masyarakat, mudah menggerakkan masyarakat untuk berperilaku hidup bersih dan sehat dengan tidak buang air besar sembarangan, dan paling penting mendapatkan penghasilan dan pengalaman selama bekerja di bidang pemberdayaan.
Seperti itu.. (meminjam kalimat pendek yang sering diucapkan oleh penyanyi paling populer se-Indonesia, Syahrini, hehehe..)
Bali, 15 September 2016
Widi Jatmiko
FB: https://m.facebook.com/widdot99