Berbicara tentang Sri Kandi di lautan saat ini, ingatan kita sepertinya akan langsung tertuju pada Mantan Menteri Kelautan Susi Pudjiastuti yang tersohor dengan jargon 'tenggelamkan' untuk kapal asing yang terbukti mencuri ikan di perairan tanah air.Â
Tetapi tahukah anda jika jauh sebelum Ibu Susi ada juga tokoh wanita yang juga dikenal kehebatannya di perairan nusantara?
Jika anda sedang berjalan-jalan ke Surabaya dan mampir ke Museum Kapal Selam, anda akan mendapati sebuah lukisan wanita yang diabadikan di sana. Sesosok wanita yang menurut penulis layak untuk dikenang pada tanggal 08 dan 09 Maret ini, yakni Hari Perempuan Internasional dan Hari Wanita Indonesia.
Itulah Keumalahayati atau biasa juga disebut dengan Malahayati. Pahlawan Nasional Indonesia yang merupakan Laksamana Wanita Pertama di Nusantara. Dan bahkan menurut Solichin Salam dalam Buku Malahayati Sri Kandi dari Aceh, ia adalah Laksamana dan Panglima Armada Wanita Pertama di dunia modern.
Malahayati hidup pada masa kesultanan Aceh sekitar abad ke 15 atau 16 Masehi. Garis keturunannya bersambung pada Sultan Aceh terdahulu. Ayahnya adalah Laksamana Mahmud Syah. Sang Kakek Malahayati, Laksamana Said Mahmud Syah, adalah putra dari Sultan Aceh Salahuddin Syah yang memerintah kesultanan Aceh sekitar tahun 1530 sampai dengan 1539 Masehi.
Seorang perempuan yang memimpin pasukan apalagi di laut memang sesuatu yang langka. Malahayati bisa menjadi seperti itu bisa dipahami karena Kakek dan Ayahnya ternyata juga seorang Laksamana.
Malahayati mengenyam pendidikan akademi kelautan di Mahad Baitul Maqdis. Mahad Baitul Maqdis adalah sebuah akademi militer darat dan laut yang dibangun kesultanan Aceh bekerjasama dan dengan bantuan dari Turki. Banyak instruktur dan tenaga ahli militer maupun insinyur perkapalan yang didatangkan dari Pemerintah Usmaniyah Turki pada saat itu.
Pada masa pemerintahan Al Mukammil (sekitar tahun 1596-1604) terjadi peperangan hebat antara Armada Aceh dan Portugis. Pada peperangan itu suami Malahayati gugur dalam pertempuran. Ia pun lalu mengajukan permohonan untuk membentuk Armada Aceh yang beranggotakan para janda yang suaminya gugur dalam pertempuran di Teluk Haru.
Permohonan Mahalayati kemudian disetujui sekaligus ia ditunjuk sebagai Laksamananya. Armada tersebut dinamai dengan Inong Bale, yang berarti Armada Wanita Janda. Adapun pangkalannya di Teluk Lamreh Kreung Raya, Pada perkembangannya Armada Inong Bale pimpinan Malahayati tidak hanya beranggotakan para janda, tetapi juga gadis-gadis muda yang berani.
Pada masanya, kekuatan Armada Perang Aceh adalah yang terkuat di Asia Tenggara. John Dawis, nahkoda kapal Belanda berkebangsaan Inggris yang berkunjung ke Aceh pada waktu itu, mengungkapkan bahwa kerajaan Aceh mempunyai sekitar 100 kapal perang.Â
Diantara kapal-kapal itu ada yang bermuatan antara 400 sampai dengan 500 penumpang. Adapun yang menjadi pemimpin adalah Laksamana Wanita, Malahayati.
Salah satu yang akan terus dikenang dari Malahayati adalah keberhasilannya dalam mengalahkan Armada Belanda dan membunuh pimpinannya, Cornelis de Houtman. Cornelis de Houtman ini adalah penjelajah pertama Belanda yang berhasil mendarat di Banten pada tahun 1596 Masehi.
Pada pelayarannya yang kedua ke nusantara, pada tanggal 21 Juni 1599 armada pimpinan de Houtman memasuki pelabuhan Aceh dan disambut dengan wajar sebagaimana kapal dagang dari negara lain.Â
Tetapi pada waktu selanjutnya ternyata mereka mengkhianati kepercayaan Sultan dengan melaksanakan manipulasi dagang, menghasut, mengacau dan sebagainya.Â
Akhirnya Sultan memerintah Armada Inong Bale untuk menyelesaikannya. Cornelis de Houtman tewas dalam peperangan satu lawan satu di geladak kapal melawan Laksamana Malahayati.
Selain sebagai seorang Laksamana, Malahayati juga pernah mengemban tugas-tugas lain seperti Komandan Pasukan Wanita Pengawal Istana, dan juga diplomat. Sebagai Diplomat Mlahayati pernah berunding dengan Laksamana Sir James Lancaster dari Inggris.
Peperangan di Kreung Raya dengan Portugis akhirnya mengakhiri kisah hidup heroik Sang Sri Kandi Laut Nusantara.Â
Jasad Laksamana Malahayati dimakamkan di Lereng Bukit Kota Dalam, sekitar 34 kilo meter dari Kota Banda Aceh. Untuk menghargai jasa besarnya ia dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 6 November 2017.
Selain menjadi Pahlawan Nasional di tanah air, Malahayati juga dikenal di negara luar. Penulis Belanda, Marievan Zuchtelen dalam bukunya yang berjudul Vrouwelijke Admiraal Malahayati menyebut tidak ada seorang wanita pun di dunia ini yang menjadi Panglima Armada seperti Laksamana Malahayati.Â
Di dunia modern, apa yang disampaikan Zuchthelen mungkin benar. Sebagai catatan, dalam abad-abad sebelum masehi pernah ada Laksamana Artemisya, istri dari Raja Mosul di Anatolia sekitar tahun 480 sebelum Masehi.
Begitulah, ditengah serbuan karakter-karakter wanita dari budaya-budaya asing seperti K-Pop dan Wonder Woman, ternyata kita punya sebuah karakter wanita hebat yang real, nyata, dan berjasa.Â
Sebuah karakter yang layak untuk dikenang dan jadi panutan bagi para generasi muda. Semoga ada pihak-pihak yang peduli dan tertarik untuk mengangkat kisahnya. Semoga inspirasinya terus menyala...I]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H