Mohon tunggu...
Widoko
Widoko Mohon Tunggu... Guru - Menyukai semua hal yang inspiratif

Pernah menimba ilmu di Yangzhou University, China

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jika Pilpres Diulang Hari Ini, Masihkah Presiden Jokowi Terpilih Lagi?

12 Oktober 2020   12:10 Diperbarui: 12 Oktober 2020   14:20 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada masa-masa kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 lalu sempat bergulir sebuah gerakan fenomenal: 2019 Ganti Presiden. Gerakan sebagai antitesa dari Jokowi Dua Periode tersebut kala itu memang begitu masif. Pendukungnya pun tidak bisa dibilang sedikit.

Deklarasi dan tagar 2019 Ganti Presiden saat itu bermunculan di mana-mana. Pakaian, aksesoris, banner, spanduk, dan tulisan-tulisan bertebaran di dunia nyata dan maya. Tak hanya di dalam negeri, bahkan hingga beberapa kelompok warga Indonesia di manca negara.  

Tetapi gerakan itu akhirnya pupus setelah hari pencoblosan. Saat dimana Presiden Jokowi kembali terpilih untuk kedua kalinya. Hasil resmi Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyatakan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin menang atas Prabowo-Sandiaga Uno dengan perbandingan suara 55,5 persen melawan 44,5 persen.

Berdasarkan data resmi KPU saat itu Pasangan 01 mendapatkan 85.607.362 suara. Sedang Pasangan 02 mendapatkan 68.650.239 suara (bbc.com, 21 Mei 2019). Atau dengan kata lain pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin unggul 16.957.123 atas Prabowo-Sandiaga Uno.

Menurut Peneliti Lembaga Survei LSI Denny JA, Adrian Sopa, ada tiga kunci pemilih yang menentukan kemenangan Jokowi-Ma'ruf Amin pada waktu itu yakni pemilih minoritas (83,1 persen), pemilih NU (53,8 persen) dan wong cilik (56,4 persen).

Setelah menjabat untuk kali kedua, ada beberapa wacana besar yang ingin dilaksanakan pemerintahan Presiden Jokowi, seperti yang disampaikan pada saat pidato pelantikannya. Program itu diantaranya adalah pembangunan sumber daya manusia, pembangunan infrastruktur, penyederhanaan regulasi, penyederhanaan birokrasi, dan transformasi ekonomi untuk meningkatkan daya saing demi kemakmuran bangsa.

Namun, pemerintahan presiden Jokowi pada Jilid II ini ternyata tidak semulus yang diperkirakan. Pertama tentu saja karena adanya pandemi Covid-19.

Memang hampir semua negara terkena penyebaran virus yang menghebohkan ini dan terkena dampaknya. Tetapi yang menjadi catatan dan harus diperhatikan adalah ketika banyak negara di Asia Tenggara sudah melandai, Indonesia masih menunjukkan puncak-puncak tertinggi.

Gambaran konkrit parahnya Corona di Indonesia bisa dilihat dari pertambahan kasus pada tanggal 11 Oktober 2020. Pada saat Indonesia bertamabah 4.497 kasus dalam sehari, negara lain di Asia Tenggara seperti Kamboja, Laos, dan Brunei Darusalam sudah tidak ada penambahan kasus baru. Vietnam dan Thailand bertambah 2 kasus, Singapura 10 kasus dan Malaysia 561 kasus. Yang masih diatas ribuan, tetapi masih tetap jauh di bawah Indonesia penambahannya adalah Myanmar dengan 1.910 kasus dan Filipina dengan 2.502 kasus.

Menurut ahli Australia yang merupakan Ketua Program Asia Tenggara di Lowy Institute, Ben Bland, Pandemi Covid-19 mengungkap kelemahan pemerintahan presiden Jokowi. Kelemahan itu antara lain tidak menghargai pendapat para pakar kesehatan, tidak mempercayai gerakan sipil dan gagal membangun strategi terpadu.

Setelah Pandemi Covid-19, masalah berikutnya adalah adanya Polemik UU Cipta Kerja. Adanya demo penolakan yang meledak di berbagai kota terhadap UU Cipta Kerja menunjukkan ketidakpuasan masyarakat atas pemerintah dan DPR yang dinilai tidak berpihak kepada para pekerja dan buruh.

Penolakan terhadap UU Cipta Kerja ini tidak hanya demo, tetapi juga pernyataan sikap oleh organisasi. Salah satunya adalah NU, yang notabene merupakan salah satu basis suara kunci kemenangan Presiden Jokowi menurut LSI.

Menghadapi pengesahan UU Cipta Kerja ini NU menyatakan 8 sikap. Salah satu kritik yang cukup keras adalah pada poin yang kedua. "NU menilai melaksanakan pengesahan undang-undang yang menimbulkan resistensi publik di masa pandemi virus corona adalah bentuk praktik kenegaraan yang buruk".

Menurut Ben Bland, adanya Pandemi Covid-19 telah menunjukkan kelemahan pemerintahan Presiden Jokowi. Pengesahan UU Cipta Kerja memunculkan penolakan dari buruh sebagai elemen wong cilik yang merupakan salah satu basis suara kemenangan Presiden Jokowi menurut LSI. Basis suara kemenangan yang lain, NU menilai UU Cipta Kerja ini menunjukkan praktik kenegaraan yang buruk.

Keadaan itu tentu berpotensi mempengaruhi pandangan terhadap Presiden, termasuk konstituennya. Pertanyaan menggelitiknya, jika Pilpres diulang saat ini akankah Presiden Jokowi tetap terpilih kembali?

Jika melihat kondisi sekarang, andai Pilpres diulang dukungan terhadap Presiden Jokowi memang berpotensi menurun. Tetapi dalam waktu yang bersamaan, Sang Rival, Prabowo Subianto juga tidak bisa dinilai memberikan sesuatu yang super luar biasa. 

Survei Charta Politika memang menunjukkan Sang Capres 02 Pilpres 2019 memang salah satu menteri yang dinilai berkinerja terbaik. Tetapi untuk menjadi presiden dibutuhkan bukan sekedar penilaian survei menteri, tetapi sesuatu yang spesial dan kontribusi nyata yang bisa terlihat signifikan secara makro untuk rakyat, bangsa, dan negara.

Selain itu, dari segi konstituen Pilpres 2019 suara Prabowo sepertinya juga tergerus. Salah satu faktor yang mengurangi suara untuk Sang Mantan Danjen Kopasus adalah keputusannya untuk bergabung pemerintah dan menjadi bawahan Presiden Jokowi. 

Hal itu menyebabkan dirinya berada pada level di bawah Sang Rival di Pilpres 2019. Sebetulnya akan lebih gagah jika Sang Ketum Gerindra berada di luar pemerintahan sebagai penyeimbang.

Dengan bergabungnya Prabowo pada pemerintahan yang otomatis diikuti Gerindra menjadi koalisi pemerintah, maka bisa dibilang saat ini posisi Gerindra pada persimpangan. Mengkritik pemerintahan Presiden Jokowi seperti pemerintahan sebelumnya tentu tidak bisa leluasa. Terlalu membela pemerintah juga setengah hati sepertinya.

Dengan kondisi sedemikian rupa maka jika Pilpres 2019 diulang pun hari ini, dengan lawan dan koalisi partai yang sama, sepertinya Presiden Jokowi masih akan keluar sebagai pemenang. Meskipun mungkin persentase suaranya berubah.

Akhirnya, tentu saja hari ini bukanlah saatnya untuk membahas siapa yang menang dalam pilihan, tetapi siapa yang menang di dalam hati rakyatnya. Dan barang siapa bisa melakukannya maka akan ditulis dengan tinta emas dalam sejarah bangsa dan negara Indonesia, walaupun harus gagal memindahkan Ibu Kota karena Corona.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun