Entahlah, dia macak model apa, saya tak paham. Pakaiannya bak pengantin. Ada sayapnya. Tapi ndak bisa terbang.
Nah, di perjalanan menuju start inilah terjadi dialog di antara kami. Saat itu sekira pukul 12.30. Waktu Zuhur telah usai.
Saya lontarkan pertanyaan kepada Zahro.
"Sudah salat Zhuhur, nak?"
"Ya, belum to Yah... Kan sedang dirias. Bagaimana cara salatnya, coba?"
"Nak, jangan sampai gara-gara riasan seperti ini, kamu jadikan alasan untuk meninggalkan salat. Lalu bagaimana nanti tanggung jawab Ayah di hadapan Allah di akhirat kelak. Sebab anaknya sengaja meninggalkan salat?
"Saya tahu itu, Yah. Saya tidak akan sengaja meninggalkan salat. Ya, nanti saya jamak dengan salat Ashar, Yah." begitu katanya.
Mendengar jawaban anak pertama saya ini, saya terasa lega. Ia tahu kewajibannya. Terutama tentang salat. Lebih-lebih ia sudah baligh.
Sengaja saya tidak memberinya argumen lain. Bahwa dalam menjamak salat harus memenuhi persyaratan. Salah satunya perjalanan jauh.
Entah, rias manten, karnaval atau lainnya dibolehkan menjamak salat atau tidak. Saya belum paham soal itu. Harus ditanyakan dulu kepada orang yang lebih tahu.
Semalam, saya mencoba bertanya melalui WhatsApp kepada dua orang yang saya anggap paham soal ini. Orang pertama seorang Kiai, alumni pondok, tentunya. Orang kedua, seorang guru agama. Juga alumni pondok.