Ada berita mengejutkan datang dari Kepolisian terkait penggunaan perangkat audio-visual, baik saat mengendarai sepeda motor maupun menyetir mobil. Tindakan mendengarkan radio atau musik, juga menonton televisi, ditambah lagi merokok, ternyata masuk kategori pelanggaran yang berpotensi membahayakan diri sendiri maupun orang lain, sehingga harus ditindak. Hal ini ditegaskan langsung oleh Kasubdit Gakkum Ditlantas Polda Metro Jaya, AKBP Budiyanto belum lama ini, seperti dimuat oleh laman kompas.com (01/03).
Tiga kebiasaan yang masih sering dilakukan oleh pengendara kendaraan bermotor ini, masih menurut AKBP Budiyanto, merupakan bentuk pelanggaran aturan yang ancaman, dengan ancaman hukuman yang tidak main-main. Selain merokok atau menyalakan perangkat audio-visual ketika kendaraan sedang melaju, tindakan mengoperasikan ponsel dan pengendara yang terpengaruh minuman beralkohol juga berpotensi untuk ditindak oleh petugas karena termasuk pelanggaran UU tentang Lalu Lintas.
"Merokok, mendengarkan radio atau musik atau televisi (untuk pengguna roda empat) melanggar UU Nomor 22 Tahun 2009 Pasal 106 Ayat 1 junto Pasal 283 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Menurut survei yang kami lakukan, merokok, mendengarkan musik, dan kegiatan lain yang termasuk dalam tindakan yang tidak wajar dalam berkendara dapat menurunkan konsentrasi dalam berkendara dan memicu terjadinya kecelakaan lalu lintas," ujar AKBP Budiyanto kepada Kompas.
"Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi. Pada bagian penjelasan tentang pasal itu dikatakan bahwa yang dimaksud dengan penuh konsentrasi adalah setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor dengan penuh perhatian dan tidak terganggu perhatiannya karena sakit, lelah, mengantuk, menggunakan telepon atau menonton televisi atau video yang terpasang di Kendaraan, atau meminum minuman yang mengandung alkohol atau obat-obatan sehingga memengaruhi kemampuan dalam mengemudikan Kendaraan."
Tampaknya kata "penuh konsentrasi"dan "penuh perhatian" menjadi penekanan yang ingin disampaikan oleh pihak kepolisian tentang UU Nomor 22 Tahun 2009 tersebut. Hal yang cukup "gawat" adalah potensi hukuman akibat pelanggaran tersebut. Mengapa? Karena dalam UU yang sama, pada Pasal 283 disebutkan: Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi di jalan dapat dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp 750.000.Wuih!
Nah, seperti biasanya, sejak pernyataan AKBP Budiyanto muncul di media online, beragam komentar pun bermunculan, termasuk di kolom komentar yang menayangkan soal berita tersebut, seperti terlihat pada gambar berikut:
"Mendengarkan musik saat mengemudi bisa mengganggu konsentrasi. Indikasi konsentrasi terganggu yakni ketika pengemudi mulai bersenandung atau mulai mengetuk seperti pemain drum. Saat konsentrasi terganggu, misalnya terbuai oleh musik, sanggup membuat gaya mengemudi berbeda. Masalahnya, kemampuan pengemudi untuk bereaksi atau mengambil keputusan pada kondisi itu bisa melambat. Hal itu membahayakan saat berada di jalan."Â
Juri Puluhubu juga mengatakan, seperti dilansir laman Kompas.com (01/03), bahwa Undang-Undang itu (UU Nomor 22 Tahun 2009) sebenarnya sama seperti di negara-negara lain, tetapi harus dibaca dengan saksama, terutama soal istilah "mengganggu konsentrasi". Maksudnya, mendengarkan musik dinilai Juri tidak salah dan tidak membahayakan, selama pengemudi atau pengendara tidak kehilangan konsentrasi. "Bila maksudnya melarang mendengarkan musik saat mengemudi seharusnya para produsen yang menjual mobil di Indonesia sudah diberi peraturan dilarang menyediakan sistem audio. Upaya melarang pengemudi mendengarkan musik harus diimplementasikan dengan persepsi yang bijak,"imbuh Jusri bermaksud mengritisi kebijakan tersebut.
****
Sekalipun informasi di atas menarik dan sangat diperlukan (minimal supaya kita menjadi tahu, berhati-hati, dan waspada), tetapi sayang sekali karena tampaknya belum ada keterangan bahwa peraturan tersebut apakah akan segera diberlakukan di seluruh Indonesia atau hanya berlaku di DKI Jakarta dan sekitarnya. Sebelum benar-benar diterapkan, mungkin ada baiknya dilakukan pengamatan, pengkajian, juga penelitian lebih mendalam supaya tidak terjadi salah penafsiran terkait "konsentrasi yang terganggu" saat mengemudi, karena (menurut saya) masih cukup absurd.