Izinkan saya mengawali artikel ini dengan pernyataan berikut:
"Jujur saya sudah lama tak menonton sepak bola secara langsung di stadion, tim manapun yang main, termasuk ketika Timnas Indonesia bertanding. Ketika tim Indonesia Selection meladeni Timnas Islandia beberapa waktu lalu, saya hanya nyaris menonton, tetapi pertimbangan masih musim hujan, niat tersebut batal saya laksanakan. Namun, saya hampir selalu mengamati apa yang terjadi dalam persepak bolaan nasional. Berita yang sedang hangat atau sedang viral, biasanya saya tahu. Apa lagi, ketika menyangkut perilaku suporter yang "kampungan" dan bertindak anarkis, biasanya jari-jemari saya langsung gatal untuk mengetik karena TIDAK TAHAN --kata orang, yang seperti ini, tidak boleh dipendam, tetapi disalurkan, supaya tidak edan!"
Selanjutnya, apa yang apa yang muncul di benak Kompasianer saat melihat dua gambar berikut ini, baik Anda yang menonton siaran langsung tayangan pasca final Piala Presiden 2018 lalu, atau melihat gambar-gambarnya yang bermunculan di internet? Kesan jengkel apa yang langsung ingin Anda sampaikan, ketikkan, atau (kalau sempat) divideokan?Â
Laporan dari Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono, seusai meninjau kerusakan Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) Â memperjelas apa saja kerusakan yang terjadi, seperti dilaporkan laman megapolitan.kompas.com (20/02/2018):
Mentalitas Serba Gratisan dan Gemar Merusak
Maafkan saya jika harus memakai dua istilah tersebut untuk  sebagian oknum suporter yang mencoreng muka Indonesia di dunia sepak bola internasional pada laga final Piala Presiden 2018 lalu. Mentalitas serba gratisan saya tujukan bagi mereka yang (mungkin) menganggap pintu yang terbuka (tepatnya: dijebol secara paksa), sebagai berkah dari Yang Kuasa untuk menerobos masuk ke dalam stadion, tanpa perlu membayar tiket. Apakah mereka memang benar-benar tidak mampu membeli tiket, tetapi tak kuasa membendung hasrat untuk menonton langsung dari dalam stadion? Entahlah! Padahal, kalau "ketipisan dompet" menjadi alasannya, panitia juga sudah berbaik hati menyediakan layar lebar di kawasan SUGBK bagi suporter yang tak kebagian tiket, tanpa harus membayar!Â
Orang-orang dengan mentalitas serba gratisan begini agak sukar untuk dinasihati, diarahkan, apalagi ditertibkan. "Pokoknya gratis, akan kami manfaatkan sebaik-baiknya, tak peduli orang lain rugi!" begitu kira-kira slogan yang diusung. Siapa yang pusing? Pihak-pihak yang dirugikan tentunya. Para aparat pun terkadang tak tega kalau mau menertibkan atau terpaksa menggebuk mereka, karena bagaimanapun, mereka juga saudara sebangsa. Kalau sampai digebuk, nanti beritanya bisa langsung viral dengan caption:"Aparat menggebuk rakyat kecil!" Repot juga kalau begini! Namun, yang jelas, solusi harus segera ditemukan bagi orang-orang dengan mentalitas serba gratisan seperti itu.
Sampai kapan perilaku tersebut akan terus berlangsung? Sampai ada kesadaran bahwa perilaku "kampungan" semacam itu tak hanya merugikan orang lain, tetapi juga mempermalukan bangsa Indonesia--mereka yang tidak ikut-ikutan berperilaku negatif pun bisa terkena imbasnya. Jangankan perilaku yang merusak, kita mungkin masih ingat informasi soal bangku tribun di Stadion Jatidiri, Semarang yang disusun dengan jarak sangat mepet dan menyusahkan siapapun yang duduk di situ, sudah cukup membuat malu bangsa kita, sekalipun kita bersyukur akhirnya penyusunan bangku yang terbilang aneh tersebut sudah diperbaiki.Â
Saya tak bermaksud menunjuk salah satu kubu suporter, hanya "kebetulan" kasus yang terakhir melibatkan oknum pendukung dari Persija Jakarta. Namun, sejatinya saya ingin mengajak para suporter dari semua klub di Indonesia untuk merenung. Yuk, belajar bersikap dewasa! Kalau ingin menonton dari dalam stadion, ya bayarlah sesuai harga tiket yang berlaku. Kalau tak punya uang dan ngebet  ingin menonton, pinjam uang saudara atau tetangga dulu, tapi jangan lupa dibayar. Kemudian, kalau sudah menonton, ya menonton sajalah dengan tertib. Tak usah pakai merusak fasilitas umum, apalagi dengan dalih kecewa karena tim yang sampeyan  dukung kebetulan kalah. Terimalah logika waras bahwa dalam pertandingan, soal menang-kalah adalah hal yang biasa terjadi-bermain games sepak bola di PlayStation saja bisa kalah!Â
Mari sama-sama kita jaga martabat bangsa, dengan belajar tertib, menaati peraturan, dan jauhkan perilaku anarkis dan merugikan orang lain, supaya generasi penerus kita tidak melihat, lalu menirunya dengan lebih agresif dan ganas. Hal yang tentunya tak ingin kita saksikan bersama, karena akan sangat mencoreng citra negeri ini di dunia internasional.Â
Sekali lagi ... para suporter, bersikaplah dewasa!
Jangan lagi kampungan!
Buatlah negara ini bangga dengan hal-hal positif!
Saya yakin kita bisa!
Bravo sepak bola Indonesia!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H