Mohon tunggu...
Widodo Surya Putra (Mas Ido)
Widodo Surya Putra (Mas Ido) Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Arek Suroboyo | Redaktur renungan kristiani | Penggemar makanan Suroboyoan, sate Madura, dan sego Padang |Basketball Lovers & Fans Man United | IG @Widodo Suryaputra

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

"Wasit, Oh Wasit!"

16 Oktober 2017   15:48 Diperbarui: 16 Oktober 2017   15:59 1915
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wasit asal Iran Hasan Akrami saat memimpin pertandingan (Madura Utd)

Ingatlah bahwa wasit juga sesama manusia, yang juga sama-sama "mencari makan" di lapangan hijau dengan tugasnya sebagai pengadil. Tugas yang (menurut saya) tak seberat para pemain, karena harus "mengadili" 22 manusia yang sedang bertanding, plus menghadapi potensi ketidakpuasan karena dianggap merugikan salah satu atau kedua tim yang bertanding. 

Repotnya, ketika wasit sudah bertugas dengan baik dan tegas, lantas membuat keputusan yang "dianggap" salah satu tim yang bertanding, protes keras langsung dilayangkan, terkadang tanpa mempedulikan (menganalisis) apakah si pemain bersalah atau tidak. "Pokoknya kalau tim saya rugi, ya wasit harus diprotes," komentar begini terkadang masih muncul juga, pertanda ada ketidakpuasan..

Masih mending  jika ketidakpuasan itu hanya disampaikan secara verbal, setelah pertandingan usai, atau melalui pengajuan protes tertulis kepada induk sepak bola Indonesia yang lantas akan menindaklanjutinya. Namun, ketidakpuasa jika disampaikan secara "langsung" tentu akan memperberat kinerja wasit yang sedang bertugas. Kita pun nampaknya masih akrab dengan aksi protes dengan mengerubungi wasit, menunjuk-nunjuk muka wasit, melolot ke arah wasit hingga mata hampir keluar, dan yang paling ngawur  dengan melakukan kekerasan fisik berupa pemukulan, menendang, hingga mencekik wasit!

Para pelaku kompetisi sepak bola di Tanah Air seolah tak belajar dari liga profesional di Eropa yang setiap pekan disiarkan secara langsung. Lihatlah bagaimana para pemain sepak bola di Eropa, yang sekalipun kesal, tetapi berusaha tetap menghormati dan menghargai wasit. Protes yang dianggap terlalu keras atau berlebihan di mata wasit, bsia dikenai hukuman kartu kuning. Kita pun masih ingat beberapa waktu lalu ketika wasit "mengusir" Jose Mourinho dengan sekali acungan kartu merah, hanya karena pelatih Manchester United itu kedapatan melangkah di luar kotak yang ditentukan untuk seorang pelatih atau manajer tim.

Tentu hal ini tak dapat dipukul rata juga, karena sesekali ada pula reaksi yang berlebihan dari para pemain terhadap wasit. Komentar pedas juga tak jarang muncul saat sesi konferensi pers akibat ketidakpuasan pelatih. Jika kebetulan komentar itu dianggap berlebihan, denda cukup besar pun berpotensi diganjarkan kepada sang pelatih. Namun, secara umum, kualitas penghormatan mereka terhadap sosok pengadil itu sudah jauh lebih bagus, dibandingkan dengan yang ada di negeri kita. 

Jadi, kira-kira kapan para pelatih di kompetisi Tanah Air bisa berhenti mengeluhkan kinerja wasit? Sampai kapan para pemain bisa lebih menghormati wasit, sekalipun membuat keputusan yang kurang menguntungkan? Mungkin sampai budaya menghormati wasit ditunjang dengan ketegasan dari pihak yang berotoritas untuk menindak tegas setiap perlakuan berlebihan terhadap wasit. Hal ini juga termasuk ketegasan memberi peringatan dan sanksi ketika wasit tak bertindak secara adil saat memimpin pertandingan. 

Lagipula, pemberian peringatan dan sanksi merupakan hal yang wajar dalam sebuah pekerjaan, apa pun jenis pekerjaannya. Cemenbanget sih  kalau baru sedikit terkena peringatan atau sanksi (karena ulah sendiri), tetapi lantas merespons dengan sikap berlebihan, apalagi menyerang! Mungkin ke depan, perkara komentar terhadap wasit, bisa mulai dibuatkan peraturan dan sanksinya, mulai dari sanksi dilarang mendampingi pemain saat pertandingan, maupun sanksi berupa denda uang dengan nominal cukup besar. 

Harapan saya (dan kita bersama), biarlah sepak bola tak hanya menjadi hiburan bagi rakyat Indonesia, tetapi menjadi sarana pembelajaran untuk menghargai dan menghormati sesama manusia, juga menjadi pembelajaran mengenai ketegasan terhadap pelanggaran suatu peraturan. Hal yang mustahil terwujud tanpa kerja sama dari semua pihak, karena masa depan sepak bola Indonesia tergantung peran aktif dan positif dari kita semua. Saya bahkan membayangkan, suatu ketika, generasi muda (anak-anak dan remaja) akan mendapatkan contoh yang bagus mengenai etika profesionalitas kerja dan menghargai orang lain, ketika mereka melihat orang-orang dewasa bisa mencontohkan hal itu di layar televisi atau berita di media massa, media cetak, dan media online  dari berita seputar persepakbolaan nasional.

Bisakah hal itu terwujud? Semoga!

 

Salam olahraga!

-wsp-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun