Mohon tunggu...
Widodo Surya Putra (Mas Ido)
Widodo Surya Putra (Mas Ido) Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Arek Suroboyo | Redaktur renungan kristiani | Penggemar makanan Suroboyoan, sate Madura, dan sego Padang |Basketball Lovers & Fans Man United | IG @Widodo Suryaputra

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Bioskop dengan 'Springbed', Tabukah?

3 Februari 2017   15:47 Diperbarui: 5 Februari 2017   16:22 4221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari lalu, masyarakat sedikit dihebohkan dengan berita 'penggerebekan' studio film (bioskop) di daerah Palembang oleh aparat setempat, yang langsung dikomando oleh Wakil Wali Kota Palembang, Fitrianti Agustinda. Juga melibatkan ormas keagamaan. Ada satu studio dalam bioskop yang dibuka oleh jaringan CGV yang dianggap berpotensi mendorong orang untuk berbuat asusila, bahkan berbuat hal maksiat. Kok bisa? Alasan utama yang disampaikan kepada pihak pengelola bioskop adalah karena konsep yang diterapkan dalam studio tersebut. Kalau biasanya orang menonton bioskop sambil duduk di kursi empuk, khusus di studio tersebut para penonton dapat menikmati sensasi menonton film sambil berbaring atau merebahkan diri di “kursi” yang lebih tampak seperti springbed.

Kabarnya, pihak pengelola akan meninjau ulang, sekaligus sedikit merenovasi studio tersebut karena jika tidak, maka izin usaha bioskop tersebut akan dicabut. Namun, perwakilan dari pengelola bioskop juga menyampaikan bahwa Pemkot Palembang sebelumnya sudah mengizinkan untuk beroperasinya gedung bioskop tersebut. Artinya, seharusnya “tidak ada masalah” karena pihak Pemkot seharusnya sudah melihat seluruh ruangan yang ada di bioskop tersebut, termasuk mencermati konsep studio demi studio yang ada di dalamnya.

Saya pun mencoba mencari tahu seperti apa konsep yang coba ditawarkan oleh CGV untuk jaringan bioskopnya di seluruh Indonesia. Tentunya, “Mbah Google” dalam hal ini siap membantu. Hanya dengan memasukkan kata kunci tertentu, muncullah informasi yang saya perlukan. Setelah menelusuri sejenak artikel yang saya temukan, saya menjadi lebih paham bahwa studio yang “dituduh” bisa membawa penonton ke perbuatan asusila tersebut dikenal dengan studio tipe Velvet. (Gambarnya seperti di atas).

Velvet Class merupakan kelas studio tertinggi dan ternyaman yang ditawarkan oleh CGV blitz. Akan tetapi studio tersebut hanya ditemukan di Grand Indonesia, Pacific Place, Mall of Indonesia, Central Park, dan Mall PVJ di Bandung. Studio Velvet Class dilengkapi dengan layar lebar dan suara yang maksimal. Disediakan kasur yang sangat nyaman dan mewah beserta bantal dan selimut. Velvet Class juga disediakan service button yang dapat memanggil staff CGV blitz untuk memesan makanan tanpa meninggalkan studio. Disediakan juga premium lounge untuk menunggu film dimulai. Harganya ada di kisaran Rp 220.000-Rp 320.000 per kasur untuk 2 orang. (Sumber: id.bookmyshow.com)

Studio tipe Velvet ini hanyalah salah satu tipe yang ditawarkan oleh pengelola bioskop. Tujuannya, tak lain untuk memberi sensasi yang berbeda kepada penonton untuk menikmati kebersamaan dengan keluarga (pasangan) sambil menonton film. Selain tipe Velvet, masih menurut situs di atas, masih ada beberapa konsep lain yang ditawarkan, melengkapi studio dengan konsep “biasa” seperti yang dapat kita temui di beberapa kota besar di Indonesia.

Misalnya, tipe yang sedikit lebih rendah dari Velvet Type ada Gold Class Typedengan fasilitas: kursi sangat empuk, dilengkapi bantal, selimut, dan remoteuntuk mengatur posisi duduk. Selain itu, ada pula tombol yang disediakan agar penonton dapat menghubungi staff bioskop untuk memesan makanan-minuman tanpa harus meninggalkan studio. Harganya dipatok antara Rp 100.000 – Rp 150.000 per tiket.

Untuk tipe ini, mungkin persis seperti tipe studio yang saya tonton kemarin malam. Meski berbeda jaringan, tetapi saya dapat membayangkan suasananya kurang lebih sama. Asyik juga, karena kami (saya bersama istri) bisa menonton sambil merebahkan badan dan tidak kedinginan karena disediakan selimut. Selain dua tipe di atas, masih ada beberapa tipe lainnya yang intinya sama: menawarkan sensasi berbeda untuk para penonton. Apakah ada efeknya? ADA BANGET! Sekali mencoba, kemungkinan besar Anda, pasangan Anda, atau anak Anda akan ‘ketagihan’ dan ingin menonton di studio yang sama. Kami pun ‘mengaminkan’ bahwa sensasinya memang berbeda ketika menonton di studio film yang spesial itu. Apalagi kalau harga tiketnya terpaut hanya sekitar Rp 20.000 untuk hari Senin-Kamis. Sebanding lah antara harga dan fasilitasnya!

Kembali pada Persoalan Asusila....
Menurut pendapat saya, memang agak riskan jika menyediakan studio bioskop dengan fasilitas seperti Velvet Type. Sensasinya memang akan berbeda dan akan seru kalau menonton bersama keluarga (pasangan dan anak) atau ketika ingin berduaan bersama pasangan. Namun, sangat riskan apabila yang menonton adalah pasangan muda-mudi yang belum menikah. “Memang mau ngapain di sana? Cipokan? Atau malah (maaf) ngeseks?” Mungkin ada yang bertanya seperti itu.

Nah, saya punya sedikit cerita soal “aktivitas yang tidak biasa” dari pasangan muda-mudi yang dilanda asmara ketika mereka berada di tempat ‘remang-remang’ seperti itu. Dalam suasana gelap, sesekali diterangi cahaya dari layar lebar, istri saya bercerita bahwa pasangan muda di sebelahnya asyik sendiri ketika film sedang diputar. Istri saya yang kebetulan berada tepat di samping mereka berkata bahwa pasangan muda itu sampai berciuman! Padahal, jika dilihat dari usia mereka, kami yakin mereka belum menikah. (Lagipula, kalau sudah menikah, apakah lantas boleh seenaknya berciuman atau ‘bergelut’ di dalam gedung bioskop, seperti sedang membuat film sendiri sembari menonton film? Tentu tidak!)

Memang saya akui cukup ‘membahayakan’ apabila pihak studio film menyediakan fasilitas kursi berbentuk tempat tidur tanpa sekat, apalagi dilengkapi selimut, bantal, dan tentu saja AC yang dingin! Apa nggak tergoda untuk merapat tuh? Wong yang pakai sekat dan sambil duduk saja bisa berbuat asusila! Jika mau dibahas, mungkin perdebatan akan panjang-lebar karena akan ada yang pro dan kontra mengenai hal ini, lengkap dengan argumentasi masing-masing. Mulai dari sudut pandang agama, sosial, moral, dan lain sebagainya, bisa dijadikan bahan diskusi dan perdebatan.

Namun, menurut saya untuk melarang sama sekali juga kurang pas. Mungkin yang dibutuhkan adalah pengawasan yang ketat dari pihak pengelola, sekaligus membuat aturan yang jelas dan diberlakukan tanpa pandang bulu. Misalnya: hanya pasangan yang sah (suami-istri) yang boleh menonton ATAU keluarga yang mengajak anak-anak. Untuk syarat keluarga yang mengajak anak-anak, jujur saya menilai pihak pengelola masih cenderung mengabaikan peraturan bahwa anak-anak dilarang menonton untuk film berkategori Dewasa atau 17+.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun