Mohon tunggu...
Wido Cepaka Warih
Wido Cepaka Warih Mohon Tunggu... Lainnya - Urip iku urup

Suka bertualang, pembelajar, pernah menjadi tenaga pendidik di pelosok dan pendamping pulau-pulau terluar, pemerhati masyarakat, isu sosial, dan kebijakan publik.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Menikmati Kuliner "Kasuami" di Saumlaki

12 Maret 2017   23:32 Diperbarui: 13 Maret 2017   20:00 2517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sore sebentar lagi beranjak pergi ketika saya memasuki pintu gerbang pelabuhan Suamlaki. Tidak ada kerumunan orang-orang yang naik maupun turun dari kapal putih. Sebutan untuk kapal Pelni. Hanya terlihat beberapa buruh pelabuhan mengangkut karung-karung cokelat, menuruni tangga kayu curam yang hanya selebar kaki manusia, begitu cepat mereka naik turun dari kapal barang yang baru sandar dari Surabaya. "Mungkin, barang-barang pesanan dari toko dekat pasar," pikir saya sambil melayangkan pandangan seorang bocah kecil bersiap melepas umpan ke dalam kolam pelabuhan.

"Ade, su biking apa kah?" kata saya penasaran ketika melongok ember hitam kecil pecah di bagian ujungnya.

"Kaka, beta sedang memancing ikang kecil-kecil ini," jawabnya malu-malu. "Kaka mau coba kah?" balasnya sambil memperlihatkan benang kail pancingnya kepada saya.

"Seng usah, ade sa, kaka mo pi ronda-ronda dulu ya," jawab saya sesaat setelah mendengar teriakan mandor pada buruh yang terlambat mengambil karung lusuh tadi.

Tak terasa, sudah terdengar aksi gertak tendang dari cacing-caing di perut saya, pertanda sudah meminta haknya, apalagi kalau bukan makan malam.

Tengak-tengok keluar dari pintu gerbang pelabuhan, tampak di ujung jalan ada penjual ikan bakar yang mengepul deras asap putih. Baunya pun tercium seiring hembusan angin yang mengarah ke arah saya. Sepanjang jalur pintu keluar pebuhan dipenuhi oleh penjual beraneka rupa, dari makanan, toko kelontong sampai kain, rasanya kalau malam masih diterangi bulan cerah mereka akan buka sampai matahari terbangun.

Lapak seorang mama yang saya lupa menanyakan namanya menyajikan makanan yang khas dan unik dari bilangan Sulawesi Tenggara. Saya tergoda melihat bentuk kerucut putih mirip gunung, kasuami gunung. Jangan salah walaupun namanya mengandung kata suami, tidak ada kaitannya kok, mudah diingat ketika pertama kali jumpa.

"Kasuami yang dijual di sini bentuknya ya hanya gunung, kasuami gunung, sebenarnya ada banyak ragamnya," kata mama penjual kasuami ketika saya tampak penasaran melihat-lihat jenis makanan satu ini.

Pengolahan kasuami gunung pun ternyata sangat mudah. Pertama, ubi kayu diparut hingga halus. Setelah halus dimasukkan ke dalam wadah kantung plastik atau karung yang bersih. Kemudian ditekan dengan alat berat untuk mengeluarkan airnya. Nanti dibiarkan mengering hingga semalam. Biasanya kalau banyak airnya masih agak kecut, tapi kalau kering benar rasanya manis.

"Untuk membentuk kasuami gunung, caranya singkong yang telah halus tadi dimasukkan ke dalam wadah anyaman dari daun kelapa berbentuk kerucut kemudian dikukus. Setelah matang baru disajikan," tambah mama penjual sembari memilihkan beberapa kasuami untuk saya bawa pulang ke sekretariat.

Paling pas kalau disantap bersama jodohnya, ikan bakar panas nan segar. Bulan tampak tersenyum melihat seorang anak manusia makan kasuami dan ikan bakar dengan lahapnya. Sudah lega cacing-cacing di perutku, mungkin sudah tertidur pulas ditelan kudapan malam yang mengenyangkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun