Mohon tunggu...
Wido Cepaka Warih
Wido Cepaka Warih Mohon Tunggu... Lainnya - Urip iku urup

Suka bertualang, pembelajar, pernah menjadi tenaga pendidik di pelosok dan pendamping pulau-pulau terluar, pemerhati masyarakat, isu sosial, dan kebijakan publik.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Listrik Matahari Rp10.000,00 Per Bulan di Pulau Terdepan

18 Februari 2017   05:15 Diperbarui: 19 Februari 2017   21:24 1791
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tepian dermaga Lamdesar Barat, Pulau Larat, saya bertemu dengan kelompok pengelola pembangkit listrik tenaga surya. Mereka menamakan dirinya "Faduk Mavu", padanan filosofi Cahaya Pengetahuan. Hadirnya terang dan cahaya di pulau terdepan pertanda ikhwal peningkatan pengetahuan dan kesejahteraan, begitu harapan masyarakat sewaktu Rapat Negeri digelar. Faduk Mavu menjadi tumpuan keberlanjutan pengelolaan energi matahari di desa tepian Arafura tersebut.

Mari tengok ke belakang dan realitas adanya kondisi mangkrak bantuan-bantuan dari pemerintah maupun pihak lain karena kurangnya perhatian pada pembangunan manusia, penyiapan sumber daya untuk mengelola bantuan tersebut. Mengapa? Karena dengan adanya penyiapan sumber daya manusia untuk mengelola, keberlanjutan akan kesadaran kepemilikan dan kebutuhan bersama menjadi sebuah bagian dari nadi kehidupan masyarakat.

***

Bangkit dari Jatuh

Tahun 2014, merupakan sebuah catatan masyarakat Lamdesar Barat, Pulau Larat. Sebuah desa pesisir di pulau terdepan, bilangan jarak 300 mil dari Darwin, Australia ini, mendapatkan bantuan dari pemerintah pusat berupa Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Komunal dengan kapasitas 50 kwp (kilowatt-peak). Hal ini menjawab kebutuhan listrik di pulau terdepan.

Kehadiran fasilitator pulau terdepan dari DFW Indonesia dan Kementerian Kelautan dan Perikanan merupakan teman sekaligus sahabat pendengar bagi masyarakat dalam mengelola bantuan tersebut, akhirnya dibentuklah kelompok masyarakat pengelola (KMP). Masyarakat juga dilibatkan semenjak awal pembangunan, hal ini guna menumbuhkan rasa keberpihakan dan kepemilikan bersama. Gotong-royong sudah menjadi ruh negeri ini. Dari anak sekolah sampai kakek-nenek ikut membantu pembangunan PLTS yang diawali dengan doa dan upacara adat. Mereka mengambil porsi keterlibatan sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Ada yang membangun fondasi panel surya, memikul baterai, membersihkan areal, menyediakan makanan dan minuman dan banyak cerita menarik lainnya.

Doa dan upacara adat di lokasi pembangunan PLTS th 2014 (Dok. DFW Indonesia)
Doa dan upacara adat di lokasi pembangunan PLTS th 2014 (Dok. DFW Indonesia)
Dalam perjalanan proses pendampingan, sudah ada kesepakatan dalam musyawarah desa mengenai aturan dalam pengelolaan (AD/ART), besarnya iuran tiap bulan, kerja bakti membersihkan areal PLTS, hal-hal yang tidak diperbolehkan dilakukan untuk menjaga kelangsungan pembangkit.

Proses pendampingan selalu ada cerita tersendiri. Ada cerita sukses dan sebaliknya, ada cerita "lecet" di pertengahan jalan. Justru proses "lecet" ini yang akan mendewasakan semua pihak dari masyarakat maupun pendamping. 

Bukan seberapa sering kita jatuh, tetapi apakah kita mau bangkit dan berdiri kembali?

Ketika memasuki bilangan menjelang akhir tahun 2015, terjadi keresahan yang menjadi buah bibir masyarakat. Setelah ditelusur karena adanya salah satu oknum masyarakat yang menyambung kabel secara ilegal sehingga mengakibatkan kerusakan pada salah satu komponen PLTS. Dengan adanya kerusakan tersebut, menjadi pelajaran cukup berharga bagi masyarakat karena ketika sebelumnya pada malam hari terang, sekarang gelap dan kembali menggunakan lampu minyak atau genset warga.

Kemarahan dari masyarakat terhadap oknum tersebut menjadikannya sebuah musyawarah panjang dalam Rapat Negeri yang dipimpin oleh kepala desa. Pemberlakuan sanksi dan hukuman pun diberikan, begitu juga dengan sanksi sosial secara tidak langsung dari masyarakat itu sendiri. Saat adanya kerusakan, kelompok pengelola sudah mengerti prosedur pelaporan yang harus dijalankan. Dimulai dari pemerintah desa sampai pemerintah kabupaten. Memang butuh proses bertahap, tetapi kelompok sudah melaksanakan prosedur yang sesuai.

Suasana dalam Rapat Negeri di desa Lamdesar Barat, Pulau Larat (Dok. Istimewa)
Suasana dalam Rapat Negeri di desa Lamdesar Barat, Pulau Larat (Dok. Istimewa)
Jawaban atas perbaikan akhirnya datang juga di tahun 2016. Dalam kurun waktu sekitar 6 bulan kerusakan, komponen tetap dipelihara dan terjaga dengan baik. Setelah adanya perbaikan, digelar kembali ajang Rapat Negeri yang dipimpin oleh Kepala Desa untuk berkomitmen bersama masyarakat dalam menjaga dan mengelola PLTS. Kini mereka menyadari bahwa pengelolaan merupakan tanggung jawab bersama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun