Dua kantong plastik hitam berisikan tiga ikat kangkung segar dan setali ikan Samandar baru saja diletakkannya di meja dapur. Ibu itu baru saja pulang berbelanja dari pasar tradisional di Larat. "Ayo mas, ini diminum dulu air teh sama dimakan kue donatnya, maaf Ibu belum masak, ini baru saja pulang dari pasar," kata Olga Talutu (42 th). Olga Talutu, ketua kelompok Usaha Ekonomi Produktif (UEP) abon ikan “Watu Titir” yang berlokasi di desa Ridool, Pulau Larat. Kelompok yang memiliki 6 anggota tersebut sudah berjalan selama dua tahun sejak berdiri tanggal 14 Juli 2014.
Hasil olahan dari kelompok Watu Titir berupa abon ikan tenggiri dan tuna dalam kemasan 50 gram seharga Rp 10.000-20.000. Untuk penjualan bisanya langsung dijual ke Kota Tual, dititipkan di warung dan pernah ikut dalam pameran di Ambon yang didampingi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Maluku Tenggara Barat.
Kelompok ini sejak tahun 2014 berdiri, pernah mendapatkan beberapa kali pelatihan dari Dinas Kelautan dan Perikanan maupun Kementerian Kelautan dan Perikanan. Di penghujung 2016, abon ikan Watu Titir terbang ke Kota Lombok untuk mengikuti Pameran Nasional Hasil Teknologi Tepat Guna yang didampingi oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa. Secercah harapan dan senyum bahagia dari masyarakat Pulau Larat.
***
Untuk mewujudkan tujuan pengelolaan berdasarkan prinsip tersebut, komunikasi menjadi salah satu akses infomasi baik dari pusat maupun sebaliknya. Lancarnya jaringan komunikasi menjadi basis data segenap elemen pemangku kepentingan untuk merencanakan pengelolaan PPKT yang berdaulat dan berkelanjutan. Membangun komunikasi dua arah menjadi ikhwal memperkuat sense of belonging untuk merawat etalase di pulau terdepan NKRI.
Perlunya perbaikan di berbagai aspek dalam rangka menyejahterahkan masyarakat wilayah perbatasan harus disadari betul oleh segenap masyarakat Indonesia terutama bagi mereka masyarakat di daerah yang sudah terjangkau akses komunikasi untuk menggalakan kampanye arti pentingnya komunikasi dalam rangka mempertahankan kedaulatan NKRI. Dengan dikeluarkannya Perpres No. 78 Tahun 2005 ini sebagai indikasi kesadaran pemerintah Republik Indonesia akan arti pentingnya pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dari wilayah NKRI. Seiring dengan Nawacita membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan semoga menjadi harapan bagi masyarakat di pulau terdepan.
Separuh Hatiku di Pulau Terdepan
Sesaat lagi pesawat yang kutumpangi akan mendarat di bandara Pattimura, Ambon. Sayup-sayup terdengar suara merdu dari pramugari mengingatkan untuk memasang sabuk pengaman, menegakkan sandaran kursi dan membuka penutup jendela. Rupanya sebentar lagi aku akan menginjakkan kaki di ibukota Provinsi Maluku.
April 2016, aku terkejut ketika menyadari bahwa sebentar lagi aku akan tinggal selama kurun lebih delapan bulan di pulau terluar Indonesia, tepatnya di Pulau Larat. Memang sedari dulu aku pernah bermimpi untuk menginjakkan kaki di Indonesia bagian timur. Perjalananku paling jauh sampai ke pulau Sulawasi dan Tuhan mengabulkan mimpi untuk belajar dari masyarakat Maluku di tahun ini.
Aku semakin tertarik untuk lebih mengenal Maluku dan Papua, ketika menonton sebuh film berjudul Cahaya dari Timur: Beta Maluku. Film yang berkisah perjuangan seorang pesepak bola yang memutuskan pulang kampung dan ingin menyelamatkan anak-anak di kampungnya melalui sepak bola di tengah situasi konflik agama yang terjadi. Sani Tawainella namanya, di tangannya ada kesempatan membawa semangat dan cerita baik bagi Maluku melalui sepak bola.
Aku terkejut, ketika terdengar suara dari pengeras suara bahwa penumpang tujuan Saumlaki diminta untuk segera boarding. Nampak pesawat jenis ATR 76-600 dari salah satu maskapai swasta sudah siap menunggu kedatangan kami. Cukup banyak penumpang yang akan pergi ke Saumlaki hari ini, hanya ada beberapa kursi kosong di bagian belakang dari total kapasitas hingga 78 penumpang pesawat jenis twin-turboprop tersebut. Cuaca cerah mengantarkan kami terbang menuju ke Bumi Tanimbar.
Tak terasa sudah 1 jam 45 menit berjalan, sebentar lagi pesawat ATR 76-600 akan mendarat di Bandara Mathilda Batlayeri, Saumlaki. Pintu gerbang untuk menuju ke Pulau Larat dimulai dari sini. Untuk menuju ke Pulau Larat, aku harus mencari "taksi" mobil penumpang di terminal pasar, setiap penumpang akan dikenai biaya Rp 250.000-Rp 300.000, kalau tidak ada penumpang maka dianggap mencarter dan dikenai ongkos hingga Rp 2.000.000.
Perjalanan darat menuju desa terakhir di Pulau Yamdena menempuh waktu 4-5 jam tergantung cuaca dan kondisi di beberapa ruas jalan masih menyisakan kerusakan. Setelah sampai di Siwahan, dusun terakhir Pulau Yamdena, aku harus menyeberang ke pusat Pulau Larat menggunakan perahu kayu kecil dengan mesin ketinting dengan ongkos Rp 20.000 selama 10-15 menit perjalanan melewati Selat Larat. Jika akan menyeberangkan mobil menggunakan gabungan perahu rakit dari drum bekas maka harus merogoh kocek sebesar Rp 500.000-600.000, begitu juga dengan sepeda motor akan dikenai biaya Rp 50.000-75.000 tergantung besar kecilnya sepeda motor yang akan diangkut.
Desa Lamdesar Barat, desa paling ujung timur pulau ini hanya mendapatkan penerangan listrik dari pukul 18.00-06.00 dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terpusat dengan kapasitas 50 kwp. Untuk pengelolaan kelompok dan pemeliharaan, maka tiap rumah dikenai iuran Rp 10.000/bulan untuk 3 buah mata lampu. Sayangnya, ketika aku pertama kali menginjakkan kaki di sana, PLTS masih padam dikarenakan ada kerusakan.
Lampu surya padam, lampu minyak pun jadi. Aktivitas malam cepat sekali berakhir ketika lampu sudah habis, terkadang ditemai sinar temaram bulan dan secangkir kopi pahit untuk melawan dinginnya angin malam. Tidak ada lagi aktivitas ibu-ibu mengelupas kulit kacang tanah sampai larut maupun mama desa yang melanjutkan tenun yang dibuatnya, apalagi anak-anak yang belajar di malah hari terlihat sedikit intensitasnya. Masyarakat mulai terlelap dalam mimpi dan aku mulai menarik sarung yang sengaja kubawa sebagai penghangat badan.
Matahari sudah sepenggalah tingginya ketika aku mendengar keluhan dari kepala desa kalau ada surat yang datang, tetapi sudah terlambat tanggalnya. Memang tidak adanya sinyal komunikasi seluler menyulitkan kami untuk berhubungan dalam waktu cepat dengan orang luar. Ada salah satu bukit, Teta namanya, satu-satunya sumber sinyal yang harus ditempuh jalan kaki selalam 1,5 jam atau dengan motor 10-15 menit.
Jika ada informasi penting akan dititipkan orang yang akan ke desa atau orang desa yang berada di pusat pulau. Ada satu hal yang cukup menarik, ketika ada seorang teman bertugas di Pulau Liran, Kab. Maluku Barat Daya bercerita bahwa dia mendapat sinyal untuk telpon dari negara Timor Leste, sehingga dikenakan tarif roaming internasional. Banyak hikmah yang diambil, di antaranya untuk selalu bersyukur dan mensyukuri apa yang ada. Belajar arti sebuah ketulusan dan memaknai kesederhanaan sebuah kebahagian.
Ada tujuh pendekatan dan manfaat kreatif dengan adanya operasi Satelit Telkom 3S di Langit Nusantara:
Jejaring Etalase Nusantara. Jejaring etalase ini berisi mengenai informasi pulau dan masyarakat pulau terdepan akan menuliskan ceritanya sendiri. Muatan lokal menjadi nilai lebih untuk menunjang ketersediaan data dan informasi PPKT. Selain itu, tentunya masyarakat di pulau terdepan akan memperoleh berita dan informasi segar dari berbagai kanal informasi.
Relawan Sahabat Pulau. Tiap individu dapat berperan untuk menjaga pulau dan kontribusi, seperti memberikan kelas inspirasi maupun program adopsi pulau. Hal ini merupakan bentuk keterlibatan publik dan kolaborasi dalam membantu pemerintah mengelola pulau terdepan.
Sudah selayaknya sebutan pulau terluar menjadi pulau terdepan NKRI. Dari masyarakat pulau terdepan kami titipkan doa, semoga peluncuran Satelit Telkom 3S pada tanggal 15 Februari 2017 menjadi babak baru bagi masyarakat di pulau terdepan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H