Mohon tunggu...
Wido Cepaka Warih
Wido Cepaka Warih Mohon Tunggu... Lainnya - Urip iku urup

Suka bertualang, pembelajar, pernah menjadi tenaga pendidik di pelosok dan pendamping pulau-pulau terluar, pemerhati masyarakat, isu sosial, dan kebijakan publik.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Satelit Telkom 3S, Merajut Mimpi di Pulau Terdepan NKRI

12 Februari 2017   18:34 Diperbarui: 10 Maret 2017   22:00 2173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perahu ketinting menjadi moda angkut laut di masyarakat (Dok. Pribadi)

Aku terkejut, ketika terdengar suara dari pengeras suara bahwa penumpang tujuan Saumlaki diminta untuk segera boarding. Nampak pesawat jenis ATR 76-600 dari salah satu maskapai swasta sudah siap menunggu kedatangan kami. Cukup banyak penumpang yang akan pergi ke Saumlaki hari ini, hanya ada beberapa kursi kosong di bagian belakang dari total kapasitas hingga 78 penumpang pesawat jenis twin-turboprop tersebut. Cuaca cerah mengantarkan kami terbang menuju ke Bumi Tanimbar.

Tak terasa sudah 1 jam 45 menit berjalan, sebentar lagi pesawat ATR 76-600 akan mendarat di Bandara Mathilda Batlayeri, Saumlaki. Pintu gerbang untuk menuju ke Pulau Larat dimulai dari sini. Untuk menuju ke Pulau Larat, aku harus mencari "taksi" mobil penumpang di terminal pasar, setiap penumpang akan dikenai biaya Rp 250.000-Rp 300.000, kalau tidak ada penumpang maka dianggap mencarter  dan dikenai ongkos hingga Rp 2.000.000.

Perjalanan darat menuju desa terakhir di Pulau Yamdena menempuh waktu 4-5 jam tergantung cuaca dan kondisi di beberapa ruas jalan masih menyisakan kerusakan. Setelah sampai di Siwahan, dusun terakhir Pulau Yamdena, aku harus menyeberang ke pusat Pulau Larat menggunakan perahu kayu kecil dengan mesin ketinting dengan ongkos Rp 20.000 selama 10-15 menit perjalanan melewati Selat Larat. Jika akan menyeberangkan mobil menggunakan gabungan perahu rakit dari drum bekas maka harus merogoh kocek sebesar Rp 500.000-600.000, begitu juga dengan sepeda motor akan dikenai biaya Rp 50.000-75.000 tergantung besar kecilnya sepeda motor yang akan diangkut.

Ongkos menyeberangkan mobil ke Larat sampai Rp 500.000 (Dok. Pribadi)
Ongkos menyeberangkan mobil ke Larat sampai Rp 500.000 (Dok. Pribadi)
Untuk menuju ke desa tujuanku, yaitu desa Lamdesar Barat masih harus naik perahu ketinting selama 4 jam menyisir perairan tepian pulau Larat dan bersentuhan langsung dengan Laut Arafuru. Jalur darat sebenarnya bisa, tetapi masih kurang bagus kondisinya, di beberapa titik banyak yang rusak dan harus melewati kebun, hutan dan ilalang luas nan padat menutupi sisi kanan kiri jalan.

Desa Lamdesar Barat, desa paling ujung timur pulau ini hanya mendapatkan penerangan listrik dari pukul 18.00-06.00 dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terpusat dengan kapasitas 50 kwp. Untuk pengelolaan kelompok dan pemeliharaan, maka tiap rumah dikenai iuran Rp 10.000/bulan untuk 3 buah mata lampu. Sayangnya, ketika aku pertama kali menginjakkan kaki di sana, PLTS masih padam dikarenakan ada kerusakan.

Lampu surya padam, lampu minyak pun jadi. Aktivitas malam cepat sekali berakhir ketika lampu sudah habis, terkadang ditemai sinar temaram bulan dan secangkir kopi pahit untuk melawan dinginnya angin malam. Tidak ada lagi aktivitas ibu-ibu mengelupas kulit kacang tanah sampai larut maupun mama desa yang melanjutkan tenun yang dibuatnya, apalagi anak-anak yang belajar di malah hari terlihat sedikit intensitasnya. Masyarakat mulai terlelap dalam mimpi dan aku mulai menarik sarung yang sengaja kubawa sebagai penghangat badan.

Matahari sudah sepenggalah tingginya ketika aku mendengar keluhan dari kepala desa kalau ada surat yang datang, tetapi sudah terlambat tanggalnya. Memang tidak adanya sinyal komunikasi seluler menyulitkan kami untuk berhubungan dalam waktu cepat dengan orang luar. Ada salah satu bukit, Teta namanya, satu-satunya sumber sinyal yang harus ditempuh jalan kaki selalam 1,5 jam atau dengan motor 10-15 menit. 

Jika ada informasi penting akan dititipkan orang yang akan ke desa atau orang desa yang berada di pusat pulau. Ada satu hal yang cukup menarik, ketika ada seorang teman bertugas di Pulau Liran, Kab. Maluku Barat Daya bercerita bahwa dia mendapat sinyal untuk telpon dari negara Timor Leste, sehingga dikenakan tarif roaming internasional. Banyak hikmah yang diambil, di antaranya untuk selalu bersyukur dan mensyukuri apa yang ada. Belajar arti sebuah ketulusan dan memaknai kesederhanaan sebuah kebahagian.

Perahu ketinting menjadi moda angkut laut di masyarakat (Dok. Pribadi)
Perahu ketinting menjadi moda angkut laut di masyarakat (Dok. Pribadi)
Tujuh Tawaran Pendekatan Kreatif

Ada tujuh pendekatan dan manfaat kreatif dengan adanya operasi Satelit Telkom 3S di Langit Nusantara:

Jejaring Etalase Nusantara. Jejaring etalase ini berisi mengenai informasi pulau dan masyarakat pulau terdepan akan menuliskan ceritanya sendiri. Muatan lokal menjadi nilai lebih untuk menunjang ketersediaan data dan informasi PPKT. Selain itu, tentunya masyarakat di pulau terdepan akan memperoleh berita dan informasi segar dari berbagai kanal informasi.

Kanal informasi Pulau Larat (Dok. Pribadi)
Kanal informasi Pulau Larat (Dok. Pribadi)
Pasar Ekonomi Kreatif. Pulau terdepan memiliki potensi produk lokal seperti tenun, noken (tas tradisional khas dari Papua), topi dan kerajinan tangan, permasalahan adalah banyak yang belum mengenal dan akses pasar yang ada.
Aktivitas membuat tenun Tanimbar (Dok. Pribadi)
Aktivitas membuat tenun Tanimbar (Dok. Pribadi)
Pasar ekonomi kreatif melalui media online diharapkan dapat menjawab tantangan tersebut disertai dengan skema distribusi seperti pemanfaatan Tol Laut. Saat ini juga tersedia skema pembiayaan untuk usaha ekonomi kecil daerah tertinggal/perbatasan dari Kementerian Koperasi dan UKM.

 

Kacang botol khas Pulau Larat (Dok. Pribadi)
Kacang botol khas Pulau Larat (Dok. Pribadi)
Sistem Informasi Nelayan. Berisi informasi keadaan cuaca, tinggi gelombang, kawasan konservasi, daerah penangkapan ikan dan batas-batas. Informasi ini dapat dimunculkan dalam layar monitor yang diletakkan di sekretariat kelompok nelayan/kantor desa/melalui gawai masing-masing, sehingga sebelum melaut kelompok nelayan akan melihat dan mempertimbangkan informasi tersebut. Untuk mendukung hal tersebut, kelompok nelayan perlu dibekali GPS sebagai modal awal pemanfaatan teknologi dalam mencari ikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun