Geliat kehidupan di Pulau Larat dapat diraba dari interaksi warga pada sumber daya alam, tradisi, dan relasi sosial. Dengan itu mereka bisa bertahan dan berkembang meniti kehidupan, dengan rumput laut, ikan, kacang tanah hingga kain tenun. Wido Cepaka Warih, fasilitator Program Pendampingan Efektivitas Sarana dan Prasarana di Pulau-pulau Kecil Berbasis Masyarakat (PRAKARSA) dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan DFW Indonesia menuliskan dan mengirimkan temuan-temuannya selama berada di pulau yang berbatasan dengan Benua Australia itu. Ragam foto dan narasi ini serupa tawaran untuk meraba urat nadi kehidupan di Pulau Larat versi fasilitator Prakarsa ini.
***
Semenjak rumput laut mulai tertebas harganya, sebagian masyarakat di Pulau Larat memilih meninggalkan budidaya rumput laut. Beragam persoalan menjadi batu ganjalan bagi pembudidaya. Selain harga yang tak stabil mereka juga diserang penyakit. “Rumput laut kami terkena penyakit ice-ice, sekitar tahun 2014. Semenjak itu harga turun terus,” ungkap Ibu Maya sembari menunjukkan bekas lahan budidaya metode longline rumput laut di Desa Ritabel.
“Sekitar tahun 2012-an harga agar-agar (rumput laut) kering setiap kilogram mencapai Rp 15.000. Kalau sekarang hanya laku Rp 4.000-5.000,” kata Om Kui, seorang petani rumput laut di desa Lamdesar Timur, Pulau Larat.
“Ketika rumput laut berjaya, jalanan setapak depan rumah-rumah itu tertutup sama jemuran agar-agar. Masyarakat bisa menyekolahkan anaknya sampai lanjut kuliah, usaha dagang, buka warung, bangun rumah, banyak lagi pokoknya,” sambung ibu Maya.
Hingga Juni 2016, pemerintah daerah tak tutup mata melihat persoalan rumput laut. Melalui Dinas Kelautan dan Perikanan, berbagai bantuan seperti bibit rumput laut maupun pelatihan pengolahan budidaya dan hasil rumput laut tak lepas dari agenda rutin dinas terkait. Tujuannya demi kemandirian masyarakat Larat dalam mengelola sumber daya yang ada.
Selain gambaran status rumput laut dan dinamikanya saat ini di Larat, gambaran tentang potensi perikanan juga penting untuk diceritakan. Informasi awal tentang ini saya temukan saat bertemu dengan dua orang nelayan di Pulau Lelingluan yang sedang memanggul ikan bubara dan sakuda.
“Ayo mas, satu ikat Rp 35.000 saja ini, ikan masih segar baru nyampe subuh tadi,” salah satu penjual menawarkan ikan bawaanya
“Mama, ini ikan apa?”, tanya fasilitator DFW (Destructive Fishing Watch) yang sedang bertugas di sini, ikan yang berbeda. ”Ikan samandar, harga seikat Rp 35.000, enak dan empuk dagingnya,” ujarnya. Transaksi pun terjadi, ternyata satu ikat isinya ada 15 ekor ikan samandar sebesar telapak tangan orang dewasa. Untuk jenis ikan sakuda maupun kakap seukuran pergelangan tangan orang dewasa kita bisa membelinya seharga Rp 50.000-60.000, apalagi ketika anda lihai menawar dibumbui dengan obrolan hangat akan mendapatkan harga yang lebih murah.
Menurut Kantor Badan Pusat Statistik Kabupaten Maluku Tenggara Barat yang dilansir dari data Dinas Kelautan dan Perikanan, di tahun 2013 produksi perikanan di Tanimbar Utara (Pulau Larat) sebesar 1.382 ton dan mengalami penurunan sebanyak 1.207 ton di tahun 2014. Untuk melihat potensi perikanan ini kita perlu melihat angka armada dan alat tangkap yang dipergunakan oleh nelayan Pulau Larat.
Jumlah perahu/motor tangkap yang paling banyak digunakan oleh nelayan Pulau Larat adalah perahu jukung sejumlah 190 dikuti perahu kecil 168, perahu besar 33, motor tempel 139, dan kapal motor 26. Armada tersebut beberapa bersumber dari bantuan Dinas Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Masyarakat di Pulau Larat sebagian besar menggunakan pancong, sero, dan jaring insang untuk menangkap ikan dalam kesehariannya. Belum tersedianya cold storage di Pulau Larat juga berpengaruh terhadap nilai tambah perikanan tangkap. Selama ini, nelayan memanfaatkan es produksi rumahan, itupun hanya bertahan beberapa hari saja.
Buce, Ketua Kelompok Nelayan Barrakuda, ketika ditemui di rumahnya juga mengatakan hal yang sama. “Kami kalau melaut jauh-jauh tidak sebanding antara BBM, es dengan jumlah tangkapan. Di sini belum ada pabrik es atau penyimpanan ikan, ini yang kami harapkan dari pemerintah baik pusat mapupun daerah, agar nantinya perikanan di Pulau Larat ini bisa maju dengan dukungan sarana dan prasarana yang ada,” katanya.
Potret dalam Kacang Botol
Selain menyimpan potensi perikanan, Larat dikenal dengan potensi pertaniannya, seperti kasbi (singkong), umbi-umbian lain, pateka (semangka), jagung, dan kacang tanah. Saat menjumpai masyarakat di salah satu desa Pulau Larat yaitu Desa Lamdesar Barat, kita akan melihat potret aktivitas masyarakat sedang menjemur dan mengupas kacang tanah di selasar rumah.
Lebih serunya lagi, setelah pulang sekolah atau di waktu senggang, anak-anak di Lamdesar Barat tidak mau ketinggalan berbagi keceriaan dengan mengelupas kulit kacang tanah. Terkadang memang, tangan mereka lebih cepat dari tangan orang dewasa mengupas kulit kacang. Akan nampak senyum bahagia dan gigi putihnya ketika mereka diberi uang jajan Rp 30.000 per karung kacang tanah bersih seusai ikut mengupas. Semakin banyak karung dengan isi 30 kg per karung, maka akan semakin lebar senyum mereka, artinya akan mempunyai tabungan untuk membeli keperluan sekolah.
“Kalau untuk kacang botol, yang ditaruh di botol seukuran air mineral harganya Rp 15.000, sedangkan botol kaca bisa Rp 25.000-30.000,” ujar Bapak Pice yang juga mempunyai ladang kacang tanah.
“Kalau sekarang sudah mulai enak, sekitar dua bulan lalu, karena ada truk yang masuk ke sini, jadi gampang jual kacang ke pusat Larat, kalau tempo lalu, ketika akan menjual dalam jumlah banyak, kami harus pakai perahu ketinting dan ongkosnya lebih mahal,” sambung Pice saat sedang menjemur kacang tanah depan rumahnya.
Angin segar harapan berhembus ke Larat. Jalan trans Larat sudah mulai dikerjakan tahun ini. Beberapa tahun lagi semua desa akan merasakan lancarnya akses dan distribusi hasil panen, sehingga harapan mereka dapat meningkatkan roda perekonomian selama ini semakin cerah.
Tenun dari Bumi Lelemuku
Bukan hanya rumput laut, ikan, dan kacang tanah. Di Larat terdapat anggrek endemik namanya lelemuku. Ini dapat pula dikembangkan terutama bagi pencinta bunga.
Selain itu, kurang lengkap rasanya kalau berkunjung ke Pulau Larat jika tak membawa oleh-oleh berupa kain tenun yang dibuat dengan tangan langsung (hand made) oleh masyarakat Larat. Hampir semua perempuan di desa bisa membuat tenunan, baik dalam bentuk scarf maupun syal.
Untuk selembar syal, mereka bisa menjual dengan harga Rp 150.000. “Satu syal bisa dua sampai tiga hari buatnya, tergantung kesibukan, kalau mau dikasi nama orang juga bisa di syalnya, atau memilih warna kombinasi benang dan corak syal,” terang Mama Desa Lamdesar Barat. Belajar dari kesabaran memintal benang-benang halus dan ragam corak warna, membuat kita akan jatuh cinta pada kearifan masyarakat di Larat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H