Ibu, induk semang pemilik paviliun yang kukontrak, mengabari ada telepon untukku. Dari Pak M. Aku bergegas ke rumah depan untuk menerima panggilan itu.
"Aku lagi di Dumai," Bang M menjelaskan posisinya. Seperti membaca pikiran. Baru saja pertanyaan dia sedang berada di mana, hampir meloncat dari bibirku.
"Ada proyek di Dumai, Bang?" tanyaku.
"Keran tangki raksasa penyimpanan minyak itu macet, tak bisa dibuka. Kata orang ‘tu sudah dibetulkan sama insinyur bule, tapi tidak berhasil. Bang Z memanggil aku, minta bantuan. Bukannya rusak keran itu. Cuma, macam manalah bisa dibuka, tangki itu sudah mereka duduki beramai-ramai."
"Mereka itu siapa?"
"Siapa lagi. Lelembut yang dari hutan sebelah itulah."
"Oh…. Sekarang sudah beres, Bang?"
"Alhamdulillah, sudah. Mulanya minta darah, minta disembelihkan lembu. Mana ada cerita. Tak boleh berunding sama makhluk macam begitu. Kuancam mereka. Kulibas, tak kukasih ampun kalau mereka tidak pergi. Jangan pula coba-coba kembali lagi."
"Sudah dekat 'nih posisi Abang ke tempatku. Ke sinilah, Bang."
Â
"Itulah. Beres urusan tadi malam aku teringat, kau di Pekanbaru. Makanya kutelepon. Siapa tau kau di rumah. Tidak sedang di lapangan."
"Jadwalku pas lagi di rumah. Abang ke sini saja. Nanti kubelikan tiket pesawat pulang ke Medan."
Begitulah, esok paginya Bang M sudah duduk di kursi ruang tamu di paviliun kontrakanku. Kutinggalkan sebentar untuk mengambil minuman dan makanan ke warung Ibu di depan. Ketika kembali kudengar Bang M sedang berbicara dan tertawa-tawa. Siapa pula yang menemaninya?
Tiba di pintu, tidak kulihat siapa-siapa bersamanya.
Melihatku datang, dia melemparkan senyum nyeleneh kepadaku.
"Kau bohongi aku. Kau bilang kau sendirian di rumah ini."
"Lha, kan Abang lihat sendiri aku sendirian di sini."
"Terus yang di pintu itu siapa?" katanya sambil menggerakkan dagunya ke arah pintu penghubung ruang tamu ini dengan ruang penyimpanan di sebelah. Pandanganku mengikuti isyaratnya. Tidak kulihat apa-apa. Hanya pintu yang menganga.
"Waktu kau pergi ke depan tadi, dia menyembulkan kepalanya dari pintu itu. Mengintip. Kutanya dia:
⸺Siapa kau?
Dijawabnya:
⸺Yang menumpang di kamar ini.
⸺Duduklah kau di sini biar ngobrol-ngobrol kita.
⸺Tak boleh aku masuk ke situ.
⸺Siapa yang melarang?
⸺Yang punya rumah ini. Aku diancamnya, kalau melanggar diusirnya aku dari sini.
Makanya kubilang, tak betul katamu kau sendirian."
Bang M terkekeh.
***
Ceritanya bermula dari hari pertama aku memasuki rumah ini.
Karena letaknya terpisah dari rumah induk, orang lazim menyebutnya paviliun. Ditilik dari peruntukannya sebagai tempat tinggal, lay out rumah ini tidak lazim. Terdiri dari empat kamar berukuran kira-kira tiga kali tiga meter berjejer memanjang dari Timur ke Barat. Hanya ada satu pintu keluar masuk.Â
Posisinya di ruangan kedua dari arah Timur, yang difungsikan sebagai ruang menerima tamu. Ruangan paling Timur adalah kamar tidur, sementara yang paling Barat kamar mandi. Yang mau kuceritakan ini ruangan di antara kamar tamu dan kamar mandi.
Penghuni sebelumnya, yang berkeluarga, menjadikan ruangan ini sebagai dapur. Karena aku tidak butuh dapur, kuputuskan menjadikannya tempat penyimpanan barang-barang saja.
Begitulah. Di hari pertama aku pindah ke rumah ini, setiap kali aku memasuki ruangan itu bulu kudukku berdiri. Terus berulang hingga yang ketiga kalinya. Aku merasakan kehadiran sesuatu di ruangan itu. Pada kali yang ketiga, aku berdiri di tengah-tengah ruangan dan bicara kepadanya.
"Aku tahu kamu berada di sini. Pasti sudah menghuni tempat ini sejak sebelum aku datang. Sekarang aku yang punya hak atas tempat ini. Aku yang berkuasa. Aku nggak keberatan kamu tetap tinggal di sini, asalkan kita sepakat untuk bertetangga secara damai. Kamu cuma boleh tinggal di ruangan ini.
Di sini pun jangan sekali-kali menggangguku. Tidak boleh gentayangan ke kamar-kamar yang lain. Kalau kamu tidak sepakat silahkan pergi. Kalau kamu tetap tinggal tapi melanggar kesepakatan ini, kuusir kamu dari sini. Aku tidak main-main."
Kepalaku terus-terusan kembang selama aku bicara kepadanya. Namun begitu selesai berkata-kata, perasaan merinding itu surut perlahan-lahan. Dan hari-hari selanjutnya jadi biasa saja.
***
Bang M terkekeh lagi.
"Dia patuh sama kesepakatan yang kau bikin. Bagus dia di sini, dijaganya rumahmu. Mana ada pencuri yang berani."
oOo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H