Melihatku datang, dia melemparkan senyum nyeleneh kepadaku.
"Kau bohongi aku. Kau bilang kau sendirian di rumah ini."
"Lha, kan Abang lihat sendiri aku sendirian di sini."
"Terus yang di pintu itu siapa?" katanya sambil menggerakkan dagunya ke arah pintu penghubung ruang tamu ini dengan ruang penyimpanan di sebelah. Pandanganku mengikuti isyaratnya. Tidak kulihat apa-apa. Hanya pintu yang menganga.
"Waktu kau pergi ke depan tadi, dia menyembulkan kepalanya dari pintu itu. Mengintip. Kutanya dia:
⸺Siapa kau?
Dijawabnya:
⸺Yang menumpang di kamar ini.
⸺Duduklah kau di sini biar ngobrol-ngobrol kita.
⸺Tak boleh aku masuk ke situ.
⸺Siapa yang melarang?
⸺Yang punya rumah ini. Aku diancamnya, kalau melanggar diusirnya aku dari sini.
Makanya kubilang, tak betul katamu kau sendirian."
Bang M terkekeh.
***
Ceritanya bermula dari hari pertama aku memasuki rumah ini.
Karena letaknya terpisah dari rumah induk, orang lazim menyebutnya paviliun. Ditilik dari peruntukannya sebagai tempat tinggal, lay out rumah ini tidak lazim. Terdiri dari empat kamar berukuran kira-kira tiga kali tiga meter berjejer memanjang dari Timur ke Barat. Hanya ada satu pintu keluar masuk.Â
Posisinya di ruangan kedua dari arah Timur, yang difungsikan sebagai ruang menerima tamu. Ruangan paling Timur adalah kamar tidur, sementara yang paling Barat kamar mandi. Yang mau kuceritakan ini ruangan di antara kamar tamu dan kamar mandi.
Penghuni sebelumnya, yang berkeluarga, menjadikan ruangan ini sebagai dapur. Karena aku tidak butuh dapur, kuputuskan menjadikannya tempat penyimpanan barang-barang saja.
Begitulah. Di hari pertama aku pindah ke rumah ini, setiap kali aku memasuki ruangan itu bulu kudukku berdiri. Terus berulang hingga yang ketiga kalinya. Aku merasakan kehadiran sesuatu di ruangan itu. Pada kali yang ketiga, aku berdiri di tengah-tengah ruangan dan bicara kepadanya.