Mohon tunggu...
Widjaya Harahap
Widjaya Harahap Mohon Tunggu... Insinyur - a quietude storyteller

write for soul enrichment and enlightenment

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tapi Bukan Kami Punya

11 Februari 2021   12:07 Diperbarui: 11 Februari 2021   14:33 530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Leo Kristi: Album Nyanyian Tanah Merdeka (Dok. pribadi)

Tahun 1978, Leo Imam Sukarno, mungkin salah satu, kalau bukan satu-satunya, seniman pengelana (Bohemian) yang tinggal tersisa dari masa silam, bersama kelompok musik Konser Rakyat Leo Kristi (KRLK) yang dibentuknya, me-release lagu Salam dari Desa. Salah satu lagu debutannya, kelak direkam Irama Tara dalam album Nyanyian Tanah Merdeka.

Seperti lazimnya lagu-lagu gubahan Leo, yang kelak menjadi penciri karya-karyanya, lagu Salam dari Desa menyampaikan pesan sosial yang kuat dibalut dalam lirik yang puitis dan komposisi melodi yang menampilkan jiwa yang bernyanyi. Pesan-pesan sosial dalam lagu-lagunya inilah yang menjadikan sang troubadour acapkali dijuluki Bob Dylan-nya Indonesia.

Simaklah lirik lagunya.

"Kalau ke kota esok pagi sampaikan salam rinduku
Katakan padanya padi-padi telah kembang
Ani-ani seluas padang, roda giling berputar-putar siang malam
Tapi bukan kami punya

Kalau ke kota esok pagi, sampaikan salam rinduku
Katakan padanya, tebu-tebu telah kembang
Putih-putih seluas padang, roda lori berputar-putar siang malam
Tapi bukan kami punya

Anak-anak kini telah pandai, menyanyikan gema merdeka
Nyanyi-nyanyi bersama-sama, di tanah-tanah gunung
Anak-anak kini telah pandai, menyanyikan gema merdeka
Nyanyi-nyanyi bersama-sama,
{tapi bukan kami punya} 3x

Tanah pusaka, tanah yang kaya, tumpah darahku
Di sana kuberdiri, di sana kumengabdi
Dan mati, dalam cinta yang suci

Kalau ke kota esok pagi, sampaikan salam rinduku
Katakan padanya, nasi tumbuk telah masak
Kan kutunggu sepanjang hari
Kita makan bersama-sama, berbincang-bincang
Di gubuk sudut dari desa."

(Lirik dan Lagu: Leo Kristi, album Nyanyian Tanah Merdeka (1978)

Lagu ini berkisah tentang ketimpangan sosial. Kesejahteraan yang menyebar tidak merata.

***
Distribusi kesejahteraan rupanya tidak mengikut hukum Pareto. Dalam situasi dengan kecenderungan kesenjangan yang hari-hari ini kian menganga, pesan Leo Kristi dalam lagu ini menjadi semakin relevan.

Ini bukan cuma fenomena lokal, melainkan sudah menjadi fenomena global, kiprah konglomerasi yang menjadi instrumen mengalirnya kekayaan melintasi batas-batas geografis negeri-negeri (economy without borders).

Negeri-negeri ekonomi kuat menikmati keberlimpahan, sementara yang lemah merasakan pahitnya kekurangan. Salah satunya dipertontonkan dari fenomena kota-kota besar di Amerika Serikat. Kota Los Angeles di waktu malam, konon, dilihat dari stasiun antariksa Amerika nampak sebagai titik yang paling terang di muka bumi. Juga beberapa kota besar lainnya. Betapa besarnya sumberdaya energi listrik yang mereka gunakan, mungkin sudah menjurus kepada berlebihan, untuk tidak mengatakan mubazir.

Amerika Serikat sungguh dapat menikmati kemewahan yang sedemikian karena kenyataannya orang lainlah yang menanggung biayanya.
Sementara di negeri seperti Indonesia, bahkan setelah 75 tahun merdeka dan lebih dari 50 tahun secara sungguh-sungguh membangun ekonomi, di banyak daerah tertinggal ketersediaan energi listrik masih tetap sekedar cerita.

***
Air mengalir menuju tempat yang lebih rendah mengikut hukum gravitasi. Alkisah jika dalam teori ekonomi klasik, yang cenderung utopis itu, dipakemkan bahwa kekayaan dalam wujud kesejahteraan masyarakat mengalir dari pusat-pusat kekayaan ke wilayah yang kondisi ekonominya lebih miskin, maka kenyataan hari ini sudah jauh panggang dari api. Karena pada kenyataannya tidak ada yang mengalir secara alamiah mengikuti "gravitasi". Yang ada adalah aliran deras memanjat ke arah pusat-pusat kekayaan, disedot oleh mesin-mesin ekonomi berwujud konglomerasi dan perbankan global. Melalui mereka yang menyandang nama-nama: Coca Cola, McDonald's, Starbucks, Bayer, Toyota, Huawei, and the list goes on. Bank Dunia, IMF dan teman-temannya.

Pemandangan hari ini, kesenjangan bukan hanya sesederhana antara desa dan kota, sudah mewabah, menggurita dan menjalar bagaikan sulur rimba, melilit mencengkeram menyeberangi batas-batas negara..

Konglomerasi sudah menguasai segenap sudut hajat hidup orang banyak. Mulai dari kebutuhan pokok paling dasar hingga kepada gaya hidup.

Meminjam lirik lagunya Leo Kristi: Bukan kami punya. Dan ketidakpunyaan makin menjadikan kami tidak berdaya.

Setiap tahun di Davos, Swiss, World Economic Forum mengorkestrasi kegiatan mempertemukan para pemimpin puncak bisnis dunia, pemimpin politik seluruh dunia, cendekiawan dan jurnalis terpilih untuk memperbincangkan masalah penting yang dihadapi dunia. Setiap tahun sekelompok orang kaya menyempatkan diri membahas kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Namun belum nampak dampak kongkritnya dalam mempersempit kesenjangan ekonomi.

Bangsa ini yang rakyatnya bermukim di negeri dengan sumberdaya alamnya salah satu yang terkaya di dunia, di negeri yang gemah ripah loh jinawi.

Tapi bukan kami punya...

ooOoo

Panorama kesuburan alam di Mojokerto (Dok. pribadi)
Panorama kesuburan alam di Mojokerto (Dok. pribadi)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun