Mohon tunggu...
Widjaya Harahap
Widjaya Harahap Mohon Tunggu... Insinyur - a quietude storyteller

write for soul enrichment and enlightenment

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Human Animal

3 Januari 2021   09:15 Diperbarui: 3 Januari 2021   09:16 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Peristiwanya terjadi di Bangkok, Thailand, dua puluh lima tahun yang lalu.

Menjelang senja. Sebagai perintang-rintang waktu menunggu masuknya waktu shalat Maghrib, aku berkeliaran window-shopping di mall yang berada di kompleks hotel tempatku menginap di Central Plaza Ladprao.

Di depan ruang pamer sebuah toko alat-alat elektronik aku menampak orang-orang berkerumun menonton siaran televisi. Diseret oleh keingintahuan, aku menghampiri dan ikut menonton. Sebuah channel berita TV lokal menayangkan sebuah adegan yang menampilkan seorang ibu lanjut usia duduk di atas sebuah kursi putih yang berukir indah di ruang tamu rumahnya. Di sebelahnya, seorang putranya duduk mendampingi. Penampilan ibu dan anak serta interior rumahnya cukup jadi penanda bahwa mereka dari keluarga yang sangat berpunya.

Yang menarik perhatian adalah, di hadapan kedua anak-beranak itu bersimpuh dua orang laki-laki. Tangan dan leher keduanya dipenuhi hiasan rajah-tubuh alias tato (tattoo). Guratan wajah mereka sangar, seperti lazimnya orang yang melakoni kehidupan yang keras. Namun kontras dengan penampilan fisiknya, yang tampak adalah berkali-kali kedua laki-laki itu bersujud di dekat kaki sang ibu, dengan tersedu-sedu tidak kuasa mengendalikan tangisnya.

Aku tak mengerti bahasa Thai. Beruntung, dari seorang penonton yang bisa berbahasa Inggris aku dipahamkan bahwa peristiwa yang sedang diberitakan ini adalah acara permohonan ampun dari kedua laki-laki bertato itu kepada ibu yang duduk di kursi di hadapan mereka. Keduanya adalah tertuduh pembunuh bayaran yang disewa oleh seseorang untuk membunuh salah seorang putra sang ibu.

Seseorang itu adalah tokoh yang menjadi saingan politik si korban dalam kontes pemilihan untuk satu jabatan politik di Thailand. Seseorang yang menghalalkan sebuah siasat yang keji: berupaya memenangkan persaingan dengan cara membunuh lawan politik. Tak ubahnya binatang buas yang hanya mengandalkan instingnya yang primitif.

Kejadian ini mengingatkan pada apa yang oleh Thomas Hobbes disebut sebagai: Homo homini lupus (Manusia adalah serigala bagi sesamanya); sekaligus menegaskan bahwa manusia adalah makhluk paradoks.

Kedua laki-laki itu menjalani profesi dan mencari penghidupan sebagai pembunuh bayaran. Dalam satu kesempatan menjalani laku pemberani, menghilangkan nyawa manusia. Mengambil risiko bergelimang dosa besar terhadap manusia dan kemanusiaan. Pada kesempatan ini tersungkur beriba-iba memohonkan ampunan dari ibu korbannya bukan karena takut akan ancaman hukuman atas tindak pidana yang dilakukannya; melainkan takut akan ancaman hukum karma atas dosanya, yang menunggu di kehidupan berikutnya.

Seseorang yang menyewa jasa pembunuh bayaran itu, tokoh dari sebuah masyarakat yang luas dikenal sebagai yang perilakunya sangat santun, dapat seketika menjelma menjadi makhluk yang biadab dan durjana. Serigala dengan paradoks yang sempurna.

***

Yang berikut ini juga berkenaan dengan salah satu sisi negatif manusia, yaitu amarah. Yang senantiasa mengusik pikiranku adalah kehadiran kosakata amok atau amuck dalam bahasa Inggris.

Menurut kamus Oxford American Dictionary and Thesaurus, amok diartikan sebagai: "behave in an uncontrolled and disorderly way"; sementara kamus Merriam-Webster, secara panjang-lebar mengartikan: "an episode of sudden mass assault against people or subjects usually by single individual following a period of brooding that has traditionally been regarded as occurring especially in Malaysian culture but is now increasingly viewed as psychopathological behavior occurring worldwide in numerous countries and cultures".

Asal-usulnya jelas bahasa Melayu, yakni kata amuk. Melayu, rumpun bangsa yang masyhur karena kehalusan budi-pekertinya ternyata dijadikan rujukan literer untuk menjelaskan perilaku amarah.

Sungguh tidak mengenakkan, karena pemaknaan ini dapat secara keliru ditafsirkan bahwa bangsa Melayu punya kecenderungan tersendiri dalam hal amarah yang menyempal dari dan melampaui kelaziman yang berlaku pada sukubangsa yang lain. Seakan menyiratkan marahnya bangsa Melayu lebih liar dari amarah bangsa lainnya.

***

Perilaku keji dan nafsu amarah memang bukan monopoli individu, atau masyarakat, atau sukubangsa, atau ras tertentu. Sifat angkara murka ini sejak dini sudah disandikan di dalam DNA manusia. Semenjak Qabil putra Nabi Adam A.S. membunuh Habil, saudara kandungnya sendiri.

Dalam ukuran yang universaltanpa memandang sukubangsa ataupun rasharkat kemanusiaan seorang insan manusia tidak semata ditakar berdasarkan kecerdasan intelegensia, melainkan juga ikhtiarnya melengkapkan kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritualnya. Relung-relung kalbu manusia harus diterangi dengan cahaya tauhid untuk membebaskan dirinya dari kegelapan yang melingkupi catatan sejarah keberadaannya.

Pada stadium inilah agama menemukan momentum kebenaran dalam konteks pembentukan karakter manusia. Tak pelak, agama adalah wahana tunggal yang memerdekakan manusia dari perangkap kodrati: nalurinya yang asali, yang persisten memasung ruh kemanusiaannya dalam lokus yang purba, yang menjadikannya sekedar makhluk human animal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun