Mohon tunggu...
Widjaya Harahap
Widjaya Harahap Mohon Tunggu... Insinyur - a quietude storyteller

write for soul enrichment and enlightenment

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Human Animal

3 Januari 2021   09:15 Diperbarui: 3 Januari 2021   09:16 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut kamus Oxford American Dictionary and Thesaurus, amok diartikan sebagai: "behave in an uncontrolled and disorderly way"; sementara kamus Merriam-Webster, secara panjang-lebar mengartikan: "an episode of sudden mass assault against people or subjects usually by single individual following a period of brooding that has traditionally been regarded as occurring especially in Malaysian culture but is now increasingly viewed as psychopathological behavior occurring worldwide in numerous countries and cultures".

Asal-usulnya jelas bahasa Melayu, yakni kata amuk. Melayu, rumpun bangsa yang masyhur karena kehalusan budi-pekertinya ternyata dijadikan rujukan literer untuk menjelaskan perilaku amarah.

Sungguh tidak mengenakkan, karena pemaknaan ini dapat secara keliru ditafsirkan bahwa bangsa Melayu punya kecenderungan tersendiri dalam hal amarah yang menyempal dari dan melampaui kelaziman yang berlaku pada sukubangsa yang lain. Seakan menyiratkan marahnya bangsa Melayu lebih liar dari amarah bangsa lainnya.

***

Perilaku keji dan nafsu amarah memang bukan monopoli individu, atau masyarakat, atau sukubangsa, atau ras tertentu. Sifat angkara murka ini sejak dini sudah disandikan di dalam DNA manusia. Semenjak Qabil putra Nabi Adam A.S. membunuh Habil, saudara kandungnya sendiri.

Dalam ukuran yang universaltanpa memandang sukubangsa ataupun rasharkat kemanusiaan seorang insan manusia tidak semata ditakar berdasarkan kecerdasan intelegensia, melainkan juga ikhtiarnya melengkapkan kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritualnya. Relung-relung kalbu manusia harus diterangi dengan cahaya tauhid untuk membebaskan dirinya dari kegelapan yang melingkupi catatan sejarah keberadaannya.

Pada stadium inilah agama menemukan momentum kebenaran dalam konteks pembentukan karakter manusia. Tak pelak, agama adalah wahana tunggal yang memerdekakan manusia dari perangkap kodrati: nalurinya yang asali, yang persisten memasung ruh kemanusiaannya dalam lokus yang purba, yang menjadikannya sekedar makhluk human animal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun